Dewasa ini rusaknya tatanan demokrasi sudah bukan lagi menjadi rahasia umum baik pada level nasional maupun internasional. Prinsip demokrasi yang dicetuskan oleh Aristoteles dan diadopsi dalam sistem bernegara mulai kehilangan ruh falsafahnya. Mungkin dari sinilah titik awal runtuhnya konsep demokrasi.
Di Indonesia dalam mewarnai dan memainkan sistem politik yang sedang berjalan dapat menjadi bukti empirik bahwa bangsa ini bisa juga berkontribusi dalam hancurnya sistem demokrasi kita dengan maraknya praktek-praktek kejahatan seperti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang tidak pernah lepas dari peran partai politik bahkan terus mengakar pada level akar rumput demi mencapai tujuan tertentu dalam membangun kelompok atau keluarga dengan memakai prinsip politik Oligarki.
Munculnya watak oligarki pada tubuh partai politik di Indonesia saat ini tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan. Baik di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun bisa kita lihat dalam konsep “Trias Politika“ yang ketiganya memiliki fungsi dan peranannya untuk saling mengawasi dalam menjaga keseimbangan (check and balance) perpolitikan negara tetapi secara praktek hal ini hanya sebatas teoritis saja dan terjadi ketidak seimbangan kekuasaan (unbalance power).
Kelembagaan pemerintah baik di tingkat Eksekutif, legislatif dan Yudikatif bahkan pada sektor fundamental partai politik sekalipun yang tentunya harus mendidik warga negara sadar akan politik. Politik bukan lagi dikonsepkan hanya sebatas pesta demokrasi, merebut kekuasaan, pembagian kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan tetapi jauh dari itu semua masyarakat harus paham akan ruh falsafah demokrasi yang akan dibangunnya dan tentunya itu adalah tugas partai politik dalam memberikan pendidikan dan contoh politiknya kepada kader-kadernya dan juga masyarakat pada umumnya.
Pada dasarnya berdirinya partai politik merupakan salah satu syarat negara dalam mengaplikasikan sistem demokrasi. Oleh karena itu, esensi yang melekat pada diri partai politik adalah harus sistem Demokrasi itu sendiri bukan sistem Oligarki. Prinsip oligarki adalah pilihan tetapi bukan ruh demokrasi itu sendiri. Jika suatu negara ataupun partai politik ingin menganut sistem oligarki maka dia harus meninggalkan prinsip demokrasinya.
Jika fungsi partai politik yang demokratis dijalankan dengan efektif dan sistematis maka proses demokratisasi yang masuk kedalam lembaga politik di pemerintahan akan berjalan baik, tentunya hal ini akan menjadi proses pendewasaan politik yang positif dalam mengelola dan membangun.
Karena itu fenomena politik dengan prinsip, “oligarki politik” memiliki kecenderungan merusak dan mengancam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokrat yang tidak DEMOKRAT
Bermula dari kendaraan politik untuk merebut kekuasaan (Partai) banyak yang meneruskan perjuangan estafet kepemimpinan partai yang diberikan ayah kepada anak, saudara bahkan kolega. Tidak ada yang salah dari pilihan tersebut hanya saja bisa mendapatkan kesan negatif dalam penilainya karena prinsip oligarki ini yang dibungkus dengan prinsip demokrasi.
Disini penulis mengambil contoh kongkrit di dalam tubuh partai Demokrat yang akan melaksanakan Konfrensi Luar Biasa (KLB) yang dimainkan oleh sekelompok elit parpol Demokrat itu sendiri yang dinamakan sebagai “kudeta” Parpol untuk menggantikan kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terpilih secara aklamasi. Partai Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sempat keluar sebagai pemenang pemilu 2009 lalu dan mampu menghantarkan SBY menjadi Presiden Republik Indonesia dengan 2 periode sehingga strategi SBY tentunya terus berupaya mempertahankan posisi parpolnya sebagai peserta pemenang Pemilu kedepan.
Adanya gameplay politik dengan skema Oligarki di dalam partai Demokrat semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dari SBY kepada AHY agar mesin parpol ini dapat diawasi dan dikendalikan oleh sang ayah yang akan menjadi dalang untuk merebut kekuasaan dipemilu 2024 mendatang sehingga dapat mengantarkan AHY untuk menjadi RI 1.
Ini menjadi bukti empirik bahwa praktek oligarki akan terus-menerus dirawat dan dipelihara di dalam tubuh partai politik di Indonesia sehingga menjadi contoh pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat dari prinsip demokrasi demi mencapai tujuan.
Dan perlu dicatat bahwa negara kita mulai rapuh dalam menjalankan sistem demokrasi yang telah dirusak dan dihancurkan oleh orang tua yang memiliki watak otoriter dengan memakai sistem Oligarki yang dibungkus konsep demokrasi pada partai politik.
Dapat dinilai pula dengan adanya isue skema kudeta ditubuh Partai Demokrat di era AHY ini yang dimainkan oleh beberapa petinggi partai Demokrat semata-mata hanya untuk melaksanakan prinsip demokrasi partainya dengan menghapuskan jejak intervensi orang tua kepada anaknya yang dianggap tidak mampu menahkodai partai yang sempat besar ini sehingga para elit parpol yang dipecat oleh AHY mencoba berpikir untuk mengambil langkah dengan ‘melawan arus’ dari gerak kapal yang akan tenggelam.
Melihat posisi partai Demokrat yang tidak mampu merebut kekuasaan pada pemilu lokal dan nasional menjadi ancaman buruk bagi partai Demokrat yang mengharuskan SBY dan AHY melepaskan tampuk kekuasaanya itu dengan mengadakan musyawarah besar kembali dengan cara demokrasi yang baik dan sehat.
Dari permasalahan latar belakang di atas menjadikan penulis menampilkan tema besar dari dinamika politik yang terjadi pada partai Demokrat ini yakni ‘Demokrat yang tidak demokrat’ dan mungkinkah bisa menjadi titik awal berlabuh ataukah tenggelamnya kapal Demokrat?.
Penulis adalah Pengamat politik JSC (Jakarta Studi Center)
Adang Taufik Hidayat.