Oleh Asyari Usman
Tak keliru Jokowi menempatkan kepercayaan penuh ke Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Jenderal pensiunan ini memang hebat. Harus diakui dengan jujur. Ini penilaian objektif. Meskipun ‘output’ kehebatan Luhut bisa dinilai macam-macam secara kualitatif.
Luhut adalah “can do anything person”. Orang yang bisa mengerjakan apa saja. Dia bisa mengolah dan mengelola semua hal. Mulai dari ekonomi, bisnis, investasi, pertambangan, epidemiologi, sampai strategi politik, intrik, dll. Bisa dipahami mengapa Jokowi lebih percaya kepada Luhut ketimbang orang-orang partai pendukungnya, PDIP.
Di tangan Luhut, kepresidenan Jokowi bisa aman. Atas kehebatan Luhut pulalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bisa dipaksa agar tetap mendukung Jokowi. Padahal, Bu Mega tidak lagi didengarkan oleh Jokowi.
Luhut membuat Banteng sekandang tak berkutik. Hanya bisa manggut-manggut mengikuti apa kata Pak Menko. Jokowi yang semula diremehkan sebagai petugas PDIP, sekarang seratus persen independen dari Bu Mega. Tidak ada lagi dikte dari Bu Ketum.
Bahkan hari ini bisa berbalik. Jokowi (cq Luhut) yang akan mendikte posisi politik PDIP. Sebagai contoh, Jokowi (lewat Luhut) bisa memerintahkan elit bisnis untuk memboikot PDIP. Bisa dibayangkan dampaknya jika ini terjadi.
Independensi Jokowi dari PDIP dan Bu Ketum terlihat pada upaya untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun lewat penundaan pemilu atau amandemen UUD yang akan memungkinkan Jokowi tiga periode. Di sini, Jokowi (lewat tangan Luhut) mencoba penambahan masa kekuasaan itu lewat parpol-parpol lain. Tidak lewat PDIP. Karena Bu Mega tidak mendukung. Keinginan Jokowi ini nyaris gol andaikata tidak ada protes keras dari publik.
Meskipun pada saat ini penundaan pemilu atau amandemen sudah tertutup karena sikap tegas Bu Mega dan belakangan aksi unjuk rasa mahasiswa yang juga menentang, Luhut masih belum menyerah. Di balik layar terus berlangsung kasak-kusuk, lobi-lobi, untuk menggolkan perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Bagaimana jika upaya ini benar-benar gagal? Sudah disiapkan Plan B. Yaitu, memperjuangkan Ganjar Pranowo habis-habisan di pilpres 2024. Skenario 2019 tampaknya akan di-copy-paste. Ganjar harus menang dengan segala cara.
Boleh jadi, Luhut akan terbentur tembok PDIP. Sebab, di pilpres 2024 nanti Bu Mega punya misi pribadi untuk menaikkan karir anaknya, Puan Maharani, menjadi presiden atau wakil presiden (yang lebih logis). Ini momen terakhir untuk Puan. Pilpres 2029 terlalu jauh bagi Bu Mega.
Dua tahun ke depan ini Luhut akan sangat sibuk. Bagusnya, Luhut sudah melihat peta politik dengan jelas. Dia paham PDIP tidak akan mendukung Ganjar. Tetapi, bisa juga berubah menjadi mendukung. Pak Luhut sangat piawai menanganinya. Pak Menko pasti tahu isi kepala dan isi perut PDIP. Artinya, sangat mungkin Luhut bisa sekali lagi menjinakkan Bangeng sekandang di pilpres 2024.
Bu Mega bisa dibikin pragmatis oleh Luhut agar mendukung Ganjar. Menko “Segala Urusan” ini sudah paham bagaimana cara merayu Bu Mega.
Kubu Jokowi sudah terlihat menyiapkan Plan B ini. Semua pintu penting dalam proses pilpres 2024 sudah dikondisikan sejak sekarang. Sebagai contoh, sangat jauh dari kebetulan ketika kemarin (12/4/2022) Hasyim Asy’ari (yang pernah menjadi pimpinan Banser Jawa Tengah (2018-2018) terpilih sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2022-2027.
Memang Hasyim adalah komisioner petahana. Tapi, sulit untuk menepis dugaan publik bahwa keterpilihan Hasyim itu terkait dengan keinginan Jokowi (dan Luhut) agar Ganjar keluar sebagai pemenang pilpres 2024.
Jadi, percaturan politik Indonesia saat ini ada di tangan Luhut. Bu Mega dan PDIP termasuk kekuatan yang sudah diukur oleh Pak Menko. Kalau pendekatan lunak (soft approach) tak mempan, Luhut masih bisa melakukan pendekatan lain yang membuat Bu Mega sulit menolak. Pendekatan jumbo plus yang menghanyutkan.
Sebagai penutup, mengapa Jokowi dan Luhut perlu Ganjar sebagai presiden? Hanya untuk satu tujuan. Ganjar diarahkan untuk membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur sampai pada tahap yang tak mungkin dibatalkan lagi.***
13 April 2022
(Jurnalis, Permerhati Sosial-Politik)