Jakarta – Salah satu dari tiga arahan penting dari target utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah bagaimana BRIN menjadi platform untuk kerja sama global yang inklusif dan kolaboratif, yang kedua paling penting dari kegiatan riset dan inovasi ke depan yaitu akan difokuskan digital economy, green economy dan blue economy.
Seperti dilansir dari brin.go.id, Oleh karena itu BRIN membuka seluas-luasnya kesempatan tersebut kepada seluruh peneliti dari berbagai negara untuk berkolaborasi dengan peneliti Indonesia dengan berpedoman koridor Undang Undang Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, Ismunandar dalam kegiatan Sosialisasi Perizinan Penelitian Asing Dalam Perspektif UU No. 11 Tahun 2019 bagi para Pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di negara–negara Kawasan Amerika Serikat dan Republik Rusia yang diselenggarakan secara daring melalui video conference, Selasa (15/06/2021).
“Kolaborasi riset internasional esensinya adalah merupakan salah satu strategi penting untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas output dan outcome dari penelitian di samping itu kita tetap berpedoman pada garis politik luar negeri bebas aktif,” sambung Ismunandar.
Berbeda dengan tahun–tahun sebelumnya di mana peneliti asing bisa mendapatkan visa dan izin tinggal untuk melakukan kolaborasi penelitian di Indonesia, namun pada masa pandemi ini terdapat pembatasan mobilitas dari orang asing yang tertuang di Permenkumham No. 26 Tahun 2020 tentang visa dan izin tinggal di masa adaptasi baru.
Dalam kesempatan yang sama Wihadi Sutrisno, Analis Keimigrasian Pertama, Subdit Visa Imigrasi Ditjen Imigrasi Kemenkumham menjelaskan lebih dalam terkait Permenkumham No. 26 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa pemberian visa kunjungan hanya dapat diberikan untuk 6 kategori antara lain untuk keperluan darurat dan mendesak, pembicaraan bisnis, pembelian barang, uji coba keahlian bagi calon Tenaga Kerja Asing, tenaga bantuan medis dan pangan dan bergabung dengan alat angkut yang berada di wilayah Indonesia.
“Hanya ada dua kategori yang mendapat visa tinggal terbatas yaitu tenaga asing dalam rangka bekerja dan tidak dalam rangka bekerja yang diantaranya adalah investor, penyatuan keluarga dan Wisatawan Asing Lanjut Usia. Artinya untuk kategori lain seperti peneliti asing, mahasiswa asing, jurnalis asing tidak mendapatkan visa tinggal terbatas,” tegas Wihadi.
Demi terus menyelaraskan arah dari target utama BRIN yang ingin menjadi wadah untuk kerja sama global yang inklusif dan kolaboratif dalam masa adaptasi baru ini, maka dituntut pula penyesuaian metode lain dalam aktifitas kolaborasi riset, misalnya dalam pengambilan sampel yang biasa dilakukan di lapangan, namun peneliti asing dapat melakukan metode seperti remote research atau penelitian jarak jauh di mana pengambilan data primernya dilakukan oleh local counterpart yang berada di Indonesia sedangkan aktifitas analisis dara dan termasuk sampel dapat dilaksanakan bersama-sama setelah dilakukan pertukaran data (data exchange) sampai dengan tahapan penyusunan laporan hasil penelitian serta penulisan manuskrip publikasi ilmiah.
“Beberapa bidang penelitian sangat memungkinkan dilakukan secara remote research, seperti penelitian orang utan, namun tidak bagi penelitian (contohnya) antropologi dengan metode participant observation yang mengharuskan peneliti asing berbaur dengan responden dalam waktu yang relatif lama,” sambung Sri Wahyono, Analis Kebijakan Ahli Madya dalam diskusi tanya jawab.
Sebelum melaksanakan itu semua, BRIN mengimbau untuk perlu perhatian lebih terhadap payung hukum yang menaungi kegiatan kolaborasi riset tersebut, agar kontribusi para pihak dan benefit yang hendak dicapai tertuang di dalam kesepakatan tertulis.
Selain itu dalam metode pengolahan sampel, analis data dan keperluan pengiriman sampel atau spesimen riset keluar negeri perlu juga perhatian terhadap dokumen Material Transfer Agreement. Di samping itu semua, pada prinsipnya perizinan penelitian tetap berpedoman pada UU No 11 Tahun 2019.
“Dalam melakukan persetujuan penelitian asing tentunya peran atase menjadi sangat penting karena menjadi ujung tombang yang paling mengetahui para pemohon dari negara masing-masing, oleh karenanya perlu mengoptimasi untuk kemudian membawa dampak multiplier effect dari sektor perizinan peneliti asing untuk mendorong penelitian yang berkualitas membawa dampak yang besar bagi pembangunan negeri kita,” tutup Heri Hermansyah, Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual.
Sosialisasi ini dihadiri oleh para Pejabat Fungsi Atase Penerangan dan Sosial Budaya, Pejabat Fungsi Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Pejabat Fungsi Atase Keimigrasian di negara-negara kawasan Amerika dan Republik Russia serta pengurus dan anggota dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di negara-negara kawasan Amerika dan Republik Russia. (*/cr2)