Oleh: Jaya Suprana
Heboh dan hikmah memiliki makna yang berbeda, namun ada kesamaan, yaitu sama-sama terdiri dari lima huruf dan sama-sama diawali serta diakhiri dengan huruf “H”. Akhir-akhir ini, dunia maya dihebohkan oleh kasus Fufufafa yang menyebar ke berbagai arah dalam suasana yang relatif negatif, seperti halnya kehebohan pada umumnya.
Tanpa terlibat dalam kerumitan heboh Fufufafa, sebagai pemelajar kreativitas dan peneliti Metode Promosi—yang mencakup hubungan masyarakat, publisitas, promosi penjualan, penjualan pribadi, dan periklanan—saya menilai bahwa mereka yang menggagas nama Fufufafa sungguh-sungguh kreatif. Nama ini sangat mudah diingat oleh masyarakat, setara dengan istilah-istilah atraktif seperti huru-hara, bruhuhaha, atau hahahahahi. Kata “Fufufafa” awalnya tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun bukan mustahil bahwa kata ini akan masuk ke dalam KBBI edisi 2024, bersama kata-kata baru kreasi generasi milenial lainnya, terlepas dari bagaimana pemaknaan semantiknya.
Fakta menunjukkan bahwa Fufufafa berhasil menarik perhatian publik, terbukti dengan Fufufafa yang viral di media sosial maupun media posisi asosial. Ini membuktikan kebenaran pepatah “berita buruk adalah kabar baik” di kalangan masyarakat penggemar ghibah. Secara psiko-sosiopolitik, juga terbukti bahwa pada masa kampanye pemilu, terutama pemilihan presiden, masyarakat Indonesia memang gemar menyebarkan hujatan, cacian, cemoohan, bahkan fitnah, demi menjatuhkan karakter lawan politik dalam perebutan kekuasaan.
Angkara murka kebencian yang dilakukan oleh Fufufafa memuncak pada Pilpres 2019, menyasar pihak tertentu yang pada Pilpres 2024 justru menjadi sekutu dari pihak yang diduga memiliki akun Fufufafa.
Pada hakikatnya, hikmah dapat diambil dari setiap heboh. Insya Allah, heboh Fufufafa akan menyadarkan KPU dan Bawaslu untuk tegas melarang serta memberikan sanksi terhadap kebencian kebencian yang dilakukan oleh peserta pemilu selama kampanye, khususnya Pilpres. Kode etik promosi yang melarang iklan mendiskreditkan produk pesaing juga seharusnya dipatuhi oleh para pelaku kampanye pemilu.
Silakan memuji diri sendiri setinggi langit, namun jangan memuji, mencemooh, menghujat, mencaci-maki, apalagi memfitnah lawan politik selama masa kampanye pemilu. Hal tersebut terbukti lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat bagi mereka yang menyebarkan kebencian. Heboh Fufufafa menegaskan makna luhur dalam peribahasa, “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.”