Oleh Asyari Usman
Sekitar 6-7 tahun yang lalu, pengungsi Rohingya yang mendarat di pantai timur Aceh mendapat sambutan hangat dan ramah dari masyarakat. Namun, setelah para pengungsi itu mulai mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah setempat dan juga dari berbagai LSM sosial, spontan bermunculan kecemburuan masyarakat di sekitar lokasi permukiman mereka.
Para pengungsi Rohingya itu hidup lebih enak ketimbang warga kampung di situ. Rumah disediakan, makanan selalu cukup, bantuan pakaian melimpah ruah. Inilah cerita yang saya dapatkan dari para relawan LSM yang memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Aceh waktu itu.
Warga Aceh memperlihatkan rasa tak senang pada pengistimewaan pengungsi Rohingya. Seharusnya orang Aceh tidak cemburu.
Nah, apakah ketidaksenangan warga Aceh itu muncul dari sifat rasis? Tidak mungkin. Mengapa? Karena orang Rohingya itu muslim. Orang Aceh sangat kuat dalam persaudaraan. Ini yang pertama. Yang kedua, pemerintah setempat sangat senang menerima mereka. Ketiga, banyak pula orang Aceh sendiri yang menjadi relawan yang memberikan bantuan. Artinya, orang Aceh senang membantu.
Kecemburuan terhadap pengungsi Rohingya itu hanya muncul di kalangan warga yang bertetangga dengan lokasi permukiman pengungsi. Di tempat lain tidak terjadi.
Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Ada satu hal mendasar: bahwa suatu kelompok (komunitas) bisa membenci pendatang karena diistimewakan. Ada perlakuan khusus. Sementara penduduk lokal merasa mereka hidup susah.
Contoh ini juga terjadi di banyak tempat yang didatangi “orang asing” dan kemudian mereka bisa hidup lebih baik. Masih segar dalam ingatan ketika terjadi bentrok besar antara suku Dayak dan perantau Madura di Kalimantan Tengah, khususnya di kota Sampit, awal 2001.
Apakah orang Dayak rasis terhadap orang Madura? Sama sekali tidak. Penyebab utama konflik ini adalah kesenjangan sosial. Faktanya, hampir semua sektor ekonomi lokal dikuasai oleh orang Madura. Pertambangan emas, pelabuhan, bisnis retail, perkebunan, transportasi, dlsb, dikuasai oleh orang Madura. Penyebab lainnya, seperti perbedaan kultural, hanyalah pemicu konflik itu.
Contoh lain adalah konflik antara warga lokal Timor Leste, khususnya di Dili, dengan pendatang dari Bugis pasca referendum 1999. Penyebabnya juga penguasaan sektor perekonomian oleh “orag asing”. Dalam hal ini perantau Bugis.
Apakah orang Timor Timur (Timor Leste) rasis terhadap orang Bugis? Tidak. Yang terjadi adalah dominasi orang Bugis atas orang Timor Leste di bidang ekonomi-bisnis membuat tuan rumah marah. Setelah peritiwa itu berlalu, hubungan kedua etnis bisa pulih.
Beberapa hari lalu, Bang Yos (Sutiyoso, mantan kepala BIN dan mantan gubernur DKI Jakarta) mengungkapkan kekhawatirannya tentang TKA asal RRC (China) yang masuk ke Indonesia dalam jumlah yang tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, warga masyarakat menyaksikan begitu banyak orang yang diduga TKA China masuk lewat berbagai bandara internasional. Pemerintah tidak pernah transparan soal ini.
Bang Yos berpendapat kalau TKA China dibolehkan masuk ke Indonesia seperti sekarang ini, maka suatu ketika Indonesia bisa mereka kuasai. Apakah ini rasis? Sama sekali tidak. Sebab, Bang Yos hanya mencemaskan dominasi orang asing, bukan siapa orang asingnya. Kebetulan orang asing itu adalah orang China (RRC). TKA China yang dibawa masuk ke proyek-proyek invetasi mereka tidak sebatas tenaga ahli melainkan tenaga kerja untuk pekerjaan kasar juga.
Etnis apa pun yang masuk ke Indonesia dan mereka menguasai sektor ekokomi-bisnis, pastilah akan menciptaka gesekan. Inilah yang dicontohkan dalam kasus Dayak vs Madura, Timor Leste vs Bugis, atau warga Aceh vs Rohingya. Di Indonesia ini, gesekan itu pernah terjadi beberapa kali.
Ada contoh gesekan lain. Rakyat Filipina diresahkan oleh tindakan agresif China di Kepulauan Spratly. China bertindak arogan. Main keras untuk menguasai wilayah sengketa regional itu. Militer China mengejar kapal-kapal Filipina. Akibatnya, di seluruh Filipina muncul sentimen anti-China. Rasiskah? Bukan! Tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini akibat China semena-mena mengancam Filipina.
Jadi, dalam konteks geopolitik regional, China adalah negara yang paling sering menjadi sumber masalah. Tetapi, sejumlah negara –termasuk Indonesia— menunjukkan sikap yang sangat akomodatif terhadap China. Meskipun kebijakan Beijing dalam berinvestasi dan memberikan pinjaman selalu mengikat, kalau tak mau disebut mencekik, tuan rumah. Tak terlepas Indonesia.
Bang Yos tidak rasis. Beliau hanya mencemaskan masa depan bangsa dan negara di tengah serbuan TKA China. Mantan kepala BIN ini yakin mereka yang masuk ke Indonesia tidak akan pulang ke China. Kesimpulan ini bukan dalam percakapan kedai kopi. Bang Yos sangat terbiasa dengan data dan analisis intelijen.[]
26 Mei 2022
(Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik)