Oleh Asyari Usman
Sepintas lalu, Ade Armando terkesan menjadi korban kesewenangan massa. Dari kaca mata kesewenangan penguasa dan kesewenangan dosen UI itu, kesimpulan ini ada benarnya. Bahwa orang-orang yang mengeroyok dia sampai babak belur di tengah demo mahasiswa 11 April di komplek DPR, telah berlaku sewenang-wenang. Sekali lagi, ini seratus persen benar. Dan ini tidak boleh terjadi.
Sangat setuju. Tapi, beginilah cara pandang yang sewenang-wenang di pihak yang terbiasa sewenang-wenang. Cara pandang ini disebut sewenang-wenang karena mengabaikan kronologi panjang yang melibatkan kesewenang-wenangan mulut Ade Armando.
Ade bisa sewenang-wenang melakukan berkali-kali peninstaan agama dengan proses hukum yang sewenang-wenang. Padahal, untuk salah satu atau beberapa kasus, dia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, tidak berlanjut karena pihak yang berwenang bertindak sewenang-wenang.
Jadi, peristiwa kemarin itu adalah kesewenangan massa yang menjadi episode penutup dari serial kesewenangan Ade Armando sendiri.
Pusing! Tidak juga. Sederhana sekali masalahnya. Pertama, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan perlakuan buruk terhadap Pak Dosen. Tapi, yang kedua, aduan tentang provokasi yang dia lakukan selama ini selalu bisa dibelokkan oleh semua lembaga penegak hukum di semua tingkatan. Ketiga, Ade selalu bisa lepas melenggang dengan jumawa sambil busung dada.
Lagi-lagi kita kembali ke isu ketidakadilan. Yang telah menumpuk tinggi, bergunung-guung, di masa Presiden Jokowi ini. Sampai akhirnya rakyat megap di bawah tumpukan ketidakadilan itu.
Kemarin, massa rakyat menemukan celah kecil untuk menghirup udara keadilan. Mereka pun berlomba-lomba menggapainya. Udara keadilan menjadi langka dan mahal bagi orang-orang yang berseberangan dengan penguasa negeri. Bisa dipahami kalau mereka berdesak-desakan ketika melihat ada udara keadilan yang bocor halus di Senayan. Sekadar melepas rindu mereka untuk mencium aroma keadilan itu.
Para penguasa seharusnya bisa mengambil pelajaran dari ketidakadilan yang mereka jadikan kebijakan setengah resmi. Pelajarannya adalah bahwa peristiwa yang menimpa Ade Armando itu adalah “proses peradilan” atas ketidakadilan itu. Bahwa kemarin publik melakukan sidang kilat terhadap ketidakadilan yang selama ini merajalela di Indonesia.
Kita tidak perlu bicarakan aspek-aspek sekunder dari pengeroyokan Ade. Misalnya, ada yang berteori bahwa peristiwa kemarin itu adalah desain untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar yang sedang dipersoalkan oleh massa pendemo. Bisa jadi benar. Tapi saya yakin tidak benar. Kalau pun benar, itu bukan kepingan penting dari kekacauan pengelolaan negara
Ketidakadilan adalah sumber kekacauan yang melanda bangsa dan negara. Ade Armando ada di pusaran itu. Kesewenangan yang dia nikmati mungkin tidak sebesar yang ditumpuk oleh para bandit politik dan bandit bisnis yang menguasai Indonesia.
Tetapi, celakanya, kilauan kesewenangan Ade Armando itu sangat mencarang, membuat banyak orang marah bercampur iri. Pantas ditambahkan di sini ucapan Ade dari tempat tidur perawatannya di rumah sakit bahwa dia tidak takut. Bah dia akan makin gila lagi setelah ini. Yang bisa diartikan dia akan semakin sewenang-wenang lagi.[]
12 April 2022
(Juranlis, Pemerhati Sosial-Politik)