Dengan membangun respek kepada diri sendiri, maka sama artinya wartawan dan media merespons respek para mitra kerjanya.

Pernyataan itu saya sampaikan dalam pidato pelantikan sebagai Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah periode 2020-2015 di Gedung Ghradika Bhakti Praja, Semarang, 27 Oktober lalu. Ungkapan respek mitra kerja, dalam bentuk kerja sama kelembagaan yang selama ini terjalin, dalam garis besar menggambarkan sebuah interaksi yang bersifat simbiosis-mutualisme antara pers dengan elemen-elemen pemerintah dan masyarakat.

Dan, dalam konteks masa sekarang, relasi kerespekan itu berbeda dari yang secara “given” terjalin pada era Orde Baru. Ketika itu, represivitas penguasa terhadap pers mewujud dalam konsep “interaksi positif” antara pemerintah, pers, dan masyarakat yang lebih bertitik berat ke aksentuasi monolog.

Baca Juga

Dalam pemahaman narasi yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, interaksi itu terekspresikan sebagai “patriotisme pers”. Dalam buku Media, Narasi Kepemimpinan, dan Normal Baru (2002), saya mengangkat istilah “media-negarawan”. Muara idealnya sama, yakni Merah-Putih sebagai sumber spirit, sedangkan sikap wartawan dan media memancar dari fungsi Undang-Undang Pers untuk menginformasi, mengedukasi, menghibur, dan kontrol sosial dengan mengawal transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

“Narasi positif” pemberitaan berbasis fungsi-fungsi tersebut bersubstansi mendidik, memberi pengetahuan, menginspirasi, mengangkat keteladanan-keteladanan, menyajikan kepeloporan, menumbuhkan optimisme, menepikan pesimisme, mengangkat kepercayaan diri, atau secara lebih luas memuarakan kemaslahatan bersama.

Dalam konteks respek, bagaimana kita memaknainya?

Premis penting untuk mengawali diskursus ini adalah, bagaimana mungkin wartawan dan media tidak bersikap respek kepada diri sendiri, justru ketika pihak lain menaruh respek kepada kita?
Menghargai diri sendiri, terkait dengan kewartawanan dan media, tentu berpemaknaan membangun kemartabatan dengan memahkotakan kehormatan profesi. “Harga” ini dapat ditimbang dari seberapa kuat profesionalitas dijadikan performa. Kualitas profesionalisme pada tingkat ini memaujud secara kaffah (komprehensif) antara kecakapan teknis (skill) dengan kemauan eksplorasi etis.

“Maqam” profetik kewartawanan akan dicapai dengan kelengkapan keseimbangan kompetensi tersebut. Maka tepatlah mata uji pertama dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang ditambahkan sejak 2019 adalah kemampuan memahami dan menghayati Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sebelumnya, mata uji tersebut belum ada, karena konsep awal dari serangkaian ujian dalam UKW memosisikan Hukum Pers dan KEJ sudah menjadi bagian integral dari mata uji lainnya.

Respek kepada diri sendiri dapat diwujudkan dalam ikhtiar-ikhtiar meningkatkan kompetensi, memperkuat kecakapan profetik. Pilihan jalan ini sekaligus merupakan langkah mengembangkan kemartabatan profesi, misalnya dalam bentuk kepahaman teknis memilih materi pemberitaan secara substansial dan bagaimana mengemasnya.

Konsep tanggung jawab sosial dalam agenda-agenda berjurnalistik dan bermedia ini diikat oleh realitas kepentingan kebangsaan, seperti kebhinekaan, menjauhi usikan SARA, dan sebagainya. Di dalamnya mengalir kesadaran berjurnalistik dan bermedia dengan level visioner berupa penghayatan muara atau orientasi sikap.

Tanggung Jawab Kepublikan

Tanggung jawab kepublikan media, secara normatif melekat dalam fungsi-fungsi yang teramanatkan oleh UU Pers dan penafsiran poin-poin Kode Etik Jurtnalistik. Selebihnya memancar sebagai tafsir objektif dalam praktik jurnalistik yang tentu sesuai dengan proporsionalitas kondisi dan konteks.

Dalam buku Adab Jurnalistik saya tegaskan, makin banyak bukti betapa media berperan secara determinatif dalam menemukan, mengangkat, membuka, lalu mendorong penyelesaian persoalan-persoalan publik…

Kegairahan orang-orang media boleh jadi tak hanya didorong oleh orientasi “kebaikan” sebagai jabaran fungsi ideal berjurnalistik, karena memang terdapat sisi-sisi lain yang terkait dengan praksis jurnalisme lantaran perkembangan pesat teknologi informasi (Amir Machmud NS: 2017).

Idealita itu dapat kita tangkap dari kesadaran model-model inspirational news dalam sajian pemberitaan pandemi Covid-19, liputan bencana alam, atau liputan pengembangan dunia pariwisata, misalnya. Sikap-sikap kritis juga dapat kita temukan dalam arus pemberitaan tentang geger unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja, belum lama berselang. Bahkan, pengembangan pemberitaan di seputar ucapan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri yang mengkritisi peran kaum milenial pun dapat kita kemas dalam visi “tanggung jawab kepublikan media”.

Mari kita simak Bill Kovach dan Tim Rosenstiel dalam buku legendaris Elemen-elemen Jurnalisme. Kode etik dan misi jurnalisme menghasilkan kesaksian yang sama. Tujuannya, seperti dalam Kode Etik American Society of Newspaper Editors, “untuk melayani kesejahteraan umum dengan menginformasikan berita kepada orang-orang”. Ungkapan populer yang kemudian menjadi klasik dalam praksis ini adalah, “Berikan sinar, dan orang-orang akan menemukan jalan mereka sendiri” (Kovach & Rosenstiel: 2004).

Masalahnya, pemberitaan media punya kekuatan determinasi. Akan ada tarik-menarik dalam atmosfer kepublikan apabila media memberitakan atau tidak memberitakan; mengurangi bobot pemberitaan atau menambah bobot itu. Maka kemauan untuk memilih bobot, yang artinya apakah akan bersikap extraordinary atau bersikap ordinary terhadap isu-isu publik tertentu pasti bakal menentukan, sejauh mana tanggung jawab dan respek kepublikan itu dicapai. Dan, itu akan terasa terhadap pengaruh kekuatan opini isu publik tertentu di masyarakat.

Determinasi pemberitaan yang paling terasa adalah dalam mendorong pengambilan keputusan yang (idealnya) prorakyat oleh otoritas-otoritas tertentu. Suara publik didengar dari arus pendapat yang dipancarkan oleh media. Di sinilah “narasi positif” pemberitaan itu menemukan kanal pergulatan pertimbangan di newsroom media: akan diolah dalam kemasan seperti apa, dengan tujuan apa.

Hari-hari ini, kita mengikuti atmosfer opini di tingkat publik dari sajian pemberitaan tentang unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja. Hari-hari ini dan esok, kita juga bisa mengamati sejauh mana pengaruh pemberitaan tentang kritik Megawati terhadap kaum milenial. Pada saat yang sama, opini utama yang mendominasi pemberitaan adalah kondisi bangsa ini, yang masih dihantui pandemi Covid-19 dengan informasi terkait dengan kebijakan pemerintah di berbagai level dan ikhtiar pencerahan mengenai adaptasi perilaku baru.

Narasi-narasi seperti apa yang kita pilih di tengah pusaran masalah tersebut? Di tingkat provinsi dan lokal, pastilah juga muncul dan berkembang masalah-masalah yang menyangkut hidup dan kemaslahatan bersama. Dengan berpatokan pada visi kebangsaan, membuka diri terhadap kepentingan bersama merupakan salah satu pilihan sikap media, yang tentu bisa diselaraskan dengan sikap respek kepublikannya.
Tugas kepublikan kita sejatinya adalah “memberi sinar, agar orang-orang menemukan menemukan jalan mereka…” Sinar itulah yang dalam praksis editorial bisa dikelola melalui agenda setting dan framing yang penuh dengan bobot kebajikan.

Kebajikan dalam respek kepublikan, itulah determinasinya.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah