Oleh Amir Machmud NS
ANDA mungkin merasa mendapat update informasi tentang perkembangan pandemi Covid-19 dari unggahan-unggahan media sosial. Mungkin pula sesekali mengakses link media-media mainstream yang menginformasikan pernyataan resmi pemerintah serta analisis para ahli.
Dan, kita pun mendapat pengetahuan mengenai aneka perkiraan dari ekspertis-akademis terkait aspek medis, juga tentang kemungkinan masa puncak pandemi di Tanah Air, atau perdebatan di seputar langkah-langkah karantina wilayah terbatas atau yang diperluas, dan sebagainya. Pun, dari tausyiah Majelis Ulama Indonesia (MUI) kita bisa mendapat kepastian, misalnya tentang fikih “harus tetap jumatan, atau berhak menganggap sebagai keadaan darurat, juga bagaimana hukumnya jika tiga kali berturut-turut meninggalkan ritual shalat jumat”.
Pembaruan-pembaruan pengetahuan yang dinamis itu mengkolaborasikan dua kemungkinan banjir suplai informasi, dari media sosial dan media arus utama.
Di tengah keniscayaan kebenaran atau kesesatan informasi, tersedia pula “jeda keseriusan” atau “jeda ketegangan” berupa humor-humor di seputar persebaran virus Corona, aneka meme, juga sikap nyinyir yang ditujukan kepada pemerintah atau mereka yang terkait dengan penanganan pandemi ini. Tak kalah pula menarik, ungkapan-ungkapan simpati, empati, dan compassion (rasa sepenanggungan) untuk para pejuang penanganan wabah di garis depan.
Daya Tahan Bermedia
Seperti yang dialami oleh hampir semua entitas perekonomian sekarang ini, media — sebagai institusi yang di samping visi idealisme juga bergerak dengan profit oriented — merasakan dampak ekonomi yang berat.
Tanpa harus merinci seberapa besar kerugian yang muncul, terutama dalam tiga bulan terakhir ini, pastilah terasa keterbatasan ruang gerak dalam mengakses pendapatan iklan. Biaya produksi cenderung meningkat, seperti harga sejumlah material untuk media cetak yang terpengaruh imbas nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Penjual barang dan jasa dan produk gamang untuk memasarkan produk. Prioritas kebutuhan orang akan menyasar pada aspek-aspek kehidupan paling dasar. Bahkan kalau kita mengamati, sektor-sektor ekonomi riil seperti kuliner, jasa manusia, dan transportasi massa berhenti berdenyut. Keamanan kesehatan dan kehidupan manusia di atas segalanya.
Padahal, dalam kondisi demikian, rasionya wartawan dan media akan berada di garda depan sebagai elemen yang produk kinerjanya ditunggu oleh warga masyarakat. Dengan pemahaman bahwa informasi ibarat “udara yang dihirup oleh manusia”, maka akan selalu muncul pertanyaan yang merumun pikiran orang, misalnya perkembangan apa yang berlangsung, apa yang sedang terjadi, kebijakan dan langkah apa yang diambil oleh pemerintah, bagaimana masyarakat dalam tataran hidup paling dasar bisa mengakses kebutuhan pokok, dsb.
Informasi-informasi seperti itu tidak mungkin tercukupi hanya oleh unggahan-unggahan dari media sosial, yang acapkali juga terkemas seolah-olah merupakan informasi yang formal dalam logika argumentatif dan sajian infografik menarik.
Akan ada banyak gosip, isu, rumor, serta penyimpulan-penyimpulan yang boleh jadi penuh spekulasi. Maka kita harus punya penjernih atau pemfilter, yang dalam kondisi demikian inilah kehadiran media massa dibutuhkan.
Hanya lewat media-lah “tiga langkah standar” dalam prosedur berjurnalistik dijalankan. Yakni, untuk menciptakan kepercayaan publik, informasi yang disampaikan harus akuntabel. Dan, agar dapat dipertanggungjawabkan, informasi-informasi itu harus secara disiplin diverifikasi. Langkah standar ini wajib dilakukan untuk memenuhi kaidah “fikih jurnalistik” dengan mengutamakan idealita nuraniah sifat-sifat kenabian siddiq-amanah-tabligh-fathanah.
Tuntutan “tiga langkah standar” dan kemauan istikamah pada sifat-sifat kenabian itu pasti tidak mudah dijalankan oleh wartawan dan media. Para pekerja media membutuhkan jaminan “keamanan”. Pertama, keamanan fisik dan kesehatan dalam peliputan. Kedua, keamanan kebutuhan yang berifat “hajat hidup”.
Standar keamanan fisik akan tergambar pada protokol peliputan, seperti dalam panduan yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi profesi kewartawanan dan Dewan Pers. Juga dalam bentuk kerja sama dengan otoritas penanganan Covid-19. Protokol dan fasilitasi peliputan itu diharapkan menjadi langkah yang paling minimal menimbulkan dampak.
Sedangkan standar keamanan hajat hidup akan terkait dengan daya tahan media-media dalam menjamin pendapatan wartawan dan awak redaksinya. Ketika cash flow perusahaan pasti terpengaruh lantaran akses iklan dan kerja sama-kerja sama dengan para mitra kerja menurun, langkah apa yang kemudian harus dilakukan?
“Kue” Pendapatan
Dalam sebuah unggahan berisi keprihatinan atas perkembangan kondisi kehidupan media pasa masa-masa pandemi Corona ini, tercetus usikan, apakah mungkin media-media mengakses “kue” pendapatan yang bisa memperpanjang napas dari anggaran penanganan Covid-19 oleh pemerintah?
Logikanya, media adalah salah satu elemen yang ikut mengawal tugas-tugas pemerintah pada masa darurat ini, dengan kecepatan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, ikut mengedukasi publik, juga mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai level.
Boleh jadi, logika harapan semacam itu bisa dianggap sebagai kecengengan, atau kemanjaan yang seolah-olah menjadi cermin kultur sikap media, selama ini. Merasa punya peran khusus, lalu meminta secara khusus. Merasa punya fungsi khusus, maka menuntut perlakuan khusus pula.
Saya tidak bertendensi memperkuat logika-logika berpikir semacam itu, namun hanya mengajak merenung, baik kepada kita yang berada di lingkup internal media, maupun para pemangku kepentingan yang selama ini bergandeng tangan dengan media.
Ketika realitasnya aparat pemerintah pun membutuhkan peran media dalam jaringan sosialisasi kebijakan, update informasi, dan visi edukasi, saya kira renungan semacam ini tidak berlebihan.
Wartawan dan media, dengan pertimbangan etika substantif yang mendahulukan kepentingan kemanusiaan ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok, sudah pasti menjadi bagian dari suasana prihatin yang sedang dijalani masyarakat dunia, termasuk bangsa ini. Yang harus didahulukan di atas segalanya adalah kepentingan kemanusiaan.
Lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia memotong anggaran belanjanya dalam kontribusi penggalangan dana penanganan pandemi Corona. Di panggung global, kita simak klub-klub sepak bola di liga-liga Eropa memilih langkah kemanusiaan dengan memotong gaji pemain.
Kembali ke wartawan dan media kita, pada positioning kesadaran fungsi yang diemban, menyembul realitas-realitas kehidupan yang harus dijalani. Barang tentu,kenyataan itu membutuhkan jalan keluar yang bukan sekadar ungkapan katarsistis berupa candaan atau satir meme.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah