Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA
First of all, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak bertendensi menunjukkan ketidaksukaan saya terhadap salah satu kelompok sosial-ekonomi tertentu di negeri ini, yakni para konglomerat Indonesia. Bagaimanapun juga, mereka, para konglomerat papan atas yang ada di negeri ini, adalah manusia biasa, sama seperti kita yang memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama.
Saya pribadi, dulu, pernah bekerja dan bersentuhan langsung dengan salah seorang konglomerat top five Indonesia. Sejatinya mereka juga merupakan sosok yang memiliki kepedulian sosial. Terbukti banyak di antara mereka yang mendirikan berbagai yayasan sosial, pendidikan, kesehatan hingga keagamaan, yang diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu.
Tapi, saya juga harus berani mengatakan, bahwa social spending (pengeluaran sosial) yang mereka keluarkan masih relatif kecil dibandingkan dengan nilai aset, saham ataupun uang pribadi mereka. Di antara mereka ada memiliki kekayaan pribadi hingga ratusan trilyun rupiah. Di waktu yang sama, minggu ini pemerintah menerbitkan global bond sebesar (hanya) 4,3 Milyar dolar (sekitar 60an trilyun), itupun dengan tenor 50 tahun. Padahal, ada konglomerat negeri ini yang duit pribadinya mencapai 217 trilyun.
Saat ini, kita sedang berperang melawan covid-19. Menurut prediksi para pakar, ini perang cukup panjang. Dampaknya multi-sektoral, tidak hanya di sektor kesehatan, tapi di bidang sosial dan ekonomi. Di sektor ekonomi, market trust jeblok. Nilai tukar rupiah terjun bebas. Nilai saham hancur-hancuran. Kegiatan ekonomi riil sekarat. Banyak perusahaan kecial dan menengah yang gulung tikar. Ribuan orang di-PHK.
Masyarakat kita, bangsa ini, butuh bantuan finansial yang jauh lebih besar dibanding yang telah ada, bahkan lebih besar dibanding yang sudah dijanjikan baru-baru ini. Menurut saya, ratusan trilyun itu tidak akan cukup. Indonesia butuh ribuan trilyun. Nggak percaya? Bukannya menakut-nakuti atau memberikan angin pesimis. Justru ini realistis, objektif, sekaligus prediktif. Indonesia dengan penduduk 260 juta jiwa ini, butuh waktu dan energi yang sangat besar untuk menyelesaikan problem covid-19. Butuh dukungan finansial yang juga sangat besar.
Akhirnya, muncul wacana untuk memberikan talangan menggunakan dana haji. Atau ditalangin dulu pakai sumber dana umat yang lain. Saya pribadi tidak menolak, jika memang umat kita ikhlas. Toh ini kembali kepada umat juga. Tapi, saya usul, dikaji lebih cermat, berapa persen yang perlu dikeluarkan, berapa persen yang harus tetap ditahan. Biarlah buat nalangin dulu nyawa masyarakat. Sekalian untuk memberi contoh baik (good practice), serta menunjukkan bahwa umat juga berkorban. Karena ini masalah kita bersama.
Tapi, para konglomerat yang memiliki uang pribadi puluhan hingga ratusan trilyun, juga sebaiknya dimintai bantuannya. Jumlahnya harus signifikan. Dalam kondisi normal, kita juga sebetulnya punya dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang secara nasional nilainya lumayan, konon hingga 12 trilyun. Lumayan kan, kalau di tahun ini semuanya dialihkan untuk membantu menanggulangi dampak covid-19? Ini pemerintah yang musti beri instruksi. Bila perlu keluarkan produk hokum yang memiliki kekuatan memaksa. Tidak cukup persuasif.
Kalau dalam kondisi normal kita mengenal adanya CSR, yang diatur secara hukum melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, kali ini saya mengusulkan untuk memberlakukan CSR tapi dengan kepanjangan Conglomerate Social Responsibility. Perlu dikeluarkan produk hukum dengan segera (apapun bentuknya, apakah PERPPU atau Undang-Undang) tentang Kewajiban Sosial Konglomerat Di Masa Darurat Sosial dan Ekonomi. Saya bikin singkatan lucu-lucuan: KESOKONG MAS DASOEK.
Konon, bikin UU prosesnya sangat panjang. Itu memang faktanya. Tapi apa iya tidak bisa dipercepat? Toh, UU yang lain pernah juga dibuat dan disahkan dengan gerakan “tendangan tanpa bayangan”. Ini kan kondisi darurat, extra ordinary. Untuk melindungi rakyat di masa darurat, seharusnya produk hukum juga dibuat dalam logika kedaruratan. Tidak menggunakan prosedur dan ritme (pacing) yang rileks. Tapi, kalaupun ini tidak bisa disahkan dalam 1-2 bulan, kalaupun parah-parahnya memakan waktu hampir setahun, menurut saya, tidak apa-apa. Daripada tidak ada sama sekali. Anggap saja ini jadi “future income”.
Lagipula, sekali lagi saya tidak ingin menakut-nakuti, kemungkinan besar peristiwa bencana dan wabah (alam dan non-alam) semacam ini akan kembali terjadi (repeat) di tahun-tahun yang akan datang. Loh, apa saya ini cenayang? Tidak perlu cenayang untuk mengatakan hal sederhana semacam ini. Anak SD juga tahu, sebelum covid-19 dunia sudah diserang oleh MERS, SARS, dan wabah-wabah lainnya. Bencana alam seperti banjir, gempa, tsunami juga sudah menjadi rutinitas di abad-21 ini. intensitasnya sungguh luar biasa.
Jadi, ada baiknya kita berasumsi bahwa wabah/bencana sejenis akan menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita di bumi yang kian tua ini. Akhir zaman? Kalau itu biarkan para Ustadz yang berbicara.
Tugas saya, sebagai rakyat, bagian dari civil society, memberikan masukan, usulan dan dorongan kepada pemerintah. Apa usulan saya? Ya itu, membuat produk hukum Conglomerate Social Responsibility. Apa bisa dan boleh, kita memaksa atau mewajibkan konglomerat untuk memberikan bantuan sosial, bukankah Indonesia negara demokratis? Loh, kita punya Undang-Undang Nomor 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer. Apa wajib militer itu demokratis?
Di masa darurat, seperti perang, negara boleh membuat aturan yang bertendensi paksaan/kewajiban. Menurut saya, selama ada dasar dan landasan filosofis dan konteks sosiologisnya, hal tersebut diperbolehkan. Nah, persoalannya, negara kita ini memandang bahwa perlawanan terhadap covid-19 ini seumpama perang atau tidak? Padahal pemerintah sudah menyatakan bahwa ini merupakan darurat nasional.
Bagi saya, tentu ini perang. Tentu bukan perang militer. Namun, filosofi kedaruratannya bisa dianggap sama. Sehingga negara sejatinya bisa membuat produk hukum yang memberi kemaslahatan kepada mayoritas rakyatnya. Dan yang terpenting, produk hukum ini juga harus pancasilais. Menurut saya, produk hukum yang saya usulkan ini senafas dengan sila ke-2 dan ke-5 pancasila. Sila kedua tentang kemanusiaan. Sila kelima tentang keadilan sosial.
Di depan mata kita, perang non-alam sedang berlangsung. Korban sudah berjatuhan, bahkan masih banyak yang belum teridentifikasi. Di waktu yang sama, kita memang punya social capital. Tapi, itu tidak cukup, karena di waktu yang sama pula ada segelintir orang yang menguasai kapital finansial yang luar biasa.
Sekali lagi, saya tidak menafikan bahwa mereka juga memberikan sebagian dari harta mereka untuk social spending. Tanpa diwajibkan pun, mereka sudah melakukannya. Tapi, bangsa ini butuh lebih dari sekadar “sumbangan sukarela” yang jumlahnya seikhlasnya. Dengan logika kedaruratan yang telah saya jelaskan sebelumnya, saat ini dan di masa yang akan datang, dalam kondisi tipikal seperti hari ini kita butuh “sumbangan wajib” dari mereka. Entah 10&, 20% dari total kekayaan pribadinya, itu soal teknis. Silahkan ini dikaji oleh para ahli hukum dan pemerintah (eksekutif dan legislatif).
Dalam kondisi normal, tuntutan kita terhadap para konglomerat adalah isu pemerataan. Di semua negara juga isu pemerataan akan terus eksis, mungkin hingga kiamat. Namun, dalam kondisi extra ordinary, seperti perang, bencana, wabah seperti hari ini, isunya bukan lagi pemerataan, tapi isu penanggungan. Yang kaya wajib menanggung yang miskin. Yang mampu (able) menanggung yang tidak mampu (unable).
Kata kuncinya itu: penanggungan. Sehingga atas dasar filosofi tersebut, penanggungan menjadi hal yang diwajibkan. Tidak lagi hanya sekadar himbauan, apalagi rekomendasi. Negara harus berani.
Toh, menurut saya, dalam situasi krisis dan darurat sosial-ekonomi seperti hari ini, ide tentang Kewajiban Sosial Konglomerat (CSR) juga akan bermaslahat untuk semua pihak. Tidak hanya bagi rakyat kecil, tapi benefit (payoffs) tersebut juga secara tidak langsung akan didapat oleh para konglomerat. Kita bisa bayangkan, jika ekonomi riil mati, maka pengusaha juga akan mati. Sebagai ilustrasi, jika rakyat sudah tidak mampu lagi membeli rokok, atau yang biasanya merokok sebungkus kini hanya separoh, kita bisa bayangkan berapa penurunan omset dari perusahaan rokok?
Artinya, saya mau mengatakan bahwa stabilitas sosial-ekonomi masyarakat bawah dalam kegiatan ekonomi riil juga akan berdampak terhadap stabilitas bisnis yang dimiliki oleh para konglomerat. Untuk itu bantuan para konglomerat terhadap rakyat bawah sesungguhnya adalah bantuan terhadap dirinya sendiri. Benefitnya mereka juga yang akan petik.
Jadi, jika kita befikir lebih jernih. Sejatinya gagasan tentang Kewajiban Sosial Konglomerat (CSR) ini merupakan solusi win-win. Bukan solusi win-loss. Memang pada awalnya ini terkesan win-loss, padahal sebetulnya win-win solution antara rakyat bawah dan konglomerat, meskipun mungkin yang terjadi adalah short-term win (untuk rakyat bawah) versus long-term win (untuk konglomerat).
Semoga Presiden dan DPR yang telah dipilih oleh rakyat, mempertimbangkan gagasan ini. Untuk rakyat. Untuk eksistensi kehidupan kita semua. Untuk Indonesia tercinta.
Penulis adalah Pengusaha dan Aktivis,
Alumni UGM & ITB.