Medan – Persoalan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi yang menjewer pelatih biliar Sumut Choki Aritonang tidak perlu diperpanjang.
Sebab, peristiwa itu sebenarnya hubungan antara orang tua dengan anak, antara pembina dengan pelaku olahraga di hadapan para pembina dan pelaku olahraga.
Jadi komunitasnya sangat homogen, ibarat dalam satu keluarga yang sesungguhnya tidak ada keinginan untuk saling menyakiti.
Hal ini disampaikan Pakar Kebijakan Publik Dr H Sakhyan Asmara, MSP kepada wartawan di Medan, Kamis (30/12) menanggapi peristiwa Gubsu Edy Rahmayadi yang memanggil pelatih biliar Khairuddin Aritonang – yang sering dipanggil Choki – kemudian menjewernya dalam acara Pemberian Bonus kepada para pelaku olahraga yang berprestasi pada PON XX Papua di Aula Tengku Rizal Nurdin Medan pada 27 Desember 2021.
Sakhyan Asmara mengemukakan sebenarnya peristiwa itu ibarat balon, yang bisa dibuat besar jika mau dibuat besar bahkan sampai meletus. Tetapi, jika ingin dibuat kecil, maka bisa menjadi kecil dan bahkan justru dapat menjadi alat instrospeksi bagi semua yang hadir di situ untuk lebih meningkatkan semangat kebersamaan dan semangat juang guna meningkatkan prestasi olahraga.
Sakhyan mengatakan pendapatnya ini disampaikannya setelah menyimak pernyataan keduanya, baik Gubernur maupun Khairuddin. Gubernur mengatakan bahwa hal itu adalah jewer sayang. Tentu saja hal ini biasa dilakakukan oleh seorang orang tua terhadap anaknya atau seorang pembina kepada binaannya.
“Jadi tidak masalah dan tidak perlu dipermasalahkan. Sementara Khairuddin juga menyatakan bahwa dia bukan diusir, tapi keluar sendiri dari ruangan karena dijewer,” jelas Sakhyan yang mantan Deputi Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI.
Hal ini wajar sebagai manifestasi kemarahaan sesaat karena dimarahi orang tua. Jadi menurut Sakhyan, hal itu adalah persoalan biasa, tidak perlu diperpanjang dan tidak perlu ada yang merasa disakiti.
Apalagi jika dilihat dari tradisi kita orang timur, lanjut Sakhyan, yang juga Ketua STIKP Medan itu, menjewer adalah sebuah perbuatan yang mempunyai arti berbeda antara tindakan dan pemaknaannya.
Tindakannya adalah menjewer, yakni menarik atau memilin telinga, tapi maknanya adalah menegur atau memperingatkan (kepada anak didik atau bawahan. Jadi sebenarnya menjewer itu masuk dalam kategori kiasan, sehingga penggunaan menjewer bukan menyakiti atau membuat orang lain sakit hati.
“Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, karena perbuatan menjewer itu bukan bermaksud untuk menyakiti,” sebut Sakhyan yang juga pernah menjabat Kepala Biro Humas Pemprov Sumut dan Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga Sumut.
Oleh sebab itu, hendaknya semua pihak dapat lebih bijaksana dalam memberikan respons terhadap peristiwa menjewer yang dilakukan oleh Gubsu terhadap pelatih biliar Choki Aritonang.
“Hal itu pasti bisa diselesaikan dengan segera tanpa harus diperpanjang,” ujar Sakhyan. (*/red)