Pemerintah Indonesia tengah menjalankan reformasi perpajakan berbasis digital dengan mengadopsi Commercial Off-The-Shelf Tax System (Coretax).
Prof.Dr. Taufiqurokhman, SH, A.Ks, S.Sos, M.Si guru besar kepakaran Governansi Digital sebut langkah ini diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara, menutup celah penghindaran pajak, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas sistem perpajakan nasional.
Namun, penerapan sistem pajak digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesiapan infrastruktur, regulasi, dan tata kelola berbasis governansi digital.
“Pemerintah harus memastikan digitalisasi pajak melalui Coretax tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memberikan kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Jangan sampai sistem ini malah membuka celah baru bagi manipulasi atau gangguan teknis,” ujar Prof. Dr. Taufiqurokhman, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jumat (28/2/2025).
Lalu, sejauh mana kesiapan Indonesia? Bagaimana agar Coretax tidak hanya menjadi proyek digitalisasi, tetapi benar-benar memperkuat wibawa pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak?
Governansi Digital: Pilar Utama Transformasi Pajak
Governansi digital bukan hanya soal penerapan teknologi, tetapi juga perubahan paradigma menuju perpajakan yang lebih transparan dan berbasis data.
Menurut Prof. Taufik, digitalisasi pajak yang sukses harus memenuhi tiga prinsip utama:
Transparansi → Sistem harus memungkinkan audit dan verifikasi real-time oleh otoritas terkait.
Akuntabilitas → Harus ada mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan oleh oknum di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau lembaga terkait.
Efisiensi → AI dan Big Data harus memastikan sistem bekerja dengan cepat, akurat, dan minim gangguan teknis.
Indonesia memiliki dasar hukum kuat untuk mendukung governansi digital pajak:
– Pasal 35A UU KUP → DJP berhak mengakses data keuangan wajib pajak untuk kepentingan perpajakan.
– UU No. 7 Tahun 2021 (HPP) → DJP dapat menggunakan teknologi digital dalam pemeriksaan pajak.
– UU PDP No. 27 Tahun 2022 → Menjamin kerahasiaan data wajib pajak agar tidak disalahgunakan.
– Perpres No. 39 Tahun 2019 (Satu Data Indonesia – SDI) → Mengintegrasikan data perpajakan dengan sistem pemerintahan lainnya.
Dengan regulasi ini, pemerintah memiliki landasan kuat untuk menerapkan Coretax, tetapi harus tetap memastikan tidak ada potensi kebocoran data atau penyalahgunaan wewenang.
Belajar dari Negara Lain: Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama!
Sejumlah negara telah menerapkan Commercial Off-The-Shelf (COTS) Tax System, tetapi beberapa mengalami kendala besar saat implementasi.
– India (GSTN) → Sistem sering crash akibat lonjakan trafik saat batas waktu pelaporan pajak.
– Brasil (SPED) → Integrasi dengan sistem payroll lama gagal, menyebabkan perhitungan pajak tidak akurat.
– Meksiko (SAT) → Sistem autentikasi digital bermasalah, membuat banyak wajib pajak kesulitan login.
– Selandia Baru (IRD) → Keterlambatan dalam perhitungan pajak real-time menyebabkan pengembalian pajak tertunda.
– Australia (ATO) → Kesalahan sinkronisasi data bank menyebabkan perhitungan pajak bisnis kecil menjadi tidak valid.
“Pemerintah harus belajar dari pengalaman global. Jangan sampai digitalisasi pajak justru menciptakan masalah baru, seperti crash sistem, kesalahan perhitungan, atau gangguan autentikasi yang membuat wajib pajak frustrasi,” tegas Prof. Taufik.
Strategi agar Coretax Berjalan Optimal dan Pemerintah Tetap Berwibawa
Agar Coretax benar-benar memperkuat sistem perpajakan nasional, pemerintah harus menerapkan strategi governansi digital yang kuat.
Infrastruktur Digital yang Tangguh
Problem: India gagal karena server tidak mampu menangani lonjakan trafik pajak.
Solusi: Gunakan cloud computing dengan load balancing yang fleksibel untuk menghindari crash saat peak time.
Transisi Bertahap dan Integrasi dengan Sistem Lama
Problem: Brasil mengalami kendala karena sistem baru tidak kompatibel dengan sistem payroll lama.
Solusi: Uji coba paralel (parallel testing) sebelum migrasi penuh ke Coratex.
Keamanan dan Autentikasi Digital yang Kuat
Problem: Meksiko menghadapi gangguan autentikasi digital yang menghambat akses wajib pajak.
Solusi: Terapkan multi-layer authentication, seperti biometrik, OTP, dan token digital.
Audit dan Monitoring Berbasis AI
Problem: Selandia Baru mengalami keterlambatan dalam audit pajak real-time.
Solusi: Gunakan AI dan machine learning untuk mempercepat audit berbasis risiko.
Sinkronisasi Data Pajak dengan Perbankan dan Lembaga Keuangan
Problem: Australia mengalami kesalahan sinkronisasi data bank wajib pajak.
Solusi: Pastikan API perpajakan dapat membaca data keuangan wajib pajak secara real-time dan akurat.
Coretax Bisa Jadi Game Changer, Asalkan Tidak Gagal Eksekusi
Menurut Prof. Taufik, digitalisasi pajak harus mencapai dua tujuan utama:
– Meningkatkan penerimaan negara dan menutup celah penghindaran pajak.
– Memperkuat wibawa pemerintah dalam penegakan hukum pajak.
- Jika Coretax bekerja transparan dan akurat, tidak ada alasan bagi pengemplang pajak untuk bersembunyi.
- Jika pemerintah dapat mengawasi transaksi pajak secara real-time, kepatuhan pajak akan meningkat.
- Jika seluruh sistem terdigitalisasi dengan baik, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan meningkat.
Namun, jika Coretax diterapkan tanpa kesiapan infrastruktur dan regulasi yang matang, sistem ini bisa menjadi bumerang bagi administrasi pajak nasional.
“Pemerintah harus memastikan bahwa digitalisasi pajak bukan sekadar proyek modernisasi, tetapi langkah nyata untuk mewujudkan sistem pajak yang lebih adil, efisien, dan transparan,” tutup Prof. Taufik.
Era digitalisasi pajak harus menjadi era di mana keadilan pajak benar-benar ditegakkan!