Catatan Asro Kamal Rokan

FOTO dapat mengembalikan ingatan masa lalu. Beberapa hari lalu, saya menemukan album lama. Foto-foto semasa menjadi penyiar radio dan wartawan pada pertengahan 1980-an. Teknologi masa itu sangat jauh berbeda dengan saat ini yang instan dan serba cepat.

Awalnya di Radio Alnora Jl Ngalengko, Medan. Selain mengerjakan administrasi, kadang kala mengisi suara untuk sandiwara radio Melayu, yang dibuat Ibu Hj Nuraini Rangkuti, penyanyi Melayu terkemuka di Medan yang juga istri Pak H Adnan Lubis, pemilik Radio Alnora.

Baca Juga

Dari Alnora, saya pindah menjadi penyiar di Radio Eldraba Jl Enggang. Saat itu, saya menggunakan nama asli. Masa di Eldraba, beberapa artis Jakarta datang ke studio untuk wawancara album baru mereka, antara lain Chrisye dan Betharia Sonata.

Setahun kemudian saya pindah menyiar di Radio Sonya di Jl Petula. Manajemen minta saya ganti nama. Saya gunakan nama Romel. Nama ini asal terlintas saja dari AsRo KaMal (Romal jadi Romel). Ini karena awalnya saya dites sebagai penyiar, tetapi manajemen berubah dan minta saya langsung on-air. Dalam tempo tidak sampai lima menit, jadilah nama Romel.

Di Eldraba dan Sonya — yang ketika itu masih menggunakan frekuensi AM, belum FM — penyiar merangkap operator. Kesibukan luar biasa, namun akhirnya terbiasa. Kesibukan terutama saat acara pilihan pendengar sekitar satu jam. Sebelum acara dibuka, biasanya telepon dari pendengar sudah berdering. Ini harus diangkat. Mereka minta lagu dan ucapan. Ini harus ditulis agar tidak lupa.

Selepas itu, cari lagu yang diminta. Jika lagu tersebut ada piring hitamnya –campact disc (CD) belum ada saat itu — lebih mudah. Cari dari rak dan letakkan piring hitam di alat pemutar (turntable), posisikan jarumnya ke lagu yang dimaksud. Kemudian, buka voice mike, ngomong, bacakan pesan penggemar, sambil tangan menekan tombol turntable, dan pelan-pelan volume suaranya dibesarkan. Selesai.

Relatif mudah. Tapi jika lagu yang dipesan hanya ada di kaset, ini jadi persoalan. Apalagi lagu tersebut berada di bagian tengah. Di studio, ada satu tape — mirip batu bata — yang disiapkan untuk membolak-balik kaset. Nah, dari sinilah jari harus cepat menekan tombol forward, rewind, play, stop, dan pause.

Setelah lagu ditemukan, putar sedikit ke depan dengan jari agar lagu tidak langsung berkumandang. Kemudian kaset dimasukkan ke tape deck, yang terhubung dengan mixer. Tekan pause. Mulai bicara, “Selamat siang Nina, apa kabar? Kami siapkan lagu yang Anda pesan untuk Andi, Noni, Robert dengan ucapan selamat istrahat. Berikut lagu I Want to Break Free, Freddie Mercury, Queen…”

Biasanya durasi setiap lagu sekitar tiga menit. Dalam kurun waktu tersebutlah kesempatan untuk mencari lagu pesanan berikutnya. Ini diselingi menerima dan mencatat pesan telepon. Dahulu, telepon tidak bisa langsung on air, teknologinya belum ada. Jika lagu pesanan sulit dicari, siapkan lagu pilihan sendiri, sambil menyatakan mohon maaf.

Saat ini situasinya berbeda. Melalui komputer, lagu dengan mudah didapatkan, tinggal pilih dan siarkan — tanpa membulak-balik kaset.

Oh iya adalagi. Ketika menjadi penyiar, diusahakan tidak langsung bertemu dengan penggemar yang datang ke studio. Alasannya, biarkan pendengar hanya kenal suara, karena suara dan sosok penyiar bisa jauh berbeda. Jadi, biarkan saja pendengar berimajinasi…

Wartawan

Pada pertengahan 80-an, saya wartawan di Harian Sinar Pembangunan Medan, kemudian saat bersamaan koresponden Harian Merdeka Jakarta di Medan. Pada 1986, saya ke Jakarta, jadi wartawan di Harian Merdeka milik Pak BM Diah, sempat juga koresponden Analisa Medan, kemudian di Republika, LKBN Antara, dan JurnalNasional.

Semasa di Medan, alat kerja utama adalah mesin tik, belum ada komputer, apalagi internet. Berita yang akan dikirim ke Harian Merdeka di Jakarta, setelah diketik, dikirim melalui pos kilat. Tiga hari kemudian berita baru dimuat.

Komunikasi lain melalui telepon di kantor Telkom dengan cara bayar di Jakarta (ptt). Ini apabila berita sangat penting yang harus dimuat esok pagi, misalnya bencana alam, kecelakaan pesawat atau kereta api, kasus berskala nasional, dan tentu pertandingan olah raga, terutama sepak bola.

Berita diketik atau tulis tangan, kemudian dibacakan kepada redaktur yang menerima telepon. Redaktur mencatatnya, kadang sambil marah-marah, jika info tidak lengkap. Beda dengan laporan sepak bola, cukup dilaporkan hasil pertandingan, pencetak gol, kartu kuning atau merah, nama wasit, jumlah penonton, proses gol terjadi, jalan pertandingan, dan peristiwa yang terjadi, misalnya keributan. Redaktur akan merangkum semua info tersebut menjadi berita.

Ketika saya di redaksi Harian Merdeka Jakarta, kerja redaksi ternyata rumit. Berita diketik di atas kertas yang berukuran, kemudian diserahkan ke redaktur, yang kemudian mencoret-coret bagian yang tidak penting. Jika tidak lengkap atau tidak sesuai kode etik, berita dikembalikan minta dilengkapi.

Setelah itu dikembalikan ke redaktur. Tata bahasa, titik, dan koma dikoreksi lagi oleh redaktur dengan pulpen. Ada kalanya, teras berita dipotong dan diganti baru, disesuaikan dengan judul dan arah berita. Dari redaktur, kertas yang bercorat-coret dan kadang disambung dengan lem itu, diserahkan ke petugas lay-out untuk dihitung panjangnya, kemudian diberi kode, apakah berita utama, berita kaki, atau berita ketiga, keempat, dan nomor halaman koran.

Belum selesai. Petugas layout, kemudian mengirim kertas berita ke petugas komputer untuk diketik ulang. Setelah itu, berita keluar dari mesin MCS dalam bentuk kolom. Ini pun belum selesai. Redaktur koreksi membaca lagi berita tersebut, mengkoreksi salah ketik. Jika salah, maka huruf yang salah dipotong dengan cutter, kemudian dicari huruf pengganti dan ditempel menggunakan isolasi bening agar tidak lepas.

Setelah itu, berita tersebut dipotong sesuai kolom dan ditempel di kertas layout, disesuaikan dengan kode yang diberikan petugas layout sebelumnya. Begitu semua berita sudah ditempel di satu halaman, kembali dikoreksi judul-judul berita. Kemudian, kertas halaman yang sudah diparaf, dijadikan film. Film halaman selanjutnya diproses menjadi plat kaleng untuk nantinya dibawa ke mesin cetak, ditempelkan di mesin dan kemudian keluar dalam bentuk koran.

Kerja wartawan juga tidak mudah, apalagi jika bertugas ke luar negeri. Ketika meliput pertandingan tim nasional sepak bola Indonesia di Singapura dan Jepang, 1987, setelah pertandingan usai, saya dan teman-teman wartawan secepat mungkin ke kantor telegeram. Di sini, berita diketik dan dikirim ke kantor melalui telegram.

Tim nasional Pra Olimpiade — yang antara lain diperkuat Ricky Yacob, Rully Nere, Marzuki Nyakmad, Herry Kiswanto, dan Ponirin Meka — masa itu kalah di Singapura dan Jepang.

Setelah faksimili digunakan di Indonesia, kerja relatif lebih mudah. Hanya saja, setiap tugas ke luar negeri, saya membawa mesin tik, setelah itu kirim berita melalui hotel atau pergi ke kantor telkom di negera tersebut. Adakalanya bisa menunggu lebih satu jam jika jaringan telepon terganggu.

Kini semua sudah berubah. Wartawan cukup berbekal smarth phone, tablet, atau laptop, langsung bisa buat berita, foto, dan video, kemudian mengirimnya melalui internet. Di kantor redaksi, berita setelah dikoreksi, langsung dapat ditayangkan. Cepat dan praktis.

Teknologi semakin membantu manusia, sekaligus dapat menyingkirkannya.