Jakarta: Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkapkan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengenai dampak kemenangan Donald Trump terhadap harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah menunjukkan sesuatu yang berkesan, Menkeu pesimistis terhadap Trump.
“Padahal Sri Mulyani seharusnya memaparkan bagaimana strategi Indonesia mengantisipasi risiko kebijakan proteksionisme dan energi yang mungkin akan ditekankan oleh Trump. Sayangnya, narasi strategi antisipasi belum kita dengarkan,” ucap Hidayat, dilansir Media Indonesia, Jumat, 9 November 2024.
Maka dari itu, ia pun memberikan beberapa analisis bagaimana seharusnya Indonesia mengantisipasi perubahan kebijakan ekonomi global oleh Trump.
Kebijakan energi Trump
Pertama, ia menilai kebijakan energi Trump yang mendukung produksi domestik dan relaksasi aturan lingkungan berpotensi meningkatkan pasokan minyak AS secara signifikan.
“Dalam konteks ini, harga minyak dunia bisa turun akibat bertambahnya pasokan dari produsen besar seperti Amerika Serikat, yang dapat berdampak besar bagi negara pengimpor minyak seperti Indonesia. Penurunan harga minyak memang menguntungkan Indonesia sebagai pengimpor, tetapi volatilitas ini juga bisa memengaruhi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang,” beber Hidayat.
Di sisi lain, Hidayat menyebut kemenangan Trump dapat memperkuat sentimen positif terhadap dolar AS, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dan menjadi tantangan yang perlu diantisipasi Indonesia.
“Meski depresiasi rupiah di bawah tekanan dolar mungkin tidak lebih buruk dibandingkan mata uang lain, Indonesia tetap harus waspada terhadap potensi volatilitas ini. Potensi fluktuasi nilai tukar yang tinggi bisa berdampak pada kondisi fiskal negara, terutama dalam hal pembiayaan defisit anggaran,” cetus dia.
Kemenangan Trump, lanjut dia, membawa tantangan nyata bagi Indonesia, namun langkah strategis yang tepat dapat menjadi fondasi bagi stabilitas dan kemakmuran yang lebih berkelanjutan.
Selain dampak langsung terhadap harga minyak dan nilai tukar, Hidayat menekankan hal yang lebih penting menjadi perhatian pemerintah adalah tantangan dalam pembiayaan defisit melalui Global Bond.
“Jika Trump menjalankan kebijakan proteksionisme dan suku bunga AS meningkat, investor bisa lebih tertarik pada obligasi AS daripada obligasi negara berkembang seperti Indonesia. Situasi ini berpotensi membuat Indonesia menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk menarik minat investor pada Global Bond yang diterbitkan untuk menutupi defisit anggaran,” terang dia.
Apakah global bond masih efektif?
Dengan demikian, ia menegaskan pemerintah Indonesia harus lebih cermat dalam menilai apakah strategi pembiayaan melalui Global Bond masih efektif atau justru menjadi beban tambahan dalam kondisi pasar internasional yang tidak pasti.
Hidayat mengungkapkan salah satu alternatif pembiayaan yang bisa dipertimbangkan Indonesia adalah mencari sumber dana dari negara-negara BRICS yang kini semakin kuat dalam menawarkan fasilitas keuangan alternatif.
“BRICS telah mengembangkan mekanisme pembiayaan yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar AS, yang bisa menjadi solusi bagi Indonesia untuk memperoleh pembiayaan yang lebih stabil. Mengandalkan BRICS sebagai alternatif akan mendiversifikasi sumber pembiayaan dan memberi fleksibilitas bagi Indonesia dalam menghadapi volatilitas pasar yang dipengaruhi kebijakan moneter AS,” imbuh dia.
Selain itu, Hidayat menilai BRICS juga membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan transaksi dalam mata uang lokal atau yuan, mengurangi risiko nilai tukar terhadap dolar yang sering membebani anggaran negara.
“Dalam beberapa hal, inisiatif BRICS memberikan opsi yang lebih tahan terhadap guncangan ekonomi global yang sering didominasi oleh sentimen pasar Barat,” jelas dia.