PUSARAN.CO-Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia /PP-KBPII
menggelar diskusi Webinar Ekonomi, membahas tentang dampak covid 19 dan strategi pemulihan perekonomian nasional, Sabtu (9/5/2020).
Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan di bidang ekonomi untuk mengatasi dampak dari pandemi covid-19.
Acara ini diikuti oleh seratus pesarta baik dari KBPII dan aktivis PII di seluruh tanah air maupun dari kalangan eksternal (umum), serta disiarkan secara langsung (live streaming) melalui Facebook.
Selain Dahlan Iskan yang tampil sebagai pembicara kunci, dalam dikusi ini, juga menghadirkan para narasumber kompeten di bidangnya masing-masing.
Dalam diskusi, Prof. Didik Rachbini memberikan kritik yang cukup keras terhadap gaya penanganan dan penanggulangan pandemi covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah.
Bahkan, menurutnya pemerintah menjadi masalah kedua setelah covid-19.
Dalam hal ini, ia menilai kebijakan pemerintah dalam menghadapi covid-19 sangat membingungkan.
Menurutnya, dalam situasi kritis seperti ini kepemimpinan (leadership) menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan dampak-dampak ikutannya.
Sayangnya, menurutnya kepercayaan (trust) kepada pemerintah sudah tidak ada.
Ia menambahkan, bahwa krisis akibat pandemi ini berbeda dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Menurutnya, krisis ekonomi tahun 1998 hanya menyelesaikan dampaknya, karena masalahnya sudah selesai.
Namun, saat ini antara masalah dan dampaknya terjadi secara bersamaan. Hal ini membuat bangsa ini diliputi dengan ketidakpastian. Untuk itu, ia menyarankan lebih baik bangsa Indonesia untuk sementara ini lebih memfokuskan diri terlebih dahulu pada masalah ketahanan hidup (survival).
Lebih jauh lagi, Didik menyarankan untuk memperhatikan tiga hal, yakni pasar (market), negara dan sifat altruisme warga.
Menurutnya, ketiga hal tersebut memiliki peran yang paling utama bagi kehidupan masyarakat selama masa pandemi. Dalam hal ini, aktivitas pasar harus tetap dijalankan, namun dengan menggeser medianya dari infrastruktur fisik menjadi infrastruktur digital. Normalitas baru (the normal) akan berkonsekuensi pada efisiensi dalam kegiatan ekonomi.
Selain itu, menurutnya negara harus memanfaatkan APBN secara efektif dan efisien. Anggaran 400 Trilyun yang sudah digulirkan oleh pemerintah untuk penanggulangan dampak covid-19 harus dipergunaakan secara efisien. Ia sendiri tidak sepakat dengan anjuran pencetakan uang (quantitative easing) oleh Bank Indonesia, mengingat dampaknya akan semakin kompleks terutama akibat inflasi.
Selain menghadirkan para ekonom dan praktisi ekonomi, webinar ini juga menghadirkan Najib Azca untuk memberikan perspektif sosiologis dalam menganalisis dampak dari pandemi covid-19.
Menurut Najib, masalah di bidang kesehatan ini telah berdampak terhadap krisis ekonomi, kemudian krisis ekonomi tersebut mengakibatkan keresahan sosial dan potensi kerawanan sosial. Bahkan, masalah sosial ini bisa berujung pada kemungkinan terjadi krisis di bidang politik. Melalui webinar ini ia mengingatkan akan potensi-potensi dampak ikutan lain yang harus diantisipasi dan dipersiapkan jika pandemi ini berlangsung dalam durasi yang panjang.
Meskipun demikian, Najib mengatakan bahwa Indonesia diuntungkan dengan adanya kekuatan modal sosial dan solidaritas sosial yang kuat. Dalam hal ini, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia dari sisi kekuatan modal sosialnya, dan rangking paling atas dalam hal indeks memberi (world giving index).
Secara tidak langsung, modal sosial ini sangat membantu kerja pemerintah dalam menanggulangi pandemi.
Namun, ia juga memprediksi apabila pandemi ini berlarut-larut hingga berganti tahun, kekuatan modal sosial Indonesia dalam menopang bantuan sosial terhadap masyarakat miskin dimungkinkan hanya dapat bertahan maksimal hingga akhir tahun 2020.
Sebagai alternatif solusi untuk menghadapi normalitas baru (the new normal), ia menyarankan untuk mengembangkan socioprenreur di kalangan masyarakat, yakni program-program sosial yang dikerangkai dengan jiwa entrepreneurship agar program sosial tersebut dapat sustainable.
Sementara itu, Muhammad Misbakun (anggota DPR RI Komisi XI) mengatakan bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 saat ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi yang terjadi sebelumnya. Hal ini karena yang terkena hantaman dari krisis ini adalah supply and demand secara bersamaan.
Krisis ini kemudian menghasilkan the winner sector dan the looser sector. Dalam hal ini, banyak sektor yang colaps seperti pariwisata, perhotelan dan konstruksi. Namun, yang paling menderita adalah UMKM.
Pukulan di sektor riil tersebut berakibat pula pada hantaman terhadap sektor perbankan.
Menurutnya, situasi ini merupakan ujian bagi seorang pemimpin untuk membawa negara ini agar mampu keluar dari krisis.
Lebih jauh lagi, Misbakhun berpendapat bahwa solusi atas krisis ini harus dengan cara mengoptimalkan resource based economy.
Menurutnya, salah satu yang dapat dilakukan oleh negara adalah dengan melakukan quantitative easing. Hal ini karena kebutuhan negara untuk membiayai penanggulangan dampak dari covid-19 sangat besar.
Untuk itu, dikatakannya, dalam rangka memberikan kepastian terhadap semua sektor ekonomi dalam jangka panjang, pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih berani, salah satunya dengan melakukan quantitative easing meskipun kebijakan tersebut tidak populer.(red).