Oleh: Amir Machmud NS
BOLEH jadi Anda menjadi makin terbiasa manakala menyimak perang kata para politisi di akun-akun media sosial, yang sebagian dijumput dan disajikan oleh media massa.
Justifikasi yang kemudian menjadi permisivitas bermuara pada ungkapan permakluman, “ya seperti itulah politik”. Kebencian berbatas tipis dengan kemesraan. Hari ini bermusuhan, esok bergandeng tangan. Kepentingan menjadi seni yang bisa mengetengahkan segala kemungkinan.
Suatu ketika sejumlah politisi dengan masif mencerca rezim Joko Widodo dengan kalimat-kalimat pedas. Bahkan hingga ke relung-relung performa personal.
Atas nama sikap oposisional dan hak kebebasan berekspresi, mereka menguliti rezim dengan ungkapan-ungkapan yang kadang terasa lebay dan kurang pantas. Namun apa yang berkembang kemudian?
Sejumlah oposan yang semula brutal berubah menjadi anak manis, menjelma kucing jinak yang mati-matian membela rezim. Mereka balik badan mencerca orang-orang yang kritis kepada sang “juragan baru”.
Atas nama pembenaran bahwa “inilah politik”, sikap balik kucing itu menjadi sah-sah saja. Persetan dengan konsistensi, karena seperti itulah mungkin “ideologi” orang-orang semacam mereka.
Pada bagian lain, simaklah akun-akun media sosial non-politisi. Pertarungan pembentukan opini para selebriti pun tak kalah seru.
Atmosfer ruang digital mengeruh, dan bisa kita pilah dalam kategori-kategori. Ada yang merupakan ekspresi watak asli manusia. Ada yang berbentuk upaya menaikkan rating, menjaga eksistensi di orbit popularitas, meraih viral, juga ikhtiar untuk mengorbit yang kini populer sebagai “panjat sosial”.
Semua terpanggungkan lewat pernyataan-pernyataan kontroversial, bersikap ofensif kepada pihak lain, intimidatif, defensif mempertahankan diri dengan counter attack, hingga mencari-cari masalah dengan mencerca dan mengumbar ujaran kebencian.
Tak kalah seru adalah komentar-komentar netizen terhadap sejumlah berita media digital. Sebuah isu bisa direspons oleh ribuan orang melalui ruang komentar yang dibuka oleh media. Nada pembelaan atau amunisi serangan yang mudah terbaca sebagai bagian dari perilaku buzzer kerap muncul, tak jarang terkesan mengepung “musuh” secara berombongan.
Dalam beberapa segi, proporsionalitas komentar tak lagi berpijak pada perasaan manusia. Banyak termuat kata-kata jorok, mengandung unsur SARA, dan banyak sisi sensitif terkait interaksi antarmanusia. Dari sisi ini berpotensi muncul hoaks dan ujaran kebencian.
Ketidakterkontrolan konten komentar netizen ini tentu menimbulkan kesan tentang realitas perkembangan praktik komunikasi sosial. Yakni betapa keruh ruang digital kita yang makin memasabodohkan etika.
Orang cenderung semakin mengabaikan perasaan pihak lain. Bahkan mungkin banyak yang tidak memahami betul tentang makna substansial isu yang disajikan oleh sebuah media.
Tak sedikit yang asal berkomentar dengan kesan “yang penting berbeda” dan meluapkan kebencian. Apalagi lewat akun-akun yang dari labelnya mudah kita duga sebagai tempat menyembunyikan identitas diri.
Sikap Preventif
Kekeruhan ruang digital itu menggambarkan ketiadaan sikap preventif dalam berekspresi. Orang memosting sesuatu tanpa mempertimbangkan hati dan perasaan pihak lain. Juga mengabaikan kemungkinan munculnya luka, yang potensial membuka celah sosial dan celah hukum.
Apakah dengan demikian, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum mampu menyentuh tujuan menjadi rambu preventif untuk menciptakan efek jera?
Atau malah UU ITE akan selalu terposisikan sebagai paradoks kebebasan berekspresi, antara lain dihadapkan dengan Undang-Undang Pers yang memberi jaminan ruang kemerdekaan pers?
Ketika kedewasaan berpendapat belum menuansai cara berpikir manusia, maka mindset hak berekspresi inilah yang paling mudah didalihkan untuk menyampaikan apa saja yang seseorang maui.
Padahal bukankah di balik kebebasan menyampaikan pendapat itu sejatinya juga termuat hak asasi orang lain? Terdapat relasi sosial yang pasti berkait antara satu dan lain orang.
Sah-sah saja Anda bicara hak, tetapi orang lain juga punya hak yang sama. Maka batasan hukum idealnya memberi jalan tengah agar orang tidak semaunya mengunggah apa pun di aneka platform media. Betapa menyedihkan jika kebiasaan menista menjadi hari-hari kita.
Kesimpulan ini tidak bermaksud mereduksi hak kontrol publik terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. UU Pers jelas mengamanatkan itu. Tafsir dan kritik terhadap sejumlah pasal UU ITE juga memberi gambaran kehendak, “tak seharusnya UU justru menjerat niat maslahat kontrol publik untuk menjaga kelurusan jalan kekuasaan”.
Pada sisi lain, kepastian hukum yang tidak didasarkan pada pemahaman-pemahaman pasal selentur karet, atau tidak semau yang menggunakan pasal, yang akan meluruskan niat dalam bermedia dan media sosial.
Dalam media sosial, “jangan melukai kalau tidak mau dilukai”.
Dalam wilayah kekuasaan, “jangan menyimpang kalau tidak mau dikoreksi”.
— Amir Machmud NS, wartawan senior, Ketua PWI Jawa Tengah, penulis buku, dan pengajar Ilmu Komunikasi.