Korban penipuan investasi Robot Trading Net89 usai sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (4/3/2024). (Ist)
JAKARTA – Kontroversi kembali terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan saat Hakim Estiono mengabulkan permohonan praperadilan tersangka kasus investasi bodong Robot Trading Net89. Paguyuban Solidaritas Simbiotik Multitalenta Indonesia (SISMI) menyebut keputusan itu telah menimbulkan keraguan atas integritas peradilan.
Dalam sidang yang digelar pada Senin (4/3/2024), Hakim Estiono bersama Panitera Pengganti Effi Sugianti mengabulkan permohonan praperadilan Rudi, tersangka kasus dugaan penipuan dan penggelapan investasi Robot Trading Net89. Keputusan ini menambah keprihatinan SISMI atas nasib 800 korban dengan kerugian mencapai Rp200 miliar.
“Ini putusan kelima dari Hakim Estiono yang mengabulkan praperadilan tersangka Robot Trading Net89. Kami sangat kecewa pada pengadil yang terasa semakin menjauh dari para korban,” ujar Stefanus Moniaga, Ketua Paguyuban SISMI.
Moniaga menyoroti keterlibatan hakim yang sama dalam kasus-kasus serupa. “Kami mempertanyakan bagaimana mungkin hakim yang sama terus ditunjuk untuk menangani kasus-kasus praperadilan investasi bodong. Hal ini menimbulkan kecurigaan akan independensi peradilan,” tambahnya.
Oktavianus Setiawan, kuasa hukum Paguyuban SISMI, menyampaikan keprihatinan yang sama. “PN Jakarta Selatan seharusnya menjadi tempat untuk mencari keadilan bagi para korban, namun dengan keputusan yang terus-menerus mengabulkan praperadilan, hal ini malah menimbulkan kekecewaan dan pertanyaan besar akan keadilan di negara ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) diminta untuk turut mengawasi tindak-tanduk PN Jakarta Selatan. “Kami meminta MA untuk mengarahkan perhatiannya terhadap PN Jakarta Selatan, karena kondisi yang terjadi di sana telah menimbulkan keraguan akan integritas peradilan,” tegas Setiawan.
Dengan putusan tersebut, para korban semakin terpuruk. Mereka merasa perlunya langkah konkret untuk memastikan keadilan benar-benar ditegakkan. (*)