Oleh : Dr. Rizqullah Thohuri, MBA

 

Pendahuluan

Baca Juga

Masih ingat iklan “Kuliah..? BSI aja !!!”. Iklan yang fenomenal beberapa tahun yang lalu menggunakan artis mirip Barack Obama.

Iklan tersebut mampu menjadikan BSI yang awalnya hanya sebuah lembaga pendidikan komputer “Bina Sarana Informatika” sekarang menjadi Universitas dengan lebih dari 20.000 mahasiswa.

Tulisan ini tentu bukan tentang BSI dimaksud, tetapi tentang Bank Syariah Indonesia (BSI) yang akan lahir sebagai hasil merger 3 (tiga) bank syariah milik bank-bank BUMN, yaitu: Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah (BNIS) dan Bank BRI Syariah (BRIS).

Rencana merger tersebut langsung diumumkan oleh Menteri Negara BUMN, Erick Thohir, 2 bulan yang lalu yang menggambarkan bahwa ketiga bank syariah tersebut masih dianggap sebagai bank milik pemerintah cq Kementerian Negara BUMN dan bahwa pemerintah aktif mengupayakan terjadinya merger tersebut.

Keputusan merger dan penetapan jajaran manajemen BSI telah dilaksanakan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BRIS sebagai Surviving bank pada tanggal 15 Desember 2020. Merger legal direncanakan akan efektif pada tanggal 1 Februari 2020 yang kemudian diikuti dengan merger operasional yang diperkirakan membutuhkan waktu antara 1 2 tahun.

Hanya dalam hitungan hari pasca RUPLBS tersebut, Organisasi besar Muhammadiyah menyatakan akan mengkaji kemungkinan menarik semua dananya yang ada di ketiga bank syariah tersebut. Terlepas dari berapa besar jumlah dana yang akan ditarik, pernyataan Muhammadiyah tersebut tentu akan memiliki dampak besar bagi BSI karena Muhammadiyah merupakan organisasi massa yang kuat dan solid serta memiliki pengaruh bukan hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial, hukum dan politik.

Oleh karenanya, sikap Muhammadiyah tersebut perlu direspon serius oleh BSI dan juga pemerintah. Pertanyaannya adalah mengapa Muhammadiyah memiliki sikap seperti itu?.

Pimpinan Muhammadiyah menjelaskan bahwa alasan untuk menarik dananya dari ketiga bank syariah tersebut karena BSI akan menjadi bank besar dan mengarah pada usaha-usaha besar sehingga layanan kepada Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang merupakan 99% pelaku usaha di republik ini akan menurun. Keberpihakan BSI terhadap UMKM dipertanyakan.

Tulisan mencoba memberikan perspektif yang lebih komprehensif tentang merger dan BSI.

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah Ekonomi dan Keuangan Syariah

Mulai menunjukkan perkembangannya terutama sejak keluarnya Undang Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 yang memberi peluang bagi bank konvensional untuk menjalankan kegiatan usaha syariah.

Bank Mandiri membeli bank konvensional yang kemudian di konversi menjadi bank syariah dengan nama Bank Syariah Mandiri (BSM), sedangkan Bank BRI dan Bank BNI lebih memilih membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) dan dalam perjalanannya kemudian UUS tersebut di spin-off.

Bank BRI sebelum melakukan spin-off UUSnya terlebih dahulu membeli bank konvensional yang dikonversi menjadi bank syariah dengan nama Bank BRI Syariah (BRIS) dan UUS tersebut kemudian di spin-off dan digabungkan kedalam BRIS.

Berbeda dengan bank BRI, Bank BNI melakukan spin-off dan sekaligus menjadikan UUSnya sebagai bank syariah dengan nama Bank BNI Syariah (BNIS). Ketiga bank syariah “milik pemerintah” ini mendominasi perkembagan industri perbankan syariah sejak awal 2000 an hingga saat ini dengan pangsa pasar ketiganya mencapai 40%. Pangsa pasar 60% sisanya dimiliki oleh 11 bank syariah lain dan 20 UUS.

Bilamana UUS Bank BTN nantinya digabungkan kedalam BSI, maka BSI akan memiliki pangsa pasar perbankan syariah hampir 50%. Perkembangan perbankan syariah telah memicu perkembangan keuangan syariah lain seperti asuransi syariah, pasar modal syariah dan non-keuangan syariah seperti zakat dan wakaf yang kesemuanya merupakan satu kesatuan dalam ekosistem ekonomi dan keuangan syariah.

Bahkan, perkembangan perbankan, keuangan dan ekonomi syariah tersebut telah mendorong perguruan tinggi membuka program studi (prodi) ekonomi, keuangan dan perbankan syariah, yang saat ini dperkirakan jumlah mencapai lebih dari 850 prodi. Perbankan syariah juga telah memfalisitasi perkembangan lembaga keuangan sosial syariah seperti zakat dan wakaf.

Kondisi BSM, BNIS dan BRIS.

Ketiga bank syariah yang akan dimerger saat ini dalam keadaan relatif bagus dimana laba yang diperoleh BSM, BNIS dan BRIS per 30 Juni 2020 masing-masing sebesar Rp728 miliar, Rp266 miliar dan Rp117 miliar.

Pembiayaan bermasalah yang dimiliki BSM, BNIS dan BRIS masing-masing sebesar 2,57%, 3,90% dan 3,99% atau masih dibawah ambang batas 5% yang ditetapkan oleh OJK. Penyaluran pembiayaan BSM dan BNIS masih relatif rendah yaitu masing – masing baru 74,16% dan 71,67%, sedangkan penyaluran pembiayaan BRIS telah mencapai 91% dari dana masyarakat yang dihimpunnya per 30 Juni 2020.

Ketiga bank syariah tersebut juga selama ini telah memberikan pembiayaan kepada kelompok UMKM dan masih memiliki kapasitas cukup besar untuk meningkatkannya karena BSM dan BNIS masing-masing baru menyalurkan pembiayaan kepada UMKM dibawah 20% dari total pembiayaannya, sedangkan BRIS sudah menyalurkan pembiayaan kepada UMKM sekitar 50% dari total pembiayaannya.

Artinya, ketiga bank syariah tersebut secara sendiri-sendiri masih memiliki kapasitas untuk mengembangkan bisnisnya dan menyalurkan pembiayaannya ke UMKM.

Tantangan Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah , sejalan dengan semakin berkembangnya aktifitas ekonomi dan keuangan syariah, berbagai tantangan dan persoalan yang ada membutuhkan peran yang lebih besar khususnya dari perbankan syariah yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi dan keuangan syariah.

Beberapa tantangan dan persoalan tersebut dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Jumlah penduduk muslim yang saat ini mencapai 230 juta dan tersebar di seluruh Indonesia belum mendapatkan akses layanan perbankan syariah secara merata. Ketiga bank syariah, yaitu: BSM, BNIS dan BRIS, masing-masing hanya memiliki nasabah 8 juta, 3,6 juta dan 3,8 juta per Juni 2020. Bila nasabah ketiga bank syariah tersebut digabung hanya sebesar 15,4 juta atau hanya 4,7% dari jumlah penduduk muslim. Jumlah tersebut akan lebih kecil lagi bilamana ketiga bank syariah tersebut memiliki nasabah yang sama sebagaimana lazim terjadi.

2. Literasi keuangan syariah dari masyarakat kita masih rendah yaitu dibawah 10% dan untuk meningkatkannya dibutuhkan peran lebih besar dari perbankan syariah terutama BSM, BNIS dan BRIS yang mendominasi pasar selama ini. Dengan digabungnya ketiga bank tersebut menjadi satu, maka upaya peningkatan literasi tersebut dilakukan oleh lebih sedikit bank syariah.

3. Jumlah pelaku UMKM yang mencapai 64 juta atau lebih 90% dari total dunia usaha dan menyerap 117 tenaga kerja masih banyak yang mengalami kesulitan akses layanan perbankan syariah. Jumlah Bank Umum Syariah saat ini hanya ada 14 bank dan akan menjadi 12 bank dengan penggabungan BSM, BNIS dan BRIS.

4. Jumlah program studi ekonomi dan keuangan syariah di perguruan tinggi saat ini telah mencapai lebih dari 850 prodi. Bilamana satu prodi menghasilkan lulusan 10 orang setahun, maka akan ada 8.500 angkatan kerja setiap tahunnya. Lembaga keuangan syariah yang lebih banyak menyerap tenaga kerja selama ini adalah perbankan syariah. Penggabungan ketiga bank syariah akan memperkecil peluang kerja bagi lulusan tersebut.

5. Pangsa pasar perbankan syariah yang hanya 6% tidak dapat mendorong pengembangan ekonomi dan keuangan syariah secara maksimal.

6. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) saat ini mengelola lebih dari Rp120 triliun yang membutuhkan alternatif investasi dalam rangka manajemen risiko yang lebih baik. Semakin banyak alternatif investasi tentu akan semakin baik bagi BPKH dalam upaya memitigasi risiko pengelolaan dana haji tersebut.

7. Dukungan pemerintah terhadap pengembangan ekonomi dan keuangan syariah sudah lebih baik dalam beberapa tahun terakhir tetapi masih jauh dari yang seharusnya dapat dilakukan. Beberapa kementerian sudah memiliki program yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah tetapi nilainya masih relatif sangat kecil.

Pemerintah sudah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah yang kemudian disempurnakan menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah pada Februari 2020 setelah lebih dari 20 tahun ekonomi dan keuangan syariah berkembang dengan navigasi sendiri. Terima kasih kepada Bank Indonesia sebagai institusi negara yang sangat aktif mendorongnya selama ini.

Untuk Apa Merger?

Merger atau penggabungan bank diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1999, Undang-Undang Perseroan Nomor 40 tahun 2007 dan Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008. Merger atau aksi korporasi lainnya bertujuan untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham.

Merger BSM, BNIS dan BRIS diumumkan oleh Pemerintah cq Menteri Negara BUMN sehingga tujuannya bukan hanya untuk memiliki bank syariah yang besar tetapi juga harus dapat meningkatkan nilai bagi pemangku kepentingan lain seperti industri perbankan syariah, dunia usaha (UMKM), dunia pendidikan, pengelolaan dana haji dan bagi pengembangan ekosistem ekonomi syariah dalam arti luas.

Merger akan menghasilkan aset dan kapasitas yang lebih besar bagi bank hasil merger (BSI) dan akan menjadikan BSI sebagai bank syariah terbesar di Indonesia yang akan menguasai 40% pangsa pasar perbankan syariah dan akan menjadi 50% bilamana nantinya UUS BTN ikut digabungkan juga.

Bagi pemerintah selaku pemilik akhir secara mayoritas dari BSI mungkin menguntungkan karena misalnya cukup mengembangkan dan mengawasi 1 (satu) bank syariah saja, tetapi bagi pemangku kepentingan lain belum tentu menguntungkan.

Yang jelas, merger tersebut akan merugikan terutama bagi pemegang saham minoritas BRIS karena nilai sahamnya akan terdilusi. Dampak negatif dari penggabungan BSM, BNIS dan BRIS menjadi BSI bagi industri perbankan syariah, masyarakat dan ekosistem ekonomi syariah dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut:

1. BSI akan mendominasi perbankan syariah dengan 40% pangsa pasar dan akan menjadi 50% bilamana UUS BTN juga digabungkan nantinya kedalam BSI. Dengan dominasi tersebut, perbankan syariah menjadi kurang dinamis karena tidak ada lagi spirit persaingan antar bank syariah yang selama ini justru mendorong timbulnya inovasi, kerja keras dan layanan terbaik bagi mas yarakat.

BSI akan dapat menentukan pricing atau nisbah bagi hasil atau margin pembiayaan yang tidak bisa diimbangi oleh bank-bank syariah lain karena skala ekonomisnya jauh lebih kecil. Dengan penguasaan pangsa pasar 40% – 50% tersebut, BSI dapat terkena ketentuan tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1999.

2. Dengan total Aset lebih dari Rp200 triliun dan modal inti Rp20 triliun, BSI akan cenderung menyalurkan pembiayaan dengan porsi lebih besar ke segmen korporasi untuk memaksimalkan produktifitasnya sementara dunia usaha justru didominasi oleh UMKM yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memberikan efek multiplier yang lebih besar bagi kegiatan usaha dan sosial masyarakat, kecuali bila ditegaskan secara spesifik dalam anggaran dasar BSI bahwa bisnisnya akan difokuskan untuk membantu pengembangan UMKM.

3. Jumlah bank syariah di industrinya akan berkurang dari 14 menjadi 12 bank atau hanya 10% dari total 110 bank secara nasional. Peran perbankan syariah akan menurun dalam memberikan layanan kepada masyarakat khususnya muslim yang berjumlah 230 juta orang dan dunia usaha khususnya UMKM.

Masyarakat dan UMKM tidak lagi memiliki pilihan alternatif berbank syariah yang lebih baik karena 3 bank syariah yang selama ini menjadi pilihan sudah akan menjadi satu bank syariah. Bank BSM, BNIS dan BRIS pada dasarnya memiliki kapasitas yang relatif sama untuk melayani masyarakat dan UMKM.

Salah satu yang akan pasti terkena dampaknya adalah BPKH yang selama ini mengalokasikan 50% investasi dananya dalam rangka mitigasi risiko ke 3 bank syariah diatas.

Dengan adanya merger, separuh dana BPKH akan ditempatkan hanya pada 1 bank saja yaitu BSI sebagai bank “pemerintah” dan hal ini berarti tingkat risiko yang dihadapi BPKH menjadi lebih tinggi sementara alternatif investasi lainnya masih sangat terbatas.

Sebagaimana rule of thumb dalam investasi menyebutkan bahwa “don’t put all your eggs in one basket”

4. Jumlah tenaga kerja BSI akan mengalami pengurangan karena terdapat redandensi seperti jaringan kantor, fungsi manajemen, Teknologi, Akuntansi dan lainnya. Bilamana tidak dilakukan pengurangan jumlah tenaga kerja justru akan mengakibatkan BSI tidak efisien.

Dalam 2 tahun pertama, BSI akan sibuk dengan merger operasional yaitu mengkonsolidasikan operasional dan bisnis dari BSM, BNIS dan BRIS sehingga kecil sekali kemungkinannya untuk merekrut tenaga kerja baru kecuali untuk kebutuhan khusus saja.

Peluang bekerja bagi lulusan Perguruan Tinggi dengan program studi ekonomi dan keuangan syariah menjadi lebih sempit, padahal saat ini prodi ekonomi dan keuangan syariah berjumlah lebih dari 850 prodi. Bilamana satu prodi menghasilkan lulusan 10 orang pertahun, maka angkatan kerja baru akan bertambah sebanyak 8.500 orang.

5. Selama proses merger operasional dan di masa covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya, BSI akan fokus pada konsolidasi internal seperti pembenahan aspek manajemen, budaya kerja, layanan, restrukturisasi pembiayaan sebagai dampak dari covid-19 dan sebagainya sehingga pertumbuhan bisnisnya diperkirakan akan melambat, yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan industri perbankan syariah dan pengembangan ekosistem ekonomi syariah.

6. Merger ketiga bank syariah tidak menambah pangsa pasar dan tidak meningkatkan kategori BUKU bagi BSI yaitu tetap berada di BUKU 3 sehingga cakupan kegiatan usahanya tidak bertambah luas.

Status kepemilikan BSI tidak berubah yaitu tetap dimiliki oleh pemegang saham ketiga bank syariah asal dengan komposisi kepemilikan yang berbeda. Jadi BSI bukan dimiliki langsung oleh pemerintah.

Sasaran bisnis BSI juga tidak berubah karena pada dasarnya BSM, BNIS dan BRIS memiliki segmen bisnis yang relatif sama. Oleh karenanya, merger tersebut tidak memberikan nilai tambah yang cukup signifikan bagi BSI dan industri perbankan syariah, terlebih lagi bila BSI tidak dapat meningkatkan efisiensi operasionalnya.

Salah satu sasaran efisiensi yang logis adalah mengurangi tenaga kerjanya yang tentunya berdampak negatif bagi tenaga kerja dan dunia perguruan tinggi.

7. Merger akan menimbulkan beban pajak yang cukup besar. Dengan menggunakan nilai apraisal, keuntungan yang diperoleh oleh Bank yang mengalihkan akan terkena pajak penghasilan badan dengan tarif antara 20% – 23% dari keuntungan. Pengalihan Tanah dan Bangunan akan terkena pajak pengalihan sebesar 2,5% bagi Bank yang mengalihkan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% bagi Bank yang menerima pengalihan Tanah dan Bangunan tersebut.

Beban pajak yang cukup besar pada akhirnya akan ditanggung oleh BSI sehingga dapat mempengaruhi kemampuannya untuk ikut mendorong pengembangan ekosistem ekonomi syariah, misalnya dalam upaya peningkatan literasi dan edukasi masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, merger bank BSM, BNIS dan BRIS tidak memberikan dampak signifikan bagi BSI sebagai bank hasil merger, terlebih lagi bagi upaya pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.

Bahkan sebaliknya, merger tersebut akan menghambat pengembangan ekonomi dan keuangan syariah dalam satu ekositem bahkan dapat merugikan para pemangku kepentingan seperti UMKM, perguruan tinggi dan BPKH setidaknya dalam jangka pendek, sementara dampak covid-19 terhadap dunia usaha termasuk perbankan masih penuh dengan ketidak pastian baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Tidaklah mengherankan bilamana Muhammadiyah, salah satu organisasi massa terbesar yang memiliki berbagai aktifitas dibidang pendidikan, rumah sakit dana amal-amal usaha lainnya, menyampaikan keraguannya terhadap merger tersebut terutama dalam upaya menjadikan UMKM sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Menjadi bank yang besar adalah penting tetapi jauh lebih penting lagi adalah bagaimana bank tersebut dapat memberikan stimulasi bagi pengembangan industrinya dan ekosistem ekonomi syariah karena ketiga bank syariah yang akan di merger dimiliki secara tidak langsung oleh pemerintah.

Bilamana pemerintah bersungguh-sungguh ingin mengembangkan ekonomi dan perbankan syariah, maka opsi yang diambil bukan menggabungkan ketiga bank syariah yang sudah berkembang baik dan memiliki kapasitas yang relatif sama untuk bersama-sama memajukan industri perbankan syariah tetapi pemerintah seharusnya mengkonversi salah satu bank konvensionalnya menjadi bank syariah.

Konversi tersebut selain akan menambah pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan tetapi juga memberikan sinyal kuat tentang keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan ekonomi syariah dan masyarakat muslim yang merupakan penduduk mayoritas republik ini walaupun ekonomi dan keuangan syariah yang bersifat universal dapat juga dimanfaatkan oleh masyarakat umum.

Konversi tersebut juga akan menambah jumlah bank syariah yang tentunya menambah kapasitas perbankan syariah untuk melayani semakin banyak UMKM, perguruan tinggi, BPKH dan masyarakat pada umumnya.