Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan masih ada potensi terjadinya kembali tsunami di Selat Sunda. “Sedikitnya terdapat tiga sumber tsunami di Selat Sunda, yakni Kompleks Gunung Anak Krakatau, Zona Graben, dan Zona Megathrust,” kata Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhamad Sadly dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (12/1).
Sadly menjelaskan, Kompleks Gunung Anak Krakatau terdiri dari Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang. Gunung dan ketiga pulau tersebut tersusun dari batuan yang retak-retak secara sistemik akibat aktivitas vulkano-tektonik.
Akibatnya, kompleks tersebut rentan mengalami runtuhan lereng batuan atau longsor ke dalam laut, dan berpotensi kembali membangkitkan tsunami. Begitu pula dengan Zona Graben yang berada di sebelah Barat-Barat Daya kompleks Gunung Anak Krakatau, juga merupakan zona batuan rentan runtuhan lereng batuan (longsor) dan berpotensi memicu gelombang tsunami. Sementara itu Zona Megathrust termasuk wilayah berpotensi membangkitkan patahan naik pemicu tsunami.
“Atas dasar itulah hingga saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. BMKG juga mengimbau masyarakat mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari lima meter,” ujarnya.
Sebelumnya terjadi gempa bumi beruntun yang terekam di Selat Sunda pada 10-11 Januari 2019. BMKG memastikan gempa tersebut tidak mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan sebagai indikasi tsunami di kawasan tersebut.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan pemasangan beberapa alat pemantau dilakukan di sejumlah titik di Selat Sunda, guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut. Alat-alat tersebut dipasang di Pulau Sibesi, Ujung Kulon, dan Labuan. Pulau Sibesi merupakan pulau terdekat dengan Kompleks Gunung Anak Krakatau yang saat ini bisa dijangkau untuk pemasangan alat. Pulau ini difungsikan sebagai buoy alam agar dapat memberikan rekonfirmasi lebih dini terjadi gelombang tsunami.
Dwikorita juga menambahkan, agar pemantauan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut lebih maksimal, BMKG merekomendasikan membangun Base Transceiver Station (BTS) khusus di sekitar Gunung Anak Krakatau dan Ujung Kulon. Selain itu, juga dilakukan penambahan instrumentasi dan fasilitas untuk pemantauan muka air laut. Instrumen itu misalnya, Tide Gauge atau Sensor Water Level, Buoy, dan Radar Tsunami atau HF Radar.
“Penambahan peralatan tersebut untuk mempercepat pengiriman data hasil pengamatan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut yang terpantau. Dengan begitu, kita memiliki lebih banyak waktu untuk meminimalisasi jumlah korban akibat gempa dan tsunami di wilayah pesisir Selat Sunda,” katanya.
Dwikorita menambahkan, untuk mengantisipasi beredarnya informasi sesat dan bohong mengenai kondisi Selat Sunda, BMKG mengimbau masyarakat untuk melakukan cek dan kroscek informasi melalui kanal-kanal resmi BMKG.
Sumber: republika.co.id