PUSARAN.CO – Memasuki pergantian tahun 2019, Bank Banten dapatkan pendapat hukum dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia terkait dengan upaya perkuatan permodalannya. Sebagaimana diketahui bahwa selain indutri yang diregulasi dengan ketat, perbankan juga merupakan industri yang padat permodalan. Fundamental bisnis suatu bank, salah satunya tercermin melalui kecukupan permodalan yang dimiliki untuk mendukung pertumbuhan bisnis yang kuat dalam upaya menyerap risiko yang dihadapinya.
Proses pendirian Bank Banten sendiri mengalami jalan berliku yang tentunya membutuhkan tidak sekedar retorika dari para pemangku kepentingan, namun juga tindakan nyata untuk memberdayakan keberadaannya. Sebagaimana diketahui, bahwa proses akuisisi Bank Pundi
menjadi Bank Banten telah menelan biaya yang tidak sedikit, yakni lebih kurang Rp. 600 miliar. Namun demikian, dana tersebut adalah nilai transaksi yang diperlukan untuk pembelian bank saja, belum mencakup ke dalam investasi yang harus dipersiapkan oleh pemegang saham guna mendukung keberlangsungan bisnisnya serta memenuhi peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku.
Ibaratnya sebuah toko, proses akuisisi toko baru mencakup entitas bisnisnya saja dan belum memperhitungkan konsekuensi perubahan model bisnis toko tersebut. Semisal, toko yang baru diakuisisi tersebut tentunya harus di isi dengan persedian barang yang sesuai dengan kebutuhan segmen pasar yang dituju. Manajemen stok dan juga likuiditas diperlukan dalam mengelola bisnis, sehingga transaksi yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan harapan pemilik toko. Namun tentunya, diperlukan komitmen dan kesungguhan pemilik toko untuk mempersiapkan modal guna mendukung transformasi bisnis tersebut. Tanpanya, siapa pun yang menjaga toko serta menjalankan usahanya akan kesulitan dalam berbisnis.
Direktur Bank Banten Kemal Idris mengatakan, dengan diperolehnya pendapat hukum tersebut, seharusnya para pemangku kepentingan dapat lebih yakin lagi dalam mendukung perkembangan Bank Banten.
Kalau kami sudah membuka diri untuk lebih baik lagi dalam penerapan GCG serta senantiasa berpedoman pada prinsip kehati-hatian untuk mendukung pertumbuhan bisnis bank yang kuat dan sehat, seharusnya hal tersebut dapat dijadikan sebuah cerminan dari sikap segenap organisasi dalam mengemban amanah pengelolaan modal yang sedianya diberikan melalui pencairan APBD/P 2019, yakni sebesar Rp. 131 miliar.
Dengan diperolehnya dukungan dalam bentuk permodalan tersebut, Bank Banten akan semakin leluasa untuk mengembangkan proses internal penilaian kecukupan modal seraya menetapkan target-target bisnis sesuai dengan profil risiko serta lingkungan pengendalian
bank.
Sebagaimana dituangkan dalam Kerangka Basel, jumlah permodalan yang harus dipenuhi untuk mendukung penguatan fundamental bisnis Bank Banten sekurangnya harus dapat merefleksikan mitigasi risiko yang mencakup diantaranya risiko kredit berikut konsentrasinya, risiko operasional, risiko pasar, dan juga risiko-risiko lainnya. “Tentunya kami akan senantiasa bersungguh-sungguh dalam mengemban amanah yang diberikan sebagaimana tertuang dalam pakta integritas yang telah ditandatangani oleh jajaran pengurus Bank Banten dan disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Banten selaku Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT),” ungkap Kemal di Serang (31/12).
Ferry Hermansyah selaku praktisi manajemen risiko nasional berpendapat, penambahan modal Bank Banten diharapkan memberikan kemampuan pada Bank Banten untuk mencapai skala ekonomi yang diharapkan, sehingga dapat segera meningkatkan nilai tambah yang
selama ini diberikan kepada para pemangku kepentingan, khususnya pemegang saham. Upaya-upaya efisiensi atau yang dikenal dengan istilah streamline tidaklah cukup untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam perbaikan kinerja Bank Banten. Menurutnya,
Bank Banten juga harus memanfaatkan kompetensi intinya untuk meningkatkan skala bisnis dan mencapai titik impas operasional sebagaimana model bisnis BPD pada umumnya.
Sebagaimana terlihat dari laporan kinerja keuangan Bank Banten paska diakuisisi hingga September 2019, Bank Banten telah cukup baik mengurangi kerugian operasional seraya menjaga tingkat kecukupan likuiditas yang dimilikinya. Sambung Ferry, “penurunan rugi bersih tahun berjalan dari Rp. 405,12 miliar pada akhir 2016 menjadi Rp. 108,54 miliar pada September 2019 merupakan upaya yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Namun demikian upaya yang dilakukan oleh Manajemen Bank Banten akan memberikan dampak perbaikan yang lebih signifikan apabila mampu meningkatkan skala bisnisnya”.
Selain itu pada kesempatan terpisah, analis Sucor Sekuritas Edward Lowis berpendapat,permasalahan Bank Banten salah satunya adalah bagaimana menuntaskan transformasi model bisnisnya. Sebagaimana diketahui, dalam setiap akuisisi yang dilakukan dan diikuti oleh perubahan model bisnis yang sangat berbeda, pemegang saham dan manajemen tidak boleh melupakan konsekuensi strategis yang harus dipenuhi termasuk diantaranya pemenuhan infrastruktur utama dalam model bisnis yang baru, pengembangan kapasitas dan kapabilitas organisasi dan juga mengalokasikan permodalan yang memadai untuk mendanai investasi jangka panjang yang telah ditetapkan.
“Pemilik dan pengurus dari sebuah bank memiliki tanggung jawab yang lebih luas
dibandingkan dengan industri lainnya secara umum. Mengapa demikian? Karena setidaknya pemilik bank harus memiliki komitmen serta kemampuan keuangan untk senantiasa memenuhi permodalan,khususnya dalam hal memenuhi tingkat CAR pada peers groupnya serta antisipasi implementasi IFRS 9. Selain itu, bisnis bank menitikberatkan kepada nilai-nilai utama yang bersifat abstrak, mencakup diantaranya kepercayaan, reputasi dan kredibilitas sebagai parameter yang utama. Kurangnya komitmen dari pemilik dan pengurus bank dalam mengelola bisnisnya yang penuh dengan risiko berpotensi memicu systemic risk, too big to fail, atau pula too interconnected to fail,” tutupnya.
Dengan adanya komitmen penuh dari Pemerintah Provinsi Banten, diharapkan Bank Banten dapat lebih berperan dalam mendukung pembangunan ekonomi dan masyarakat provinsi banten seraya menjaga kualitas pelaksanaan governance system yang ada. Dengan demikian,
maka permodalan yang ada dapat dipergunakan sesuai dengan arah yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan dengan baik oleh manajemen, memudahkan bagi pihak-pihak lain yangberkepentingan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja manajemen, dan mengetahui posisi bank secara dini dalam rangka merespon kepentingan stakeholders.(rls).