Oleh Asyari Usman
Ustad Abdul Somad (UAS) dideportasi dari Singapura, kemarin. Sebelum dideportasi, beliau dimasukkan ke tahan imigrasi. Sel tahanan hanya sebesar 1×2 meter.
Tidak mengherankan ini terjadi. Sebab, nama UAS pasti ada di dalam daftar hitam (black list) imigrasi negara itu.
Singapura itu sudah sejak lama anti-Islam. Di internal negara itu, umat Islam dikontrol ketat. Termasuk dakwah dan ibadah. Tak keliru kalau Singapura disebut menerapkan islamofobia secara institusional. Artinya, negara itu memiliki perangkat regulasi yang anti-Islam. Termasuklah regulasi keimigrasian.
Dapat dipastikan pula bahwa persekusi ini tidak akan sebatas penahanan dan pendeportasian UAS. Lembaga-lembaga keamanan mereka akan mempersoalkan pihak yang pengundang andaikata ada yang mengundang ustad kondang ini.
Sangat mungkin pihak yang mengundang akan diinterogasi. Tidak tertutup pula kemungkinan mereka akan mengalami perlakuan khusus dari badan-badan keamanan Singapura.
Penahana di sel imigrasi tidak seharusnya dilakukan terhadap UAS. Pihak keamanan pastilah bisa melakukan evaluasi (assessment) apakah beliau akan menjadi ancaman keamanan di bandara. Mereka bisa menggeledah (body search) untuk memastikan benda-benda bawaan yang bisa akan menjadi sumber bahaya.
Tidak perlulah dimasukkan ke sel tahanan sebelum dideportasi. Kalau orang-orang yang terduga membawa narkoba atau yang mungkin melakukan keributan, bisa dipahami kalau harus ditahan di sel sebelum dideportasi.
Sebelum ini, pernah beberapa ustad Indonesia yang dideportasi oleh penguasa Singapura.
Banyak orang yang menyebut Singapura sebagai “Israel Asia Tenggara”. Dalam hal sekuriti, ada benarnya. Tetapi, orang Melayu di negara kecil ini tak mungkinlah bisa menjadi “Hamas”.[***]