JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber dalam Pendidikan Profesi Khusus Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh DPC Peradi Jakarta Barat pada Senin (8/3/2021). Dalam paparannya, Suhartoyo mengatakan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian undang-undang (PUU), ruang kepentingannya lebih bernuansa kepentingan publik. Artinya, bukan kepentingan privat seperti dalam memutus perselisihan lembaga negara dan partai politik, serta perselelisihan hasil pemilihan umum dan kepala daerah.
“Ini nuansanya antarprivat karena permohonannya hanya dapat dilakukan oleh pihak yang merasa kepentingannya dirugikan, seperti dengan keputusan KPU kalau dalam perselisihan hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,” jelas Suhartoyo yang memaparkan materi dari Gedung MK, Jakarta.
Berikutnya, Suhartoyo membahas hal-hal yang berkaitan dengan para pihak yang dapat mengajukan permohonan, yakni perseorangan warga negara, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Dalam pengajuan PUU, ada dua muatan yang dapat diujikan, yakni uji formil dan materiil. Dalam uji formil, berkaitan dengan proses pembentukan UU, sedangkan dalam uji materiil berkaitan dengan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu undang-undang.
Hukum Acara MK
Kemudian dalam hukum acara MK, Suhartoyo menyampaikan terdapat beberapa ketentuan yang harus dipahami para pihak dengan saksama. Di antaranya, dalam pemberian kuasa beracara di MK, Pemohon dan/atau Termohon (dalam kaitannya dengan sidang PHPU/Pilkada) dapat diwakili oleh kuasa hukum. Sedangkan lembaga negara, Pemohon dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya. Kuasa hukum yang beracara tersebut pun tidak harus advokat.
Sementara itu, Suhartoyo menyampaikan bahwa syarat adanya kerugian konstitusional apabila adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan UUD 1945. Bahwa kerugian yang dimaksudkan tersebut dapat bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi; adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.
Dalam pengajuan perkara di MK disebut adanya istilah permohonan dan bukan gugatan. Mengenai hal ini, Suhartoyo mengatakan dalam PUU di MK pada hakikatnya hanya ada satu pihak dalam pengajuan perkaranya. Meskipun dalam perkara seperti pada perkara Pemilu dan Pilkada juga disebutkan istilah permohonan, hal ini dikarenakan Presiden, Pemerintah, dan DPR bukan pihak yang berlawanan, tetapi hanya bertindak sebagai pemberi keterangan.
“Keberadaan mereka hanya sebagai pemberi keterangan sehubungan dengan permohonan yang diajukan dalam hal dengan PUU, itu bukanlah sengketa kepentingan,” jelas Suhartoyo dalam kegiatan yang dipandu oleh Landong MT. Nadeak selaku perwakilan dari BPH Peradi Jakarta Barat.
Berikutnya, Suhartoyo mengutarakan pula mengenai putusan MK. Bahwa putusan MK yang bersifat erga omnes. Artinya, bersifat memengaruhi seluruh keberadaan norma dalam keberlakuannya dalam kehidupan bernegara yang harus dipatuhi dan diikuti dan kekuatan mengikatnya universal. Sementara itu, dalam access to justice, MK membuka berbagai sarana, di antaranya video conference, video meet, permohonan online, dan berbagai sarana digital lainnya yang memudahkan para pihak.
“Bagi para lawyer baru tidak perlu khawatir jika permohonan tidak sempurna, di MK ada sidang pemeriksaan pendahuluan. Di dalamnya pemohon dapat memperbaiki permohonannya sehingga sesuai dengan pemenuhan syarat-syarat kelengkapan permohonan,” sebut Suhartoyo dalam kegiatan yang dihadiri para peserta secara virtual.
Pada kesempatan ini, Suhartoyo juga menjelaskan rangkaian persidangan yang harus dilalui oleh para pihak, mulai dari sidang pendahuluan sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Pasal 40 dan 41 UU MK. Usai memberikan materi, Suhartoyo memberikan kesempatan bagi para peserta untuk mengajukan pertanyaan dan diskusi terbuka yang berkaitan dengan kewenangan MK sebagai peradilan konstitusi. (*/cr7)
Sumber: mkri.id