Oleh : Abdul Munib

Sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar PWI sudah selayaknya berada di barisan terdepan dalam mengawal marwah,  kehormatan dan kemuliaan wartawan Indonesia.

Bagaimana menjaga marwah dan kehormatan bagi wartawan itu ? Salah satunya adalah membuat pembeda yang jelas. Pembeda dari wartawan atau pers abal-abal. Pembeda dari apa yang sekarang dinamakan media sosial.

Baca Juga

Pembeda itu terdapat pada kaidah jurnalistik dan etik jurnalistik. Dengan konsisten pada dua ketentuan tadi wartawan dan pers dituntut untuk taat, dan inilah inner value atau nilai dalaman yang membedakan seorang wartawan dan bukan wartawan. Atau yang menyamar jadi wartawan untuk tujuan yang bukan kewartawanan.

 LATARBELAKANG :

Apakah tujuan pers itu ? Secara hakikat tujuan pers adalah mencapai kebenaran material,  melalui kaidah empiris yang tersusun dalam kaidah jurnalistik : 5 W + 1 H,  cover bothsides, verifikasi,  chek and balanching dan kaidah induksi lainnya. Capian kebenaran material ini yang kemudian dipublis kepada khalayak. Karena tersandar kepada pencarian kebenaran ini lah,  dahulu penulis sangat bangga dengan tugas profesi ini.

Deklarasi Palembang memberi sinyal terancamnya kehormatan pers dan profesi wartawan oleh karena muncul menjamurnya pers abal-abal dan wartawan bodrex. Sehingga perlu adanya penataan.

Tentu PWI tidak sendirian. Ada lembaga lain juga yang menggarap bidang yang sama, baik organisasi wartawan maupun perusahaan media,  seperti AJI,  IJTI maupun SPS. Dan lembaga-lembaga penguji kompetensi wartawan yang direkomendasi Dewan Pers, mulai media tertentu maupun pihak akademisi di kampus.

Hal mendasar yang perlu terlebih dahulu difahami adalah definisi pers,  yakni lembaga sosial yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Dewan Pers sebagai lembaga independen yang menjaga dan melindungi kebebasan pers nasionanal. Media sebagai manifestasi dan individuasi dari pers nasional.

Sistem penilaian dalam uji kompetensi wartawan,  ibarat alat ukur timbangan untuk berat,  meteran untuk panjang dan termometer  untuk panas tubuh. Kadar kewartawanan diabstraksikan pada tiga tingkat : muda,  madya dan utama. Tentu pada realitasnya kadar kewartawanan seseorang tidak hanya tiga undagan itu saja.

Sebuah persoalan akan muncul ketika sistem penilaian ini juga bergantung pada subjektifitas seorang penguji. Ketika nilai kadar kewartawanan seseorang harus terkonversi kedalam nominal angka-angka. Subjek materinya kaidah jurnakistik, etik jurnalistik, mafhum UU Pers serta UU lain yang membatasi kebebasan pers seperti UU Perlindungan Anak.

Sebagai alat uji,  UKW yang sudah menjadi ketentuan SK Dewan Pers,  semangatnya tidak boleh kembali pada paradigma Deppen dimasa lalu sebagai birokrat yang mengurus pers. Dewan Pers harus kembali kepada definisinya yang ada di UU Pers sebagai lembaga independen. Gerak kecenderungan Dewan Pers ke arah menjadi Deppen jaman now harus dicegah. Dan UKW tidak boleh terjebak pada wartawan membirokrasi wartawan. Sedangkan di masa lalu Depen saja hanya mengendalikan hulu lewat SIUPP (surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) dan di hilir ditafsirkan oleh media masing-masing.

Dibawah rezim ketua Yosef, Dewan Pers cenderung melenceng ke membelenggu pers nasional dengan tali-tali kecilnya berupa regulasi Dewan Pers. Ia yang dilahirkan oleh UU Pers dengan definisi lembaga independen penjaga dan pemelihara kebebasan pers telah melakukan banyak offside,  tanpa disadari oleh kita masyarakat pers.

Dewan Pers sudah membreak-down definisi pers sebagai lembaga sosial,  ke dalam pewajiban Perseroan Terbatas (PT) pada setiap penyelenggaraan pers. Sehingga kesimpulanya berpers berarti harus berbisnis. Dimanakah sisi lembaga sosial,  seperti dinyatakan dalam definisi pers ? Para Pemred yang belum UKW,  harus diuji mulai dari alat uji wartawan muda dimana ia harus duduk dites bersama anak buahnya. Dimana nilai etikanya ? Kenapa para Pemred kehilangan haknya untuk meminta diuji sebagai wartawan utama. Toh kalau tidak layak juga tidak usah dinyatakan kompeten.

Dewan Pers dalam sejarahnya juga mengalami jalan berliku. Dimasa lalu lebih ke penasihat penguasa. Pernah dibiayai oleh perusahaan pers yang ada,  tapi tidak lancar iurannya. Dan sekarang dibiayai APBN. Definisinya lembaga independen,  biayanya dari APBN. Agak mengganggu kogika memang.

Disinilah para penguji UKW PWI harus dapat dengan jernih melihat kronologis dari Deklarasi Palembang. Disana,  pada saat itu terjadi kegelisahan bersama,  ketika wabah wartawan abal-abal muncul dimana-mana. Dari kausalitas itulah Deklarasi Palembang disepakati. Dan memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk menjalankan agenda penertiban ini. Salah satunya lahirlah ketantuan UKW ini.

Ketika orang pers sendiri banyak terjebak dalam pesona industri pers,  secara hakikat pers sudah mati. Karena dalam konsep industri pers,  pers hanya aksiden dan bukan sebagai substansi lagi. Pers hanya komoditas setara dengan komoditas lain dalam industri lain seperti kelapa sawit,  industri garmen,  industri otimotif dan lainnya. Tujuannya adalah profit. Idealnya kini,  pers nasional harus berbentuk koperasi,  dimana seluruh redaksi adalah pemiliknya.

Di dalam konsep industri,  pers tak perlu lagi idealis dan tak harus menjadi alat pencari kebenaran materi yang faktual. Akhirnya pers, di kamar redaksinya,  terjebak dalam lorong panjang labirin framing yang tak ada ujung. Masyarakat pun akhirnya tahu,  saat kau datang mencari uang bukan mencari kebenaran. Kepercayaan akhirnya menipis. Bahkan kebanggaan menjadi wartawan seperti mulai luntur,  malu disamakan dengan wartawan bodrex.

Persoalan kita lainya yang tidak bisa ditutupi adalah,  medium digital yang melahirkan banyak perubahan baru : Media Syber.

Masalahnya tidak sesederhana memindahkan redaksi dari kertas koran,  layar televisi atau radio ke media syber. Media syber membawa perubahan nilai,  bukan saja pada aspek teknologi dan aspek ekonomi. Melainkan pada substansi jurnalistik itu sendiri, yakni menghilangnya ruang dan deadline membuat karya kirnalistika seperti berjalan di permukaan bulan tanpa grafitasi.

Media syber memiliki tabiat-tabiatnya yang jauh berbeda dari induknya saat di medium lama koran,  televisi dan radio.

Dewan Pers harus dapat merangkul semua komponen pers nasional dan memakrifati keadaan yang sedang melanda dunia pers. Tidak bisa hanya sekedar sibuk UKW dan verifikasi perusahaan media, itu urusan media dan menteri perindustrian. Apakah pers itu?  Apakah industri itu?  Jawabannya adalah dua hal yang berbeda. Jangan hanya sibuk dengan infrastruktur,  mekainkan juga tangani suprastrukturnya.

Mengangkat marwah dan kehormatan pers nasional tidak cukup hanya menguji kompetensi orang pers dan memverifikasi perusahaan pers. Yang paling utama justru cegah terjadinya industri pers,  yang didalamnya bertujuan hanya keuntungan semata. Dan pers sebatas hanya komoditi. Hakikat pers sebagai metode pencarian kebenaran material empiris harus diupgrade dengan metode rasionalitas berbasis logika filsafat Pancasila. Dan pers nasional harus mencanangkan jurnalistik prophetik sebagai amalan dari sila ketuhanan yang maha esa. Juga jurnalistik gnostik,  supaya pembentukan jiwa jurnalis juga menjadi bagian yang tidak ditinggalkan.

Dalam kondisinya yang penuh seluruh nafas industri,  nyaris mustahil Dewan Pers maupun organisasi wartawan dapat menegakan kaidah dan etik jurnalistik secara konsekwen.

Dalam keadaan memiliki kartu UKW wartawan masih terbuka peluang untuk melakukan penyimpangan modus Lapan Anam dan framing. Atau yang sekarang marak adalah memposisikan diri sebagai corong yang bayar. Headline berbayar dan lain-lain.

Industri Pers

Sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar PWI sudah selayaknya berada di barisan terdepan dalam mengawal marwah,  kehormatan dan kemuliaan wartawan Indonesia.

Bagaimana menjaga marwah dan kehormatan bagi wartawan itu?

Salah satunya adalah membuat pembeda yang jelas. Pembeda dari wartawan atau pers abal-abal. Pembeda dari apa yang sekarang dinamakan media sosial.

Pembeda itu terdapat pada kaidah jurnalistik dan etik jurnalistik. Dengan konsisten pada dua ketentuan tadi wartawan dan pers dituntut untuk taat, dan inilah inner value atau nilai dalaman yang membedakan seorang wartawan dan bukan wartawan. Atau yang menyamar jadi wartawan untuk tujuan yang bukan kewartawanan.

Apakah tujuan pers itu ? Secara hakikat tujuan pers adalah mencapai kebenaran material,  melalui kaidah empiris yang tersusun dalam kaidah jurnalistik : 5 W + 1 H,  cover bothsides, verifikasi,  chek and balanching dan kaidah induksi lainnya. Capian kebenaran material ini yang kemudian dipublis kepada khalayak. Karena tersandar kepada pencarian kebenaran ini lah,  dahulu penulis sangat bangga dengan tugas profesi ini.

Deklarasi Palembang memberi sinyal terancamnya kehormatan pers dan profesi wartawan oleh karena muncul menjamurnya pers abal-abal dan wartawan bodrex. Sehingga perlu adanya penataan.

Tentu PWI tidak sendirian. Ada lembaga lain juga yang menggarap bidang yang sama, baik organisasi wartawan maupun perusahaan media,  seperti AJI,  IJTI maupun SPS. Dan lembaga-lembaga penguji kompetensi wartawan yang direkomendasi Dewan Pers, mulai media tertentu maupun pihak akademisi di kampus.

Hal mendasar yang perlu terlebih dahulu difahami adalah definisi pers,  yakni lembaga sosial yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Dewan Pers sebagai lembaga independen yang menjaga dan melindungi kebebasan pers nasionanal. Media sebagai manifestasi dan individuasi dari pers nasional.

Sistem penilaian dalam uji kompetensi wartawan,  ibarat alat ukur timbangan untuk berat,  meteran untuk panjang dan termometer  untuk panas tubuh. Kadar kewartawanan diabstraksikan pada tiga tingkat : muda,  madya dan utama. Tentu pada realitasnya kadar kewartawanan seseorang tidak hanya tiga undagan itu saja.

Sebuah persoalan akan muncul ketika sistem penilaian ini juga bergantung pada subjektifitas seorang penguji. Ketika nilai kadar kewartawanan seseorang harus terkonversi kedalam nominal angka-angka. Subjek materinya kaidah jurnakistik, etik jurnalistik, mafhum UU Pers serta UU lain yang membatasi kebebasan pers seperti UU Perlindungan Anak.

Sebagai alat uji,  UKW yang sudah menjadi ketentuan SK Dewan Pers,  semangatnya tidak boleh kembali pada paradigma Deppen dimasa lalu sebagai birokrat yang mengurus pers. Dewan Pers harus kembali kepada definisinya yang ada di UU Pers sebagai lembaga independen. Gerak kecenderungan Dewan Pers ke arah menjadi Deppen jaman now harus dicegah. Dan UKW tidak boleh terjebak pada wartawan membirokrasi wartawan. Sedangkan di masa lalu Depen saja hanya mengendalikan hulu lewat SIUPP (surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) dan di hilir ditafsirkan oleh media masing-masing.

Dibawah rezim ketua Yosef, Dewan Pers cenderung melenceng ke membelenggu pers nasional dengan tali-tali kecilnya berupa regulasi Dewan Pers. Ia yang dilahirkan oleh UU Pers dengan definisi lembaga independen penjaga dan pemelihara kebebasan pers telah melakukan banyak offside,  tanpa disadari oleh kita masyarakat pers.

Dewan Pers sudah membreak-down definisi pers sebagai lembaga sosial,  ke dalam pewajiban Perseroan Terbatas (PT) pada setiap penyelenggaraan pers. Sehingga kesimpulanya berpers berarti harus berbisnis. Dimanakah sisi lembaga sosial,  seperti dinyatakan dalam definisi pers? Para Pemred yang belum UKW,  harus diuji mulai dari alat uji wartawan muda dimana ia harus duduk dites bersama anak buahnya. Dimana nilai etikanya ? Kenapa para Pemred kehilangan haknya untuk meminta diuji sebagai wartawan utama. Toh kalau tidak layak juga tidak usah dinyatakan kompeten.

Dewan Pers dalam sejarahnya juga mengalami jalan berliku. Dimasa lalu lebih ke penasihat penguasa. Pernah dibiayai oleh perusahaan pers yang ada,  tapi tidak lancar iurannya. Dan sekarang dibiayai APBN. Definisinya lembaga independen,  biayanya dari APBN. Agak mengganggu kogika memang.

Disinilah para penguji UKW PWI harus dapat dengan jernih melihat kronologis dari Deklarasi Palembang. Disana,  pada saat itu terjadi kegelisahan bersama,  ketika wabah wartawan abal-abal muncul dimana-mana. Dari kausalitas itulah Deklarasi Palembang disepakati. Dan memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk menjalankan agenda penertiban ini. Salah satunya lahirlah ketantuan UKW ini.

Ketika orang pers sendiri banyak terjebak dalam pesona industri pers,  secara hakikat pers sudah mati. Karena dalam konsep industri pers,  pers hanya aksiden dan bukan sebagai substansi lagi. Pers hanya komoditas setara dengan komoditas lain dalam industri lain seperti kelapa sawit,  industri garmen,  industri otimotif dan lainnya. Tujuannya adalah profit. Idealnya kini,  pers nasional harus berbentuk koperasi,  dimana seluruh redaksi adalah pemiliknya.

Di dalam konsep industri,  pers tak perlu lagi idealis dan tak harus menjadi alat pencari kebenaran materi yang faktual. Akhirnya pers, di kamar redaksinya,  terjebak dalam lorong panjang labirin framing yang tak ada ujung. Masyarakat pun akhirnya tahu,  saat kau datang mencari uang bukan mencari kebenaran. Kepercayaan akhirnya menipis. Bahkan kebanggaan menjadi wartawan seperti mulai luntur,  malu disamakan dengan wartawan bodrex.

Persoalan kita lainya yang tidak bisa ditutupi adalah,  medium digital yang melahirkan banyak perubahan baru : Media Syber.

Masalahnya tidak sesederhana memindahkan redaksi dari kertas koran,  layar televisi atau radio ke media syber. Media syber membawa perubahan nilai,  bukan saja pada aspek teknologi dan aspek ekonomi. Melainkan pada substansi jurnalistik itu sendiri, yakni menghilangnya ruang dan deadline membuat karya jurnalistik seperti berjalan di permukaan bulan tanpa grafitasi.

Media syber memiliki tabiat-tabiatnya yang jauh berbeda dari induknya saat di medium lama koran,  televisi dan radio.

Dewan Pers harus dapat merangkul semua komponen pers nasional dan “memakrifati” keadaan yang sedang melanda dunia pers. Tidak bisa hanya sekedar sibuk UKW dan verifikasi perusahaan media, itu urusan media dan menteri perindustrian. Apakah pers itu?  Apakah industri itu?  Jawabannya adalah dua hal yang berbeda. Jangan hanya sibuk dengan infrastruktur,  melainkan juga tangani suprastrukturnya.

Mengangkat marwah dan kehormatan pers nasional tidak cukup hanya menguji kompetensi orang pers dan memverifikasi perusahaan pers. Yang paling utama justru cegah terjadinya industri pers,  yang didalamnya bertujuan hanya keuntungan semata. Dan pers sebatas hanya komoditi. Hakikat pers sebagai metode pencarian kebenaran material empiris harus diupgrade dengan metode rasionalitas berbasis logika filsafat Pancasila. Dan pers nasional harus mencanangkan jurnalistik prophetik sebagai amalan dari sila ketuhanan yang maha esa. Juga jurnalistik gnostik,  supaya pembentukan jiwa jurnalis juga menjadi bagian yang tidak ditinggalkan.

Dalam kondisinya yang penuh seluruh nafas industri,  nyaris mustahil Dewan Pers maupun organisasi wartawan dapat menegakan kaidah dan etik jurnalistik secara konsekwen.

Dalam keadaan memiliki kartu UKW wartawan masih terbuka peluang untuk melakukan penyimpangan modus Lapan Anam dan framing. Atau yang sekarang marak adalah memposisikan diri sebagai corong yang bayar. Headline berbayar dan lain-lain.

Membangun jiwa manusia wartawan juga merupakan upaya yang tak kalah pentingnya. Tanpa melakukan ini bisa saja UKW hanya sedang menghasilkan wartawan bodrex yang ‘legal’. Caranya adalah dengan mensintetiskan kaidah empiris,  etis,  rasionalis filosofis dan jurnalistik prophetik dan jurnakistik gnistik.

Sebuah berita, – dalam dominasi pemikiran politik sebagai panglima,  selama ini sering dilihat sebagai aspek kekuasaan. Politik redaksi. Karena beritanya lah pers dan para warwawan ditakuti oleh pejabat publik. Situasi seperti ini ditangkap oleh para preman kampung untuk menyamar menjadi wartawan mendatangi kepala desa dan kepala sekolah menanyakan dana desa dan dana bos. Yang prakteknya mereka menarik setoran semata.

Kegiatan premanisme berkedok jurnalis ini masih marak,  sementara Dewan Pers masih sibuk UKW dan verifikasi perusahaan media. Bodrex di lapisan bawah tak tersentuh,  karena yang wartawan beneran sibuk menggalakkan puritanisme yang ekslusif. Jeruk makan jeruk.

Melihat realitas seperti ini Dewan Pers,  sebagai alat UU Pers yang secara hakiki lahir dari Pers Nasional,  harus meindungi dan memelihara pers yang ada.

PERMASALAHAN

Wabah Industri Pers,  secara hakiki adalah kematian pers pada pisisi semula sebagai lembaga sosial yang mampu menyajikan kebenaran materiil dari setiap peristiwa atau keadaan. Dan Dewan Pers menyempurnakannya secara berkekuatan hukum dengan satu alternatif badan hukum yakni Perseroan Terbatas.

Dengan industri pers yang murni profit,  wartawan pun hakikatnya adalah buruh

industri. Wartawan bukan lagi bagian dari sebuah sistem redaksi mencari kebenaran materiil.

Wabah bodrexisme hanya bentuk minimalis dari industri pers oleh pers abal-abal bermodal besar. Masih segar di ingatan kita tentang teve merah dan teve biru. Pengingkaran metodologi jurnalistik dan etik jurnalistik yang dipertontonkan di siang bolong dan Dewan Pers seribu bahasa diam.  DP hanya tajam pada yang kecil.

SOLUSI :

Memakrifati problem kekinian. Kembali kepada modal awal pers nasional sebagai ikut mendirikan bangsa ini,   pers perjuangan, pilar ke empat demokrasi,  pendidik masyarakat,  pengontrol masyarakat. Semua itu adalah tugas suci yang menjadi peran utama pers nasional. Bukan suruh nyari duit semata.