Jakarta – Ekonom yang lebih dikenal sebagai pengamat politik ekonomi Idonesia Dr. Ichsanuddin Noorsy mengapresiasi dan mendukung rencana pembuatan buku mengenai wisata halal Indonesia yang digagas oleh Forum Akademisi Indonesia (FAI).
“Saya mendukung penulisan buku tersebut, karena sampai sekarang buku yang bisa menjadi panduan wisata halal di Indonesia memang belum tersedia,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Senin (1/11/2021).
Ichsanuddin mengemukakan pernyataan tersebut terkait adanya rencana penulisan buku berjudul
“Tokoh Nasional Bicara Wisata Halal” yang digagas FAI dengan tujuan memberikan pemahaman paripurna kepada publik dan para pemangku kepentingan lainnya terkait wisata halal di Indonesia.
FAI itu sendiri adalah wadah inspiratif yang bertujuan mensinergikan potensi para akademisi di manapun mereka berada serta mewujudkan visi mencerdaskan anak bangsa menuju Indonesia berprestasi. Deklarasi pembentukan forum tersebut dilakukan pada 23 Mei 2015 di Jakarta.
FAI selama ini melakukan banyak kajian mengenai berbagai isu nasional seperti tentang kepemimpinan nasional mendatang, pengembangan ekonomi syariah, dan bagaimana mengatasi masalah korupsi dan narkoba dengan melibatkan para pakar di bidang yang terkait.
Ichsanuddin lebih lanjut menjelaskan, berbicara mengenai wisata setidaknya ada lima kategori, yakni wisata religi, wisata ke tempat-tempat bersejarah, wisata alam, wisata kota (untuk melihat kemajuan kota seperti kota-kota di Eropa dan di Amerika), dan wisata sekedar “leisure” (bersantai yang biasanya terkait kuliner dan tempat hiburan).
Masing-masing kategori wisata itu sejatinya terkait dengan perspektif ekonomi wisata, dimulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi, relasi (interaksi terkait informasi, kompetensi pelayanan, kecepatan, ketepatan, harga layanan yang rasional yang ujungnya efisiensi), dan destinasi wisata yang terutama menyangkut keamanan dan kenyamanan di tempat wisata.
Jika pengembangan wisata ingin berhasil, lanjutnya, semua aktivitas terkait wisata itu harus bersifat komprehensif dan terintegrasi serta tidak parsial, dan aspek terpentingnya adalah menyangkut standarisasi layanan yang harus didukung kehandalan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dan sumberdaya manusianya.
Terkait standarisasi layanan, khusus bagi turis dari manca negara, mereka akan langsung merasakannya mulai dari pelayanan di Bagian Imigrasi di Bandara, dan setiap negara yang mempunyai destinasi wisata dipastikan memiliki standarisasi layanan bagi para pelancong dari berbagai negara.
“Lalu bagaimana dengan wisata halal? Maka, tema besarnya adalah ekonomi wisata halal, dan ini terkait aspek hukum dalam Islam yang menurut para ahli fiqih menyangkut lima kategori yaitu wajib atau fardu, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sisi inilah yang perlu dikaji dalam melihat ekonomi wisata halal,” katanya.
Menurut ekonom yang pernah menjadi anggota DPR/MPR RI (1997-1999) dan Staf Khusus Jaksa Agung (2000-2001) itu, bagaimanapun, wisata halal di Indonesia memiliki prospek cerah, terlebih kegiatan wisata kini sudah bukan lagi menjadi kebutuhan tersier, tetapi sudah menjadi kebutunan sekunder.
Sementara itu Wakil Ketua Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri FAI Didin Syahrudin Sukeni mengemukakan, wisata halal yang dalam terminologi pariwisata global disebut “Moslem friendly tourism” (wisata ramah Muslim) membutuhkan sosialisasi, termasuk bagaimana meningkatkan literasinya terkait agenda tersebut.
“Nah, buku yang sedang kami susun dengan judul ‘Tokoh Nasional Bicara Wisata Halal’ itu adalah wujud sumbangsih FAI bagi negeri ini, khususnya untuk memberikan gambaran yang utuh tentang wisata halal di Indonesia,” katanya. (*/red)