Oleh Asro Kamal Rokan
Guru Besar Cornell Unversity, Amerika Serikat, George McTurnan Kahin, hampir tidak percaya yang ditemuinya adalah Mohammad Natsir, Menteri Penerangan RI. Natsir sangat sederhana, kemejanya bertambalan di beberapa bagian.
“Saya menemukan seorang yang sederhana dan rendah hati. Pakaiannya tidak mencerminkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Kemejanya bertambalan,” kenang Kahin dalam buku Mohammad Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, diterbitkan Pustaka Antara Jakarta (1978).
Beberapa minggu kemudian, kenang Kahin, staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas. Mereka katakan, dengan baju itu pemimpin mereka akan kelihatan seperti menteri sesungguhnya.
Ketua Umum Partai Masyumi — partai kedua terbesar setelah PNI pada Pemilu 1955 ini –melakukan mosi sebagai protes hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 1949. KMB menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan 16 negara bagian lainnya.
Mosi Integral Natsir disetujui parlemen. Natsir membujuk pemimpin negara-negara serikat untuk bersatu dalam NKRI. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebut Mosi Intergral Natsir ini bagaikan proklamasi kedua Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Presiden Soekarno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama(1950-1951).
Ketika menjabat PM, Natsir membantuk zaken kabinet, yang di antaranya melibatkan ketua partai Katolik, Kristen, dan kalangan nasionalis. Namun karena perbedaan politik dengan Soakarno, setahun kemudian Natsir mundur.
Penggemar Mozart dan Beethoven, serta menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Arab ini, sempat dipenjara masa Orde Lama dan dikucilkan masa Orde Baru. Namun Natsir tidak dendam. Natsir menyurati PM Malaysia Abrurrahman agar menerima utusan Soeharto menormalkan hubungan Indonesia-Malaysia. Natsir juga meminta PM Jepang, Takeo Fukuda. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI).
Semasa di parlemen sementara, Natsir dapat berdebat sangat keras dengan lawan politiknya dari patai komunis, namun setelah itu mereka dapat minum teh bersama dan bergoncengan sepeda. Mengenai hal ini, Natsir berprinsip negara ini harus diurus bersama. ”Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,” kata Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor, 1988.