Jakarta – Budayawan Ridwan Saidi mendukung penulisan buku mengenai wisata halal yang digagas oleh Forum Akademisi Indonesia (FAI) sebagai bagian penting dari upaya memberi pemahaman yang paripurna kepada publik terkait wisata halal di Indonesia.
“Saya mendukung penulisan buku tersebut, dengan catatan ke depan harus ada narasi yang jelas dan benar terkait obyek-obyek wisata yang ada, bahkan harus ada pelurusan tarikh atau sejarah terkait tempat-tempat yang dinilai bersejarah di Indonesia,” katanya di Jakarta, Rabu (22/9/2021).
Budayawan Betawi yang biasa disapa “Babeh Ridwan” itu mengemukakan keterangan tersebut dalam perbincangan dengan Penasehat FAI Aat Surya Safaat, Sekjen Eni Heni Hermaliani, dan Wakil Ketua Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri FAI Didin Syahrudin Sukeni terkait rencana pembuatan buku dengan judul “Tokoh Nasional Bicara Wisata Halal”.
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf)/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Baparekraf) Dr Sandiaga Salahudin Uno dan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr Amirsyah Tambunan juga memberikan dukungan terhadap penulisan buku wisata halal yang digagas FAI itu.
Keduanya sependapat bahwa penulisan buku tersebut sangat penting sebagai bagian dari upaya meningkatkan literasi terkait wisata halal, selain sangat diperlukan untuk menambah khazanah dan diskursus mengenai wisata halal di Indonesia.
Mereka juga berpendapat, wisata halal yang dalam terminologi pariwisata global disebut ‘Moslem Friendly Tourism’ (Wisata Ramah Muslim) perlu dipahami sebagai sebuah konsep untuk menghadirkan keterpaduan sistem pariwisata yang bersih, sehat, aman, dan nyaman serta ramah lingkungan sesuai konsep Islam ‘Rahmatan Lil A’lamin’ (rahmat bagi sekalian alam).
Lebih dari itu, menurut Sekjen MUI, makanan yang tersedia di tempat wisata halal tentunya adalah makanan yang halal dan baik sesuai makna Al-Quran ayat 168 Surat Al-Baqarah yang mengingatkan manusia supaya memakan makanan yang halal dan baik.
Ridwan Saidi lebih lanjut mengemukakan, sampai sejauh ini obyek-obyek wisata di Indonesia minim, bahkan banyak yang tidak dilengkapi narasi atau keliru narasinya, padahal Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk pengembangan wisata, dan tidak terbatas pada wisata halal.
“Kesalahan paling fatal adalah, banyak obyek wisata tanpa narasi yang benar, bahkan tanpa narasi samasekali. Terkait hal ini, pernah sekali waktu saya melihat turis di Musium Bahari hanya terbengong-bengong karena minimnya narasi obyek-obyek wisata di sana,” kata budayawan dan sejarawan yang sudah menulis lebih dari 20 buku terkait budaya dan sejarah itu.
Museum Bahari itu sendiri adalah museum yang menyimpan koleksi terkait kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke yang berlokasi di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Museum tersebut adalah salah satu dari delapan museum yang berada di wilayah DKI Jakarta.
Menurut Ridwan Saidi, ke depan, obyek-obyek wisata di Indonesia harus dilengkapi dengan narasi yang lengkap dan benar, kalau perlu dalam berbagai bahasa internasional, dan paling tidak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, sehingga destinasi dan obyek wisata di daerah manapun di Indonesia akan dikunjungi banyak turis.
Selain itu “guide” (pemandu wisata) harus memiliki kemampuan bahasa Inggris dan pemahaman bahari yang mumpuni, karena kalau dilihat dari aspek kesejarahan, obyek-obyek wisata itu umumnya ada di daerah-daerah yang memiliki pelabuhan.
Babeh Ridwan juga mengemukakan, pada abad ke-9 di Nusantara sudah ada 21 zona ekonomi, antara lain Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Belawan Medan, Pelalawan Riau, Jambi, Lampung, Pasuruan Jawa Timur, Bima, Alor, Makassar, Buton, Ternate, Tidore, Banda Neira, dan Raja Ampat.
“Wisata halal sejatinya sudah berlaku di zona-zona ekonomi yang dikuasai kerajaan atau kesultanan Islam tersebut, dan daerah-daerah pelabuhan itu banyak dikunjungi para pedagang antar pulau, bahkan pedagang asing,” kata mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu.
Ia juga mengingatkan perlunya pelurusan sejarah di daerah-daerah wisata terkait banyaknya gedung-gedung yang disebut-sebut merupakan peninggalan Belanda, padahal gedung-gedung yang bergaya Kaukasia itu sebagian besar dibangun oleh saudagar dari Perancis yang memiliki kepentingan dagang di Nusantara.
Kekuasaan Belanda di Indonesia sendiri pada abad 18 hingga abad 19 tak berlangsung penuh, dan Belanda termasuk negara miskin di Eropa. Perebutan kekuasaan di Eropa membuat Belanda sempat berada di bawah penjajahan Perancis yang ketika itu dipimpin Napoleon Bonaparte.
Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (2016) karangan MC Ricklefs, menjelang akhir abad 18, VOC mengalami kemunduran. Korupsi dan perang terus-menerus di berbagai daerah di Nusantara membuat VOC mengalami krisis keuangan.