Oleh: Abdul Munif
Negara akhirnya tergopoh-gopoh ketika bangsa ini terkepung hoax. Presiden butuh buzer banyak yang sebenarnya kalau saya tulis satu tulisan saja di medsos bisa runtuh semua bangunan argumentasi buzer itu. Masalahnya kalau sampai runtuh bangunan argumentasi buzernya, Presiden rawan dilengser tidak konstitusional. Jadi seperti jaman Gus Dur dilengser inkonstitusional.
*Indonesia darurat lagi. Kisruh lagi*
Sedangkan seorang jurnalis juga punya tugas kebangsaan. Menjaga jangan terjadi hal terburuk buat bangsanya. Kalau bahasa adagium santri : Dzar’ul mafasid muqaddamun ala jalbib masholih. Menghindar keburukan urutannya harus didahulukan ketimbang soal memperoleh kebaikan. Maknanya, ‘tidak menulis’ lebih baik dari pada ‘menulis’ yang membuat bangsamu kacau balau.
Jika! Presiden memakai buzer itu sudah darurat opini. Tanda bahwa sebuah bangsa telah dikalahkan hoax. Pemakaian buzer ini sebenarnya inkonstitusional. Yang legal dan legetimit adalah presiden membangun Pers Nasional.
Undang-undangnya jelas. Pelaku persnya jelas. Masyarakat persnya jelas. Hanya perlu diupgrade lagi sesuai zamannya. Dan lebih berkepribadian bangsa. Bukan menempuh jalan pintas belanja buzer. Karena buzer adalah anjing penjilat dan murid-murid Pers Barat adalah anjing penggonggong. Pers Barat sendiri sebenarnya anjing pemakan.
Kita butuh pers yang merupakan identitas karakter bangsa kita yang bukan anjing-anjing seperti diatas. Pers yang manusiawi. Pers yang merupakaan manifestasi dari falsafah bangsa Indonesia : Pers Pancasila.
Kita sedang darurat Pers Pancasila. Negara butuh pers yang mampu mengalahkan haox. Minimal mengimbangi. Dan insan pers butuh pers, tapi tetap butuh pers yang terhormat. Jika media-media besar bersedia melacur jadi pers framing. Yang pers dibawahnya mau jadi apa kalau bukan pelacur kelas teri ? Berbungkus rapi kaidah jurnalistik. Tapi isi hatinya tak mengandung kemurnian independensi.
Letak kepelacuran pers ada pada jiwa insan pers, masalah etika jurnalistik. Ukuran etika jurnalistik ada pada kesucian independensi jiwa manusia pers.
Kepelacuran bisa dibungkus keahlian kaidah jurnalistik. Tapi jiwa suci independensi etika jurnalistik memancar dari setiap wajah citra insan pers.
Ketulusan dalam mengabdi pada tugas menyampaikan kebenaran informasi sesuai kaidahnya. Kalau dalam idiom orang Jawa, kaidah jurnalistik itu baru mencapai bener. Karena sifatnya nalar dan skill. Namun kesucian jiwa independensi etika jurnalistik wartawannya berarti pener. Pener lebih berobot makna hakikinya ketimbang sekedar bener.
Insan pers yang menolak pers tak terhormat ini kini masih kebingungan. Meneruskan perjalanan pers tanpa keterhormatan bukan pilihannya. Meneruskan perjalanan juga tak mungkin tanpa kemandirian ekonomi seperti di waktu lalu.
*Jual Koran*
Pers kemarin, kemandirian ekonominya ada pada jual koran. Saya bicara koran sesuai dengan sejarah dan substansi pers pada peradaban mesin cetak (mesin press). Silinder mesin yang saling menekan seng plat dan membentuk cetakan huruf dan gambar pada kertas yang tertekan di tengah.
Dasar manifestasi substansi pers adalah kata-kata. Gambar, video, dan desain grafik hanya aksiden. Karena gambar, video dan desain grafik tak akan punya arti tanpa kata-kata.
Sejak awal sampai sekarang pers adalah kata-kata. Baik dalam naskah berita, kepsen foto, penuturan penyiar di video, maupun keterangan grafis. Kata-kata selalu ada.
Masalah kita sekarang adalah kata-kata yang dimuat di medium siber (bukan cetak) karakternya sangat jauh berbeda. Siber dengan tabiat dunia mayapada (tanpa ruang) , cetak dengan tabiat dunia arcapada (ruang waktu).
Di medium siber begitu mudah dan murahnya membuat koran siber. Menjamur bak cendawan musim hujan dalam naungan keluarga besar Mbah Google, Mbah Youtube dan lain-lain.
Sulit pers terhormat bisa hidup dari dalam mengelola pers itu sendiri. Ada yang menyandarkan kemandirian redaksi pada kemandirian usaha lain. Bukan usaha pers itu sendiri. Ada pula pers dibikin, untuk tujuan terselubung. Dan persnya sendiri hanya diperalat.
Media kini akhirnya menjadi berpotensi buruk. Menjadi alat kepentingan pembuatnya. Tidak penting lagi berkaidah jurnalistik maupun beretika jurnalistik. Pokoknya kepentingan kelompok nomor satu.
Dewan pers sibuk mengurus legalitas legitimasi lewat UKW dan verifikasi, untuk kepentingan
pers yang menyasari pasar pemerintah. Wartawan yang kerja di media atau kantor berita asing tak ditanyakan UKW oleh bosnya.
Persoalan ini harus diupayakan untuk dijawab oleh setiap insan pers yang masih mencoba mempertahankan keterhormatan pers.
Pertama insan pers harus menambah kemampuan usaha di luar pers itu sendiri untuk dapat mencapai kemandirian ekonomi. Dengan ini kemandirian redaksi akan tetap bisa ditegakkan. Kondisi ini harus ada seperti waktu lalu, agar ruang kaidah dan etis jurnalistik ada untuk tumbuh sebagaimana mestinya.
Kedua, melalui amanat UU Pers sebagai konstirusi yang harus terlaksanakan dengan baik pemerintah dan insan pers merumuskan konsep baru Pers Nasional kedepan yang sesuai zaman. Itupun kalau masih tersisa insan pers yang mau memperjuangkan pers yang tetap terhormat.
(Penulis adalah mantan Ketua PWI Papua, kini menjabat sebagai Penanggung jawab SIWO PWI Pusat)