Tok! Akhirnya, RUU No. 34 Tahun 2004 sah menjadi Undang-undang. Setelah melalui proses kajian dan diskusi yang cukup panjang, tiga poin penting yang sempat menimbulkan pro-kontra di masyarakat, resmi tercantum dalam UU TNI. Menurut Utut Adianto Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, ada tiga poin penting RUU TNI yang telah dibahas DPR dan pemerintah. Salah satunya adalah tentang kedudukan TNI hal ini diatur pada Pasal 7 soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
“Dalam pasal ini TNI mendapat tugas tambahan. Yaitu TNI ikut membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan yang kedua membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri,” kata Utut, yang juga berasal dari Fraksi PDI-P. Dengan disahkannya UU TNI hasil revisi secara bulat, maka seluruh gerak dan langkah TNI, termasuk dalam OMSP tidak boleh keluar dari UU.
Sayangnya semangat ini yang tidak dipahami oleh mahasiswa. Bahkan mahasiswa yang bergerak dengan argumen seadanya melakukan tindakan anarkis bukan dialogis atau argumentatif. Akibatnya, sisi pragmatisme politik lebih kentara dari pada idealis. Padahal informasi sangat mudah diakses, beda dengan gerakan mahasiswa tahun-tahun 80-an dan 90 an yang sangat minim akses informasi.
Menurut Ahmad Kailani, “cara-cara anarkis mahasiswa sebenarnya tidak perlu terjadi jika mahasiswa ikut mendalami secara dialogis-akademis isu-isu terkait Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam konteks global”, jelasnya dalam siaran pers yang diterima media. “Karena itu, kami menolak aksi anarkis. Karena anarkisme bentuk nyata melecehkan intelektualisme. Melecehkan mahasiswa itu sendiri”, jelasnya
Bahkan menurut salah seorang Presidium Poros Tiga Daerah (Postidar) ini, masuknya tugas tambahan bagi TNI ke dalam undang-undang, boleh dikatakan UU TNI adalah UU yang “progresif”. Mengapa? Karena revisi tugas baru TNI berangkat dari dinamika global di mana ancaman baru tidak lagi bersifat konvesional melainkan perang modern dalam bentuk siber (cyber war). Dengan penugasan ini, pasukan siber TNI tidak hanya bergerak dalam teritorial tetapi juga di ruang siber (cyber space). “Jika tidak diatur di dalam UU, TNI bisa kehilangan kendali”. Hal yang sama menurut Kailani soal perlindungan warga Indonesia di belahan dunia. “Kasus perdagangan orang, bencana alam akibat perubahan cuaca (climate change) harus diatur dalam undang-undang”.
Dengan isu ini, Kailani ingin menegaskan bahwa isu bangkitnya dwi fungsi TNI dalam UU hanyalah mitos. Mengapa? Dunia sudah berubah drastis. Negara tidak lagi bisa menutup diri dari negara lain. Dengan kenyataan ini, negara semakin dituntut untuk demokratis, terbuka dan transparan. Karena itu, menurutnya dunia tidak akan mungkin kembali ke masa lalu. Termasuk memberi toleransi pada otoritarianisme. Terlalu sulit dan mahal jika kekuasaan akan kembali menggunakan “tangan besi”, “Apalagi Prabowo sejak awal bertekad mensejahterakan rakyat, maka dwi fungsi TNI adalah pilihan yang paradoksal”, tegasnya.
Ia mencontohkan, dalam hal penegakan demokrasi, pasar memainkan peran yang sangat besar. Menurutnya, jika dwi fungsi terjadi, yang pertama kali menghukumnya adalah pasar. Ia mencontohkan, soal perdagangan CPO. “ketika CPO bersumber dari lahan sawit saja yang diduga mencemari lingkungan, pasar Uni Eropa bergerak untuk menolaknya. Apa artinya? Artinya yang mengawasi dan mengontrol kekuasaan sebuah negara bukan hanya DPR dan rakyat tetapi juga pasar global.
Belum lagi peran media sosial. Di Indonesia, pengguna media sosial sudah lebih dari 200 juta orang. Melalui media sosial, banya kasus hukum, ekonomi, kriminbal terungkap. Istilah “No. Viral No. Justice” adalah bentuk betapa kuatnya peran media sosial mengawasi aparat. “Hal yang sama menurut saya akan juga terjadi dalam isu dwi fungsi TNI. Namun jika benar dwi fungsi TNI terjadi, maka saya akan ada dibarisan paling depan untuk menentangnya”, tegas Kailani mengakhiri.