Oleh : Agista Rissa Arianty
Dua puluh enam tahun berlalu, namun ingatan tentang Kerusuhan Mei 1998 masih terpatri kuat dalam memori bangsa Indonesia. Sebagai mahasiswa sejarah yang lahir setelah peristiwa tersebut, saya merasa terpanggil untuk mengupas kembali tragedi yang menjadi titik balik dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Melalui analisis mendalam, saya mencoba merangkai puzzle sejarah yang masih menyisakan banyak pertanyaan hingga hari ini.
Akar Krisis yang Menggeliat
Krisis moneter yang melanda Asia pada pertengahan 1997 menjadi pemantik awal gejolak sosial-politik di Indonesia. Rupiah yang terdepresiasi hingga Rp 17.000 per dolar AS menciptakan efek domino yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian. Harga-harga melambung, pengangguran meningkat, dan ketidakpastian mencengkeram kehidupan masyarakat. Di tengah situasi ini, kepercayaan publik terhadap pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun mulai goyah.
Sebagai kaum Generasi Z, sulit rasanya membayangkan bagaimana masyarakat kala itu hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Namun, dari berbagai informasi yang saya kumpulkan, terungkap bahwa tekanan ekonomi yang mencekik telah mengubah rakyat yang semula pasif menjadi berani menyuarakan aspirasinya.
Gelombang Demonstrasi dan Eskalasi Kekerasan
Gerakan mahasiswa menjadi ujung tombak perjuangan reformasi. Kampus-kampus besar di seluruh Indonesia berubah menjadi episentrum protes. Tuntutan reformasi total yang mencakup perubahan sistem politik, ekonomi, dan hukum bergema dari Sabang sampai Merauke. Tapi, siapa yang menyangka bahwa aksi damai ini akan berubah menjadi tragedi berdarah?
Tanggal 12 Mei 1998 menjadi titik hitam ketika empat mahasiswa Trisakti tertembak dalam aksi demonstrasi. Peristiwa ini menjadi katalisator yang memicu kemarahan massa. Jakarta dan beberapa kota besar lainnya seketika berubah menjadi lautan api. Kerusuhan, penjarahan, dan berbagai tindak kekerasan mewarnai hari-hari menjelang jatuhnya rezim Orde Baru.
Yang paling menyayat hati adalah nasib etnis Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa. Rumah-rumah dan toko-toko mereka dijarah dan dibakar. Lebih mengerikan lagi, berbagai kesaksian mengungkap terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa. Hingga kini, banyak korban yang masih menyimpan trauma mendalam dan enggan bercerita tentang pengalaman pahit mereka.
Reformasi: Antara Harapan dan Realita
Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi. Namun, perubahan rezim ini menyisakan berbagai pertanyaan yang hingga kini belum terjawab tuntas. Siapa dalang di balik kerusuhan? Mengapa aparat keamanan seolah membiarkan kerusuhan terjadi? Bagaimana nasib para korban yang hingga kini belum mendapatkan keadilan?
Sebagai mahasiswa yang menekuni sejarah, saya melihat Kerusuhan Mei 1998 bukan sekadar catatan kelam masa lalu, tetapi juga cermin untuk melihat masa kini dan masa depan. Reformasi telah membawa Indonesia pada era demokrasi yang lebih terbuka, namun apakah cita-cita reformasi telah sepenuhnya tercapai?
Kerusuhan Mei 1998 mengajarkan kita betapa pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman. Konflik horizontal yang terjadi kala itu seharusnya menjadi pengingat bahwa perpecahan hanya akan membawa kehancuran. Kita juga perlu tetap waspada terhadap potensi konflik serupa di masa depan.
Di era media sosial saat ini, provokasi dan hoaks juga dapat menyebar dengan cepat dan berpotensi memicu konflik. Karenanya, sebagai generasi penerus bangsa, kita harus belajar dari sejarah dan tidak membiarkan tragedi serupa terulang. Kita perlu mengembangkan sikap kritis terhadap berbagai isu namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan.
Penutup
Kerusuhan Mei 1998 adalah ancaman yang menghantui perjalanan bangsa Indonesia. Tapi, dari tragedi ini kita belajar bahwa perubahan besar selalu membutuhkan pengorbanan. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa tersebut untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Sebagai mahasiswa, saya berharap tulisan ini dapat menjadi pengingat sekaligus pembelajaran bagi generasi muda. Ayo kita jaga api reformasi tetap menyala, namun dengan cara yang damai dan bermartabat! Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia ada di tangan kita semua.
“Historia est magistra vitae” – Sejarah adalah guru kehidupan.
*Penulis adalah mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta.