Pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Garut, Jawa Barat yang berujung pada meninggalnya 13 orang, termasuk sembilan warga sipil, menimbulkan pertanyaan dari pengamat militer terkait dengan standar keamanan dan pemberitahuan risiko yang seharusnya dilakukan.

Baca Juga

Setidaknya 13 orang dilaporkan tewas akibat ledakan yang terjadi di area pantai di Kecamatan Cibalong, Garut, Jawa Barat, pada Senin (12/05) sekitar pukul 09.30 WIB.

Ledakan diduga terjadi saat ada kegiatan pemusnahan amunisi tidak layak pakai milik TNI AD, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.

Jenazah para korban telah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pameungpeuk di Garut untuk penyelidikan lebih lanjut.

Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana mengonfirmasi bahwa sembilan dari 13 korban yang meninggal dunia adalah warga setempat, sementara empat lainnya adalah anggota TNI.

Wahyu mengeklaim ledakan terjadi saat tim dari gudang amunisi pusat TNI AD sedang menyusun detonator di salah satu lubang yang disiapkan di pantai untuk peledakan amunisi kedaluwarsa.

“Saat tim penyusun amunisi menyusun detonator di dalam lubang tersebut, secara tiba-tiba terjadi ledakan dari dalam lubang yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia,” ujar Wahyu.

Pihak TNI mengatakan masih melakukan investigasi untuk mengetahui penyebab pasti dari ledakan tersebut.

Di sisi lain, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menduga warga yang menjadi korban sedang berupaya mengumpulkan sisa-sisa logam dari bekas ledakan, seperti serpihan granat dan mortir.

Sementara Camat Cibalong, Dianavia Faizal, mengatakan pihaknya sudah mendapat pemberitahuan ihwal rencana pemusnahan amunisi dari TNI sekitar satu minggu sebelumnya.

Warga pun disebut Faizal sudah terbiasa dengan kegiatan pemusnahan amunisi tidak layak pakai di kawasan tersebut.

Namun, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mempertanyakan kepatuhan terhadap prosedur pengamanan saat kegiatan pemusnahan amunisi tidak layak pakai berlangsung, termasuk sosialisasi terhadap risikonya.