Pertandingan Maroko melawan Belgia yang dimenangkan Maroko 2-1. (AP/Manu Fernandez) 

ENTAH apa yang ada di benak Munir Mohammedi, penjaga gawang Maroko. Apakah dia mengikuti instruksi pelatih, atau memang mengikuti instuisinya saja ketika pertandingan memasuki menit-menit akhir.

Setelah Munir memegang bola, Munir tidak menginisiasi build-up serangan dari bawah dengan mendistribusikan bola ke bek. Tapi Munir menendang bola jauh ke depan sampai melewati 2/3 lapangan. Di 1/3 lapangan depan, Zakaria Aboukhlal menyambut bola dengan sundulan kepala dan bola jatuh di kaki rekannya, Hakim Ziyech. Pemain Chelsea yang dikenal memiliki pergerakan eksplosif di sisi kanan penyerangan ini, langsung saja menggiring bola dan dengan cepat merangsek lini pertahanan Belgia.

Baca Juga

Ketika memasuki kotak pinalti, orang menyangka bahwa Ziyeck akan langsung melakukan shooting keras ke gawang untuk mencetak gol. Tapi Ziyeck sepertinya sadar bila hal itu dia lakukan, maka bola akan melambung di atas mistar gawang. Karena posisi badannya sedang tidak seimbang. Maka ketika sudah beberapa meter lagi mendekati tiang gawang, Ziyeck tiba-tiba melakukan cut-back. Tanpa melihat, bola dikembalikan ke belakang tepat ke posisi Zakaria Aboukhlal yang sedang berdiri. Hasil selanjutnya sudah diketahui. Pemain muda berusia 22 tahun dan bermain untuk klub tidak cukup familiar, Toulouse, menaklukkan Thibaut Courtois. Penjaga gawang Real Madrid yang disebut sebagai salah satu penjaga gawang terbaik dunia saat ini.

Sebetulnya tanpa gol Aboukhlal di menit Ke-92 ini, Maroko tetap unggul atas Belgia. Pada menit Ke-73, Sabiri mencetak bola melalui tendangan bebas dari sudut yang sangat sempit dan tidak mungkin. Meski gol tersebut dicatat atas nama Saiss karena bola sedikit tersentuh olehnya, tapi tendangan bebas Sabiri dari kiri gawang Curtois adalah tendangan yang sangat ciamik. Sudutnya sangat sempit dan jarang yang bisa melakukan itu.

Namun sebagaimana yang terlihat, gol dari Zakaria Aboukhlal seperti segalanya. Menjadi penutup pertandingan yang sangat manis bagi Maroko, dan kejadian pahit bagi Belgia. Kevin De Bruyne dkk tersungkur di tangan Ziyeck dkk. Tim besar Eropa dikalahkan tim Afrika.

Usai pertandingan, Curtois terlihat tidak bisa lagi menahan kegeraman. Sambil berjalan menuju ruang ganti, mantan penjaga gawang Chelsea itu terlihat meluapkan kemarahan dengan memukul bilik official pertandingan. Di ruang ganti tiga pemain utama Belgia, Hazard, Kevin De Bruyne, dan Verthongen bersitegang. Keempat orang ini adalah pemain-pemain utama di posisinya masing-masing. Curtois penjaga gawang, Vertonghen bek, De Bruyne pemain tengah, dan Hazard sebagai striker. Sementara di Brussel Ibukota Belgia, diberitakan fans Belgia marah besar sampai membuat kerusuhan dengan membakar bendera Maroko.

Sebaliknya bagi Maroko. Ini adalah malam penuh suka cita. Di dalamnya tidak hanya ada perayaan, tapi pernyataan yang kerap tidak bisa diungkap dengan kata-kata.

Bagi Hakim Ziyech yang malam itu terpilih sebagai Man of The Match, ini adalah malam unjuk diri. Ziyeck menunjukkan kepada Thomas Tuchel dan Graham Potter bahwa kedua pelatih Chelsea itu telah melakukan kesalahan besar. Kedua pelatih yang banyak memarkir Ziyeck di bangku cadangan, bukan hanya sudah mengabaikan potensi dirinya, tapi juga konstribusinya selama ini terhadap Chelsea. Karena bagaimanapun Ziyech adalah bagian dari Chelsea ketika tim ini mengangkat trofi Liga Champions tahun lalu. Terbukti, memasuki musim kompetisi sekarang Chelsea keteteran. Jangankan mengejar Manchester City yang tidak berhenti memperkuat tim, bersaing dengan Manchester United yang baru siuman saja tidak mampu.

Malam ini juga malam unjuk diri Ziyech bagi Manajer Sepakbola terbaik dunia tahun ini, Paolo Maldini. Maldini bisa dianggap sudah melakukan strategi transfer jitu bagi AC Milan dengan mendatangkan pemain-pemain seperti Maignan, Tomori, atau Theo Hernandez. Tapi Maldini salah ketika memutuskan Ziyeck. Keputusan Maldini tidak melanjutkan negosiasi transfer Ziyeck karena uang nya dipakai untuk transfer Charles De Ketelaere terbukti keliru. Sektor kanan yang selama ini menjadi titik lemah serangan AC Milan dan rencananya akan diisi Ziyeck, tidak membaik. Sementara De Ketelaere yang katanya pemain versatile dan bisa dioperasikan di sayap kanan, juga tidak kunjung menunjukkan performa yang diharapkan. Bahkan di Piala Dunia sekarang, De Ketelaere adalah pemain cadangan.

Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami Achraf Hakimi. Full Bek Kanan Maroko yang musim ini ditransfer Paris Saint Germain (PSG) dari Inter Milan.

Beberapa waktu lalu ketika PSG melawan klub Israel Macabi Haifa di Liga Champions, Hakimi mungkin melihat tribun penonton dengan wajah muram, meski masih dihadapi dengan tegar. Karena di tribun penonton keluar cacian supporter Haifa terhadap Hakimi. Bukan karena Hakimi bermain kasar atau berperilaku tidak senonoh, tapi karena Hakimi berasal dari negara yang terus menerus membela Palestina dan mengecam Israel.

Namun malam ini, Hakimi melihat tribun penonton dengan wajah sumringah tidak terkira. Karena di sana ada fans terberat dirinya dan orang yang lebih berharga dari seluruh penonton di stadion; Ibunya. Dengan wajah sumringah, Hakimi berjalan ke tribun penonton dan menghampiri Ibunya. Memeluknya, mengangkatnya, dan menciuminya. Ibunya adalah orang yang ketika Hakimi kecil belajar bermain bola, bekerja sebagai pembersih rumah.

Ketika masih memperkuat Borrusia Dortmund, Hakimi sempat menceritakan perihal dirinya dan keluarganya kepada bundesliga.com, “My mother cleaned the houses and my father was a street vendor. We come from a modest family that struggled to earn a living. Today I fight every day for them. They sacrificed themselves for me. They deprived my brothers of many things for me to succeed.”

Jadi kalau dulu Ibunya sudah mati-matian mendukung dirinya untuk menjadi pemain Bola, maka Hakimi akan menjadikan Piala Dunia kali ini untuk tampil mati-matian demi Ibunya.

Malam penuh keceriaan dan kebahagiaan ini bukan hanya dinikmati orang Maroko yang hadir di stadion, tapi juga dirasakan orang Maroko di negaranya. Peter Drury, komentator kondang Liga Inggris, mengucapkan kata-kata yang sangat puitis untuk kegembiraan orang Maroko. Menurut banyak orang, ini adalah di antara komentar terbaik Drury.

Kata Drury; “Moroccan Mayheam. Drink it in Casablanca, relish it Rabat, this is your night.”

Kekacauan yang dibuat orang Maroko. Minumlah itu wahai warga Casablanca (Kota terbesar Maroko), nikmatilah wahai warga Rabat (Ibukota Maroko), ini adalah malam milik kalian semua.

Kalimat yang puitis Drury untuk menggambarkan malam itu, berkali-kali dikutip banyak orang.

Namun bagi Sadio Mane, Peter Drury sepertinya keliru bila mengatakan ini adalah malam indah bagi orang Maroko saja. Bagi pemain Senegal yang gagal tampil di Qatar 2022 karena cedera, ini bukan malam milik orang Maroko, tapi malam milik orang Afrika dan malam milik semua orang. “We’re all Morocco Today.” Begitu tweet Mane usai kemenangan Maroko. Sambil mencantumkan bendera Maroko dan hashtag OneAfrica.

Sadio Mane adalah andalan Jurgen Klop di Liverpool. Bersama Firmino dan Salah, Mane membentuk trisula maut Liverpool. Sebelum akhirnya dibeli Muenchen. Dalam Sepakbola, Mane bukan hanya pemain yang memiliki cara selebrasi yang sama dengan Hakim Ziyech ketika meraih kemenangan, sujud syukur, tapi juga dikenal sebagai pemain yang peduli dengan kondisi masyarakat. Mane lebih dikenal sebagai pemain yang suka mendonasikan gajinya untuk membantu masyarakat miskin di tempat kelahirannya, ketimbang sebagai pemain sepakbola yang suka membeli mobil mahal. Karena laku hidupnya itulah Mane mendapat Socrates Award. Sebuah penghargaan bagi pemain sepakbola yang sangat peduli terhadap kondisi masyarakat.

Penamaan Socrates sendiri bukan merujuk kepada filosof Yunani mashur Socrates. Socrates Award merujuk kepada legenda Kapten Timnas Brasil, Socrates. Gelandang Brasil ini tidak hanya menjadikan sepakbola sebagai ajang untuk meraih trofi, tapi sepakbola sebagai alat untuk membela orang-orang miskin dan terpinggirkan yang mudah ditemukan di Brasil.

Sebagai orang Afrika yang bermain untuk klub-klub Eropa dan dinobatkan sebagai penerima Socrates Award, Mane pasti sangat menyadari dan merasakan betapa timpang dan perihnya kehidupan. Superioritas Eropa atas Afrika begitu sangat terasa.

Namun malam ini, superioritas dan ketimpangan itu hilang. Belgia bukan hanya simbol kedigdayaan Sepakbola Eropa, tapi juga simbol reputasi Eropa. Karena Belgia bukan hanya memiliki timnas Sepakbola yang kuat, tapi di Brussel Belgia lah Uni-Eropa berkantor. Bagi Mane, malam ini adalah malamnya orang Afrika. Kehidupan yang pedih, timpang dan kadang menyakitkan, dipupus habis oleh Ziyech dkk. Belgia pemilik ranking 2 FIFA, dikalahkan 2 gol tanpa balas oleh Maroko pemilik ranking 22 FIFA. Orang Afrika juga bisa bahagia dan bahagianya melebihi orang Eropa yang bergelimang kemewahan.

Namun sepertinya bukan hanya Sadio Mane yang merasakan itu. Mane tidak hanya sedang membicarakan Afrika, tapi juga kita semua dalam melihat Sepakbola. Olahraga paling mashur di jagat raya ini, kerap menjadi saluran katarsis dari semua kerumitan dan kekacauan yang mesti dihadapi. Piala Dunia dengan Sepakbola nya, menunjukan sisi manis kehidupan di tengah sisi pahit kehidupan. Meski yang manis itu terjadinya jauh disana di Qatar, dan yang pahit adanya di depan mata kita.

Qatar 2022 memang memunculkan kerumitan bagaimana seharusnya berinteraksi dan berkomunikasi antara orang berbeda pandangan, kultur dan negara. Namun isyunya berkaitan dengan hal yang sering memaksa kita untuk belajar memahami supaya muncul solusi yang lebih kreatif untuk memahamkan semua pihak. Seperti isyu LGBTQ, Palestina, Israel atau minuman beralkohol. Lalu apa yang kita harapkan dari kerumitan interaksi dan komunikasi di negeri sendiri ketika diksi politik yang dimunculkan adalah “BAB” dan “Korengan”.

Meski dituding identik dengan kerusuhan supporter, Didier Drogba kapten timnas Pantai Gading berhasil menghentikan perang saudara berkepanjangan di negaranya dengan Sepakbola. Wilayah Utara Pantai Gadang yang didominasi muslim, berdamai dengan wilayah Selatan Pantai Gading yang didominasi Kristen. Didier Drogba membuat mereka berdamai dengan cara lolos ke Piala Dunia, lalu mengajak semua temen-temennya berlutut didepan televisi sambil memohon mereka untuk meletakan senjata.

Disini, negara yang terbebas dari perang saudara, politisinya mengajak lawannya yang masih satu negara untuk perang.

Makanya, mari nikmati dahulu Piala Dunia. Mari nikmati dulu keceriaan Sepakbola. Meskipun itu hanya untuk hari ini. Seperti kata Mane “We’re all Morocco Today”. Gembiralah seperti orang Maroko, meskipun hanya untuk hari ini.

* Penulis adalah Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)