JAKARTA – Memasuki tahun ketiga berkiprahnya Forum Tanah Air (FTA), pada Minggu (12/2/2023) pagi, FTA meluncurkan 10 tuntutan dalam manifesto politik, agar masyarakat dan pemilik suara menjadi pemilih yang cerdas dalam menyuarakan hak-hak politiknya demi tercapainya tujuan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sesuai amanat dalam pasal 1 ayat 2 konstitusi UUD 45.
FTA adalah forum diskusi aktivis di luar negeri dan dalam negeri, lahir untuk mengedukasi masyarakat melalui diskusi-diskusi dan mencoba membuat perubahan dengan melakukan upaya hukum terhadap aturan yang tidak demokratis.
Hadir memberikan sambutan pada peluncuran Manifesto Politik FTA di Jakarta, filsuf yang juga pengamat politik Rocky Gerung dan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Rocky yang sejak awal membantu lahirnya forum diskusi FTA di New York mengatakan manifesto politik ini adalah kehendak untuk menghasilkan perubahan yang memerlukan tindakan agar manifesto ini sampai tidak hanya ke rakyat di bawah, namun juga di kalangan elite negeri ini.
Perubahan-perubahan yang dikehendaki antara lain bagaimana mengembalikan hasil dari sumber daya alam (SDA) bangsa dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. “Di masa Pak Harto SDA masih bisa kembali ke negara sebesar 33-35% yang masuk dalam APBN, di pemerintahan SBY sekitar 28%, namun di pemerintahan Jokowi saat ini, hanya 8%. Jadi nyata kita tidak punya lagi pengendalian terhadap SDA kita,” kata Rocky Gerung.
Menurutnya, perlu perbaikan politik dengan merombak cara-cara koalisi yang ada saat ini dari koalisi yang disebutnya tidak jelas, menjadi koalisi yang lebih bermartabat. Mestinya koalisi lahir setelah adanya kesepakatan untuk berbagi kekuasaan.
Mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo sangat mengapresiasi lahirnya manifesto FTA ini sebagai wujud perhatian dan cinta anak-anak bangsa khususnya diaspora yang hidup di luar negeri namun masih memikirkan keadaan di tanah air. “Mayoritas rakyat kita masih belum merdeka seperti yang diproklamirkan pada tahun 1945, di mana waktu itu bangsa Indonesia menyatakan ingin lepas dari penjajahan namun dalam kenyataannya saat ini kita masih terus dijajah dalam bentuk lain, karena ketidakmampuan penguasa menjaga kepentingan-kepentingan rakyat sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD dan dasar negara kita, Pancasila,” katanya.
Ditambahkan, konstitusi sudah dikudeta melalui amandemen sebanyak empat kali. “Sebenarnya itu bukan amandemen tetapi mengubah sebagian isi dari UUD 45 yang telah disepakati oleh pendiri bangsa ini. Sehingga bila mau mengembalikan arah bangsa ini harus dimulai dengan kembali pada konstitusi UUD 45 sesuai dengan komitmen pendiri bangsa, lalu kemudian dilakukan perubahan-perubahan atau amendemen-amandemen dengan tetap berpedoman pada pembukaan konstitusi dan dasar negara kita,” kata Gatot.
Manifesto Politik FTA terbagi dalam tiga kluster untuk perbaikan politik dan ekonomi Indonesia ke depannya.
Kluster pertama, memperbaiki demokrasi dengan membuat perubahan-perubahan mendasar dalam beberapa undang-undang terkait.
Kluster kedua, kembali kepada UUD 1945 asli dan menjadikan pembukaan serta batang tubuh UUD 1945 sebagai pedoman dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan bangsa dan negara.
Kluster ketiga, memperbaiki ekonomi dengan melakukan perubahan mendasar dalam sistem perekonomian nasional.
Manifesto Politik FTA secara resmi diluncurkan oleh Ketua Forum Tanah Air Indonesia Donny Hendricahyono yang mendampingi Tata Kesantra, chairman FTA dan Chris Komari Sekjen FTA Global.
Manisfesto politik FTA dapat dijadikan acuan, pedoman dan materi perjanjian politik dan kontrak sosial, baik secara perorangan maupun secara kelompok dengan para caleg, para calon pemimpin daerah dan para capres pada Pemilu tahun 2024, untuk menuntut perubahan politik dan ekonomi di tanah air, demikian Chris dalam penjelasannya.
Harapan Tata sebagai chairman FTA yang menampung seluruh aktivis di tanah air dan berbagai negara, Manifesto Politik FTA bisa menjadi lilin kecil yang bisa memberikan cahaya penerangan untuk melangkah kedepan menuju tujuan akhir sebagai satu bangsa yang benar-benar Merdeka, lebih mandiri, sejahtera, adil dan makmur.
10 Tuntutan Perubahan
Memperbaiki demokrasi dengan membuat perubahan-perubahan mendasar dalam beberapa undang-undang terkait.
(1) Menuntut hak dan wewenang kedaulatan tertinggi rakyat untuk memilih dan mengganti anggota Parlemen (DPR/DPD/DPRD) ditengah jalan lewat mekanisme pergantian anggota DPR (recall election), dengan menghilangkan hak pergantian antar waktu (P.A.W) yang dimiliki oleh partai politik dengan merevisi UU MD3.
(2) Menuntut agar semua anggota Parlemen (DPR/DPD/DPRD) dipisahkan dari ikatan partai politik dengan mengubah UU partai politik yang lebih demokratis dengan membatasi kekuasaan partai politik, dimana kekuasaan partai politik dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak boleh memiliki kekuasaan dan daulat yang lebih tinggi dan lebih besar dari kedaulatan tertinggi rakyat.
(3) Menuntut anggota Parlemen (DPR/DPD) dan pemerintah pusat agar KPU dibuat benar-benar netral, mandiri, terbuka, jujur, adil dan demokratis dalam menjalankan tanggung-jawab dan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu, lepas dari segala pengaruh dan campur tangan siapapun dengan mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU dari 7 orang yang telah dipilih oleh DPR lewat seleksi, ditambah dengan 36 orang wakil dari 18 partai politik yg lolos dalam pemilu 2024, sehingga menjadi total 43 orang anggota komisioner KPU.
(4) Menuntut agar persyaratan presidential threshold 20% dalam pasal 222, UU Pemilu No.7 tahun 2017 untuk bisa menjadi seorang Capres dihilangkan dengan merevisi UU Pemilu No.7 tahun 2017.
(5) Menuntut pemisahan Polri dari lembaga Eksekutif (Presiden), Legislatif dan Judikatif dan menuntut agar Presiden tidak ikut campur, atau intervensi terhadap proses seleksi, pemilihan dan pengangkatan anggota komisi dan anggota lembaga negara independen lainya, seperti anggota MK, KY, KPK, KPU, Bawaslu, KomnasS HAM, dsb.
(6) Menuntut anggota MPR untuk segera mengoreksi kiblat bangsa yang telah keluar dari tujuan dan cita-cita pendiri NKRI dengan membuat amandemen ke #5 untuk memisahkan teks asli UUD 1945 dengan teks amandemen 4x kali (UUD 2002).
(7) Menuntut pemerintah pusat, khususnya Presiden, DPR/DPD dan Menteri agar menjadikan NKRI sebagai negara yang mandiri secara keuangan, ekonomi, politik, teknologi dan pertahanan militer, lepas dari ketergantungan utang luar negeri dan utang dalam negeri yang begitu besar kepada negara asing, kreditor internasional dan lembaga keuangan internasional, seperti IMF, World Bank, ADB, JBIC, JICA, dll. Mengubah sistem tanggung-jawab fiskal keuangan (APBN/APBD) yang harus berorientasi pada surplus (SURPLUS-ORIENTED), dan bukanya berorientasi pada pengeluaraan sebesar-besarnya (spending-oriented).
(8) Menuntut pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan dana alokasi khusus, sesuai dengan mandat Konstitusi pada pasal 34, UUD 1945 lewat APBN dan APBD untuk memberikan jaminan sosial dan kesejateraan sosial bagi rakyat miskin melalui SUBSIDI (jaring pengaman sosial)) berupa bantuan langsung tunai (BLT), khususnya kepada fakir miskin, anak-anak terlantar, orang cacat mental dan fisik (disabilitas) dan orang tua diatas 65 tahun (lansia) yang hidup sendiri dan hidup di bawah standard garis kemiskinan, dengan biaya hidup sebesar Rp31.000 per hari.
(9) Menuntut desentralisasi otonomi daerah yang lebih besar, seperti pada UU otonomi daerah No.22, tahun 1999 dengan memberikan pembagian keuntungan, jumlah persentasi royalti, pembagian dana alokasi khusus hasil export SDA daerah, pemberian dana alokasi perimbangan keuangan maupun pemberian dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam daerah yang lebih adil, lebih fair dan lebih proporsional kepada rakyat daerah, serta memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sendiri SDA daerah yang dimilikinya.
10) Menuntut pemerintah pusat khususnya Presiden, DPR/DPD, Menteri dan pemerintah daerah (Pemda) untuk membuat kebijakan ekonomi yang baik dan benar, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab dalam Konstitusi UUD 1945, pasal 33, ayat 1, 2, 3, 4 & 5, UUD 1945. (*)