Oleh : Mesak Habary, Jubir Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)
Pada Pemilihan Presiden, Jokowi berjanji akan akan serius dalam mendorong penguatan di tubuh KPK. Lahirnya UU No 19 Tahun 2019 atas perubahan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukti bahwa Jokowi tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, ini adalah upaya melemahkan lembaga anti rasuah yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap negara.
RUU KPK pada tahun 2019 kemarin menuai protes dari berbagai elemen bangsa mulai dari mahasiswa, organisasi anti korupsi, pakar hukum, ahli hukum, bahkan datang dari kalangan pelajar. Upaya protes RUU KPK juga sampai memakan korban nyawa. Tetapi suara-suara itu tidak pernah di gubris oleh penguasa negeri, padahal demokrasi di Indonesia harus di implementasikan secara fundamental sesuai dengan asas yang mengamanatkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.
Selain gerakan demonstrasi, langkah-langkah perjuangan juga di lakukan melalui jalur formal yakni uji materi (judicial reveiew) ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan agar MK dapat menerima seluruh gugatan. Secara konstitusi MK adalah lembaga hukum yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final tapi nyatanya itu semua sangat jauh dari harapan dan keinginan rakyat. Ini terbukti dari putusan MK pada 04 Mei 2021 yang menolak semua gugatan uji materi dari penggugat. Ini adalah upaya yang terstruktur, sistematis dan masih untuk melemahkan KPK.
Upaya pelemahan KPK dapat dibuktikan dengan keputusan pemberian surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk tersangka yang merugikan negara senilai 4,58 trilliun rupiah. Padahal masih banyak kasus yang belum di selesaikan oleh lembaga anti rasuah bahkan sangat berpotensi kasus-kasus tersebut akan selesai setelah jangka waktu 2 tahun keluarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bahkan di bebaskan atas tuduhan-tuduhan yang ada. Alhasil itu sangat jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004.
Disini lain Pemerintah juga mengeluarkan PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang adalah turunan dari UU No 19 Tahun 2019.
Dengan adanya aturan tersebut kami sangat meyakini kalau ini adalah upaya pelemahan KPK. Tes Wawamcara Kebangsaan (TWK) berjumlah 1.349 orang dikabarkan 75 pegawai dan penyidik KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan, di antaranya Novel Baswedan yang memiliki rekam jejak sebagai penyidik yang menangani kasus-kasus besar seperti korupsi KTP elektronik, korupsi kasus benih lobster, kasus suap Hakim MK Akil Mochtar, korupsi simulator kemudi SIM, dan kasus Harun Masiku. Bahkan sampai menjadi korban tersangka ketika di siram air keras.
Pemerintah, tidak seharusnya melupakan sejarah lahirnya lembaga anti korupsi di tanah air. KPK adalah anak kandung reformasi yang perjuangannya berdarah-darah melalui gerakan rakyat. Oleh karna itu pemerintah tidak bisa mengabaikam suara-suara yang lahir dari mulut rakyat.
Maraknya kasus korupsi di tanah air tidak terlepas dari sistem politik kita yang sudah terpolarisasi oleh kelompok oligarki. Polarisasi oligarki sangat berpengaruh pada kebijakan politik anti korupsi yang hanya mengakomodir kepentingan kelompok 1%.
Jika pemerintah serius dalam memberantas korupsi di tanah air, hal yang harus di lakukan adalah melibatkan 99% rakyat Indonesia. Pastisipasi mayoritas rakyat untuk mengubah sistem politik melalui kebijakan pemerintah sangatlah objektif dan rasional, partisipasi rakyat akan mendobrak budaya birokratis yang selama ini menjadi duri dalam kepentingqn rakyat, partisipasi rakyat juga sangat berpengaruh pada kondusifitas negara karna setiap kebijakan yang mereka putuskan sudah mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.