Oleh: Pierre Suteki
Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not Rule of Man”, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat.
Prinsip negara hukum semestinya dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechstsstaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat)
Terdapat korelasi yang jelas antara hukum, yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi, demokrasi tampa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tampa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Franz Magnis Suseno, “Demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum”.
Pada hakikatnya, negara dengan sistem pemerintahan demokratis sudah seharusnya adalah sebuah Negara Hukum. Sebab, tanpa hukum (yang baik, adil, dan pasti), pemerintahan demokratis sulit mencapai apa yang menjadi intisari dan cita-cita demokrasi. Tanpa hukum pun, demokrasi – sebagaimana sering dikatakan orang sekarang ini – dapat berubah menjadi “democrazy” sebagaimana tampak di dalam aksi-aksi demonstrasi yang anarkis, karena “kedaulatan rakyat” (demokrasi) cenderung rentan terhadap “godaan” berubah rupa menjadi “kediktatoran rakyat” dan “kediktatoran mayoritas” atau pula sebaliknya yang terjadi justru KEDIKTAKTORAN REZIM.
Sebaliknya tanpa demokrasi, hukum dapat merosot menjadi alat pemaksa dan penindas rakyat, serta alat pembenaran diri dan payung pelindung para pemangku kekuasaan negara. Di dalam sistem pemerintahan negara demokratis, hukum tampil sebagai norma objektif yang mengatur seluruh tatanan hidup bernegara dan mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali. Oleh karenanya keberadaan demokrasi ini menjadi penting dalam sistem pemerintahan.
Negara hukum yang demokratis akan selalu terkoneksi dan terintegrasi dari tiga substansi dasar yang dikandungnya, yaitu konstitusi, demokrasi, dan hukum itu sendiri. Pada hakekatnya negara hukum itu menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga sekaligus merupakan pelaksana demokrasi, karena konstirusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Paham negara hukum dan demokrasi bertujuan membatasi kekuasaan pemerintah dan menolak segala bentuk kekuasaan tanpa batas. Letak demokrasi dalam negara hukum adalah sebuah sistem pemerintahan yang bertumpu pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk membuat keputusan-keputusan politik, bukan pada seseorang (diktator) atau sekelompok orang (oligarki, entah para aristokrat atau para teknokrat, dll.) yang berpendidikan, berkedudukan, dan berpengaruh dalam masyarakat. Rakyatlah kriteria dan norma kekuasaan dalam sistem pemerintahan demokratis.
Ah, apakah apakah uraian relasi antara negara hukum, demokrasi dengan inti kedaulatan rakyat itu adalah sebuah kenyataan ataukah semua itu hanya ada dalam teori? Kenyataannya boleh jadi bagaikan peribahasa: jauh panggang dari api. Coba kita renungkan bagaimana fakta yang tengah kita hadapi terkait dengan KEDAULATAN RAKYAT dalam kasus RUU HIP dan BPIP. Fakta menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan rakyat itu adalah bukan hanya penghentian RUU HIP tetapi oleh karena BPIP yang menjadi episentrum hiruk pikuk dan polemik tentang Pancasila, maka BPIP harus dibubarkan mengingat dipertimbangkan dari sisi manapun tidak ada urgensinya. Sayang sekali, justru Pemerintah malah mengajukan RUU baru berupa RUU BPIP. Bukankah ini benar-benar menunjukkan bahwa Pemerintah sebagai bagian dari rezim legislator telah meneguhkan adanya pengabaian aspirasi rakyat dalam proses “law making” di negeri ini? Tampak sekali sense of crisis berada di titik nadir. Dan hal ini semakin membuktikan bahwa patut diduga rezim legislator tidak mewakili kepentingan siapa pun kecuali diri dan atau kepentingan partainya.
Miskinnya sense of crisis rezim legislator semakin dibuktikan adanya hasil Rapat Paripurna DPR Kamis, 16 Juli 2020. CNN Indonesia, Jakarta ( 16/7/2020 ) mewartakan bahwa Rapat Paripurna DPR RI resmi mengesahkan sebanyak 37 rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 hasil evaluasi. Salah satu di antara 37 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 itu ialah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Rezim legislator ini menurut saya memang sudah keterlaluan perilakunya. Protes MUI, ratusan ormas dan seluruh elemen masyarakat Indonesia tampaknya tidak digubris. Inikah yang disebut kedaulatan rakyat? Inikah yang disebut rakyat berdaulat? Lalu, siapa sebenarnya yang berdaulat dalam sistem pemerintahan negara demokrasi? Rakyat atau pemerintah, ataukah partai?
Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut. Nyaris semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki—dalam istilah Pierre Bourdie—modal kapital dan sosial yang kuat.
Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Akibatnya, ketika partai seakan menganut sistem oligarki maka terjadinya pembungkaman suara rakyat. “Bagi elit oligarki, suara rakyat dianggap tidak jelas atau tidak diakui. Tetapi mereka mengakui suara rakyat hanya 5 tahun sekali saat pemilu saja,”.
Dampak lebih luasnya lagi adalah saat adanya pembungkaman suara rakyat maka akan timbul rasa apatis di sebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. Pada akhirnya oligarki kekuasaan sesungguhnya dapat menyebabkan collaps-nya Negara hukum dan dengan sendirinya prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketika oligarki kekuasaan telah muncul maka mesin demokrasi pun sebenarnya telah mengalami senjakala. Kedaulatan rakyat diganti dengan kedaulatan rezim oligarki bahkan hanya kedaulatan partai dengan GURITA tangan besinya. Dengan demikian pertanyaan tentang “How Democracies Die” (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) sudah dapat terjawab.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip)