JAKARTA — Komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Luquito mengungkapkan ada celah dalam pendistribusian bahan obat yang tidak sesuai dengan pengawasannya. Ini juga digunakan untuk memasukkan bahan baku seperti propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) sebagai solvat dalam obat-obatan.
PG dan PEG sebenarnya lebih banyak digunakan dalam industri makanan, kosmetik, tekstil dan farmasi. Penny menyampaikan 10 poin terkait kasus gagal ginjal akut yang saat ini terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Modifikasi Pemasukan PG dan PEG dalam Daftar Larangan atau Pembatasan (Lartas).
Kedua, Rancangan Perubahan Farmakope Indonesia terkait Kriteria Pencemaran EC/DEG untuk acuan dalam pengawasan pra-pasar dan pasca-pasar pada Kontaminasi EG/DEG
Ketiga, perlunya memperkuat penerapan sistem farmakovigilans Indonesia, dengan mempertimbangkan semua pemangku kepentingan terkait. Lebih lanjut, BPOM memastikan bahwa industri farmasi bertanggung jawab untuk memenuhi kualitas, khasiat dan keamanan produk melalui kepatuhan terhadap Good Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan farmakovigilans.
“Kami akan mencegah persidangan kejahatan narkoba dan makanan agar tidak terjadi lagi,” kata Penny.
keenam, komunikasi publik di tingkat internasional karena kemungkinan pemalsuan barang dalam perdagangan internasional. Ketujuh, industri farmasi terdiri dari kluster maturitas kepatuhan regulasi dengan QC yang bervariasi, sehingga aspek maturitas harus dimasukkan dalam kebijakan yang berdampak pada masyarakat.
Juga mendorong swasembada bahan baku farmasi produksi dalam negeri. Kesembilan, edukasi masyarakat untuk menjadi pengguna narkoba yang cerdas.
“Oleh karena itu, peran dan kewajiban BPOM sebagai lembaga pengatur dan pengawas bersama dengan lembaga kesehatan, bisnis, industri, komersial dan penegak hukum untuk melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang terkait dan harus dilakukan secara sistematis,” kata Penney.