Oleh: Oleh Amir Machmud NS
VIRAL tilawah sejumlah surah Alquran Juz 30 oleh Muhammad Atiatul Muqtadir lewat Youtube, saya metaforakan bagai hujan yang mengguyur kebakaran hutan di Pulau Sumatra. Kemerduan tilawahnya tiba-tiba menyiram sejuk penilaian miring sejumlah tokoh terhadap aksi-aksi mahasiswa belakangan ini.
Apa hubungan ayat-ayat suci dengan demo mahasiswa?
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang karib disapa Fathur itu, melengkapi performanya di Indonesia Lawyers Club TVOne dengan viral Youtube baca Alquran, yang sampai memancing kekaguman ustadz Yusuf Manshur. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi itu pun menjadi trending topic dan ikon baru unjuk rasa mahasiswa, di samping nama-nama Ketua BEM Universitas Indonesia Manik Margamahendra, Presiden BEM Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah, dan Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung Royyan A Dzakiy.
“Bahasa demo” seperti bergerak ke kemeluasan simpati massa ketimbang mengikuti alur opini para politisi. Yang sangat terasa dikembangkan, antara lain adalah opini menuding aksi-aksi mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan tertentu, juga gerakan untuk melumpuhkan Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di forum ILC, Mata Najwa, dan talk show lainnya, para ketua BEM itu menyuarakan konsistensi semangat idealisme lewat argumentasi yang terukur, bahasa santun, dan senyum mengembang, berhadapan dengan otoritas-otoritas kekuasaan. Tersaji nuansa oposisional dari senyum anak-anak muda itu. Mereka tak jeri berdebat melawan “kubu” yang punya jam terbang lebih tinggi dan narasi berbusa-busa.
Ekspresi Aspirasi
Apakah aksi-aksi mahasiswa ini merepresentasikan perasaan rakyat? Saya kira ya, karena kita sama-sama melihat betapa suara-suara dari kalangan akademisi yang mengkritisi proses pembuatan undang-undang selalu tereduksi oleh argumentasi proses, posisi, dan bahasa kekuasaan.
Imbauan agar mahasiswa bersikap lebih elegan untuk berdialog dengan otoritas kekuasaan dalam forum yang bukan unjuk rasa, dari perspektif diskusi tentang UU KPK, bagaimanapun mendegradasi makna ekspresi aspirasi unjuk rasa.
Mobilisasi kekuatan moral mahasiswa patut dipahami sebagai opsi penyuaraan terakhir setelah semua suara dari beragam sumber akademik tak lagi didengar. Sikap Istana dan Gedung Parlemen sudah jelas: UU KPK tetap “must going on”. Takkan ada alasan kondisi darutan mengeluarkan Perppu, dan jalan menguji UU ke Mahkamah Konstitusilah yang dibuka.
Kesimpulan bahwa demo mahasiswa ditunggangi bagaimanapun bukan jawaban bijak atas realitas pengamatan rakyat atas perkembangan sikap politik di Istana dan Gedung Parlemen.
Beberapa kali, saya menyaksikan sejumlah anggota DPR yang lebih memosisikan diri untuk tidak mendengarkan pernyataan lawan diskusi dalam talk show, lebih suka memotong, menuding, dan seolah-olah menyimpulkan yang lain bodoh dan tidak mengerti persoalan. Dalam kondisi demikian, debat pun bergerak lebih ke perspektif “kulit luar” ketimbang kemauan mempertimbangkan suara rakyat, sehingga tidak berlebihan ketika yang terpanggungkan adalah justru penegasan wajah kekuasaan dan wajah ketidakberdayaan rakyat.
Sayup-sayup Harapan
Anak-anak aktivis BEM itu, pada lima atau 10 tahun mendatang, boleh jadi akan menjelma menjadi jago-jago bicara seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, atau Adian Napitupulu dengan beragam latar belakang, orientasi, dan impian politiknya. Tentu dengan sayup-sayup harapan bahwa Fathur cs memiliki sikap kerakyatan yang lebih baik dari para seniornya, untuk tidak menjadi — setidak-tidaknya — bagian dari kontroversi kekuasaan. Artinya, kita berharap anak-anak itu kelak tidak memperkuat tesis skeptik bahwa “mereka yang semasa mahasiswa berjuang bakal berbeda saat sudah berada di panggung kekuasaan”.
Fathur Muqtadir boleh jadi adalah dekonstruksi dari dinamika pergerakan performa aktivis, walaupun perspektif “wajah spiritualitas” tidak bisa sekadar diukur dari kefasihan melafazkan ayat-ayat suci. Apakah ini substansi naratif, betapa sesungguhnya kita sedang merindukan “kesalehan politik” lewat penampilan berlogika, berargumentasi, dan kemampuan mencerahkan dengan cara-cara elegan?
Sekarang ini, keeleganan rasanya menjadi karakter langka, dengan pemunculan performa-performa minus yang justru tidak membuat nyaman perasaan publik. Oke, karakter memang melekat pada personalitas perseorangan, dan tidak selalu menjadi parameter kualitas intrinsik tujuan-tujuan perjuangannya. Akan tetapi, bukankah keeleganan yang menjadi kekuatan untuk membawa seseorang ke posisi kenegarawanan.
Hingga hari-hari ini, ketika rakyat melalui para mahasiswa menyuarakan isi hatinya, salah satu elemen yang menjadi bagian dari diskursus demokrasi kita adalah kualitas narasi komunikasi massa. Ada orang-orang di sekeliling Istana yang menyampaikan pernyataan-pernyataan aneh dan membelakangi logika. Tercermin pula para wakil rakyat di Senayan yang punya agenda tak seperti suara yang mereka wakili. Lalu di bagian lain kalangan akademik bagai tak punya cukup ruang argumentasi, juga mahasiswa yang memilih melaksanakan opsi perjuangan terakhir mobilisasi aspirasi.
Di sesela kegaduhan, anak-anak muda itu lantang mengekspresikan pendapat. Semangat muda mereka menjadi energi masa depan bangsa. Dan, Fathur adalah salah satu dari mereka yang menggenapkan simpati publik dengan alunan indah tilawahnya.
Amir Machmud NS, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah dan Ketua Bid. Pendidikan dan Pelatihan SMSI Pusat.