Oleh : Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia
Salah satu produk reformasi adalah diakuinya hak atas informasi sebagai Hak Azazi Manusia oleh konstitusi Indonesia (Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI, 1945) sekaligus diberikannya kepada seluruh warga negara Indonesia hak konstitusional baru yaitu hak atas informasi tersebut. Pengakuan dan pemberian hak ini terlihat jelas dari rumusan pasal 28F UUD NRI 1945 hasil Amandemen Kedua.
Berikut teks pasal 28F UUD NRI 1945 :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Konsekuensi dari keluarnya Pasal 28F UUD NRI 1945 berakibat pada terjadinya 5 (lima) perubahan signifikan yaitu 1. Rezim pengelolaan informasi dari sebelumnya seluruh informasi bersifat tertutup kecuali yang dibuka, menjadi seluruh informasi bersifat terbuka kecuali yang dikecualikan; 2. Tidak dibenarkannya ada aturan apapun dibawah UUD NRI 1945 yang mengurangi apalagi menghambat hak baru warga negara tersebut; 3. Tidak dibenarkannya pengelola negara dalam level jabatan manapun melalui kewenangan yang dimilikinya untuk menghalang-halangi apalagi menghambat warga negara mendapatkan haknya tersebut; 4. Kewajiban yang diperintahkan konstitusi untuk memastikan hak warga negara tersebut terlayani oleh Badan Publik dan terlindungi dengan baik; dan 5. Adanya sanksi pidana.
Tulisan ini difokuskan untuk menjelaskan bagaimana warga negara untuk mendapatkan hak atas informasi tersebut sekaligus sebagai bentuk jaminan bahwa hak atas informasi warga negara terlindungi sebagai Hak Azazi Manusia yang diakui konstitusi dan hak konstisusional.
Regulator, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menindaklanjuti ketentuan pasal 28F UUD NRI 1945 dengan mengeluarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008, dan dilanjutkan dengan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan dibentuknya Komisi Informasi Pusat Pertama periode 2009-2013 pada bulan April 2009 sebagai pelaksanaan perintah UU 14 Tahun 2008.
Hak atas informasi bisa didapatkan dan diperjuangan oleh warga negara melalui pengajuan permohonan informasi kepada pengelola informasi Badan Publik, pengajuan keberatan atas tidak terpenuhinya informasi oleh pengelola informasi publik kepada atasan pengelola informasi publik, pengajuan sengketa informasi kepada Komisi Informasi atas tidak terpenuhinya informasi oleh pengelola dan atas tanggapan oleh atasan pengelola informasi publik, pengajuan gugatan kepada pengadilan atas tidak diterimanya putusan Komisi Informasi oleh para pihak, pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung atas tidak diterimanya putusan pengadilan oleh para pihak, dan pengajuan penegakan hukum pidana oleh Pemohon kepada penegak hukum (kepolisian) atas tidak dilaksanakannya putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap oleh Badan Publik dalam hal permohonan dikabulkan.
Permohonan Informasi
Perwujudan pertama atas pengakuan yang diberikan konstitusi terhadap hak atas informasi sebagai Hak Azazi dan hak konstitusional adalah diberikannya hak seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memgajukan permohonan informasi kepada seluruh Badan Publik, khususnya kepada seluruh Badan Publik Negara, tanpa kecuali. Tanpa kecuali disini dapat dimaknai tak ada Badan Publik punya imunitas atas ini, dan dapat pula dimaknai tidak ada substansi informasi yang tidak dapat diminta oleh warga negara. Setiap orang yang bisa membuktikan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dengan alat bukti kependudukan yang sah memeiliki kedudukan hukum (Legal Standing) sebagai Pemohon Informasi, tanpa kecuali. Begitu juga dengan Pemohon informasi yang lain yaitu sekelompok warga negara dan Badan Hukum. Untuk memudahkan penulisan, disini yang dibahas hanya warga negara. Hal ini dikarenakan tidak ada hal prinsipil yang membedakannya dalam proses permohonan kecuali alat bukti dalam pembuktian Kedudukan Hukum (Legal Standing). Kalau warga negara alat buktinya adalah Kartu Tanda Penduduk dan atau Paspor. Sementara sekelompok warga negara ditambah Surat Kuasa Khusus jika ada anggota kelompok pemohon yang menguasakan kepada anggota kelolok pemohon yang lain. Sedangkan Badan Hukum alat buktinya adalah Akta Notaris dan Surat Keterangan Berbadan Hukum Nasional dari Kemenkumham RI serta Surat Kuasa dari Pengurus Badan Hukum.
Permohonan diajukan kepada pejabat atau petugas yang ditunjuk oleh Badan Publik untuk mengelola informasi sebagai kewajiban yang ditetapkan pasal.28F UUD NRI 1945 dan UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan turunannya. Saat ini dikenal sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama.
Permohonan bisa diajukan secara tertulis maupun lisan. Petugas di Badan Publiklah yang berkewajiban menjadikannya dokumen tertulis. Bisa diajukan melalui surat biasa maupun surat elektronik. Bisa diajukan langsung oleh warga negara maupun melalui kuasanya yang dikuasakan khusus untuk itu. Prinsip utamanya disini adalah warga memiliki Hak Azazi dan Hak Konstitusional atas informasi maka kewajiban Badan Publiklah untuk melayaninya. Tidak bisa hak tersebut dikesampingkan hanya karena alasan teknis dan administratif. Jika ada hal teknis dan administratif yang harus dipenuhi maka itu masuk kedalam ranah kewajiban Badan Publik untuk memudahkan semudah-mudahnya agar tepenuhi. Bahkan kalau perlu warga negara tinggal membubuhkan cap jempol saja.
Beban yang harus dibuktikan oleh warga negara disini hanyalah sebatas bahwa warga negara tersebut sudah menyampaikan permohonannya kepada PPID
Semenjak itu argo waktu pelayanan oleh PPID mulai berjalan. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008) dengan jelas dan tegas menentukan bahwa PPID memiliki kewajiban untuk menjawab permohonan informasi oleh warga negara tersebut.
Keberatan
Pemohon yang berpendapat bahwa permohonannya ditolak atau tidak dipenuhi atau dipenuhi sebagian, atau permohonan tidak ditanggapi sama sekali oleh PPID, diberi ruang oleh regulasi untuk memperjuangkan hak azazi dan hak konstitusionalnya atas informasi melalui mekanisme Mengajukan Keberatan kepada Atasan PPID Badan Publik tempat warga negara mengajukan permohonan informasi.
Jaminan hak atas informasi sebagai Hak Azazi dan Hak Konstitusional tersebut diwujudkan dengan aturan jelas dalam regulasi yang mengatur kapan Pemohon memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Keberatan. Sehingga ada jepastian hukum untuk melindungi hak warga negara atas informasi tersebut. Terdapat dua situasi yang memunculkan Kedudukan Hukum untuk mengajukan Keberatan, yaitu 1. Situasi dimana PPID menjawab permohonan informasi; 2. Situasi dimana PPID tidak menjawab permohonan informasi. Terhadap situasi dimana PPID menjawab permohonan informasi juga terdapat dua situai, yaitu 1. Menjawab substansi permohonan; 2. Menjawab terkait perlunya penambahan waktu.
Jika dalam kurun waktu yang ditentukan (10 hari kerja) PPID tidak menjawab Permohonan Informasi maka akan memimbulkan hak pada publik yang mengajukan permohonan informasi untuk menyampaikan Keberatan kepada Atasan PPID. Tidak bisa sebelumnya. Dan memiliki limitatif waktu juga kapan hak memgajukan keberatan tersebut hilang atau daluarsa. Jika dalam kurun waktu yang ditentukan (selama 10 hari kerja semenjak permohonan inormasi diterima) PPID Badan Publik memberikan jawaban, maka hak Pemohon untuk mengajukan Keberatan dihitung semenjak diterimanya jawaban PPID tersebut. Pemohon bisa menggunakan hak untuk mengajukan keberatan atau tidak mengajukan keberatan tergantung pada penilaian Pemohon terhadap jawaban PPID tersebut.
Jawaban PPID yang dinilai Pemohon tidak sesuai dengan informasi yang dimohonkan atau tidak semua informasi yang dimohonkan pemohon dijawab PPID atau PPID menjawab bahwa informasi tidak bisa diberikan baik karena alasan tertentu atau karena alasan sudah dikecualikan, maka seketika itu timbul hak pemohon untuk mengajukan Keberatan kepada Atasan PPID dan sekaligus perhitungan jangka waktu daluarsa hak pengajuan Kebetaran tersebut dimualai.
Jawaban PPID yang disampaikan dalam rentang waktu 10 (sepuluh) hari kerja semenjak permohonan diterima yang berisi permintaan penambahan waktu selama-lamanya 7 (tujuh) hari kerja memiliki implikasi pada waktu timbulnya hak Pemohon Informasi untuk mengajukan Keberatan. Hak mengajukan Keberatan baru muncul setelah ada jawaban dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari tersebut dari PPID atau saat berakhirnya 7 (tujuh) hari penambahan waktu itu.
Seai lagi, bahwa Keberatan yang disampaikan oleh Pemohon Informasi kepada Atasan PPID sangat terkait materi jawaban PPID kepada Pemohon atau terkait dengan tidak ditanggapinya Permohonan oleh PPID.
Pada masa 10 (sepuluh) hari waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dan 7 (tujuh) hari tambahan tidaklah melanggar jika waktu itu juga digunakan PPID untuk melakukan Uji Konsekuensi dan Penetapan informasi dimaksud sebagai Informasi Dikecualikan melalui Surat Keputusan yang berbasis pada dokumen Berita Acara Uji Konsekuensi yang dilaksanakan pada kurun waktu tersebut.
Mediasi Pada Tahap Permohonan dan Keberatan
Pada tahapan permohonan informasi ataupun pada tahapan Keberatan, kedua belah pihak (Pemohon dan Badan Publik) dapat melakukan diakusi dan musyawarah agar didapatkan saling memahami satu sama lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan dilaksanakannya Mediasi dengan bantuan Mediator Bersertifikat yang disepakati kedua belah pihak maulun pihak lain yang disepakati kedua belah pihak.
Mediasi pada tahap ini seyogyanya Badan Publik bersifat aktif. Kenapa?. Karena substansinya yang sedang dimohonkan Pemohon adalah hak azazinya yang diakui konstitusi dan hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang dibiayai sepenuhnya atas tanggungannya sendiri, termasuk tanggungan biaya operasional. Sementara petugas Badan Publik adalah petugas negara yang sedang menjalankan tugas yang dibebankan konstitisi dan hukum yang pembiayaan sepenuhnya atas tanggungan negara, atas dukungan sepenuhnya dari negara. Sehingga wajarlah dalam negara demokrasi sebesar Indonesia, Badan Publik yang seharusnya sangat aktif dalam melayani warga negara, terkhusus dan tidak terbatas pada upaya Mediasi pada tahapan Permohonan dan Keberatan, sebelum masuk pada tahapan Penyelesaian Sengketa Informasi oleh Komisi Informasi.
Upaya Penyelesaian Sengketa Informasi Melalui Komisi Informasi (Mediasi / Ajudikasi Nonlitigasi)
Demi menjamin Hak Azazi dan Hak Konstitusional atas informasi, UU 14/2008 memerintahkan dibentuknya Komisi Informasi Pusar (KI Pusat), Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi), dan dapat juga dibentuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota yang salah satu tugas dan fungsinya adalah Menyelesaiakan Sengketa Informasi. Komisi ini adalah tempat dimana warga negara yang berpendapat bahwa hak azazi dan hak konstitusionalnya atas informasi tetap terhalang oleh kebijakan Badan Publik, baik karena Badan Publik telah mengecualikan informasi dimaksud ataupun karena alasan lain, untuk memperjuangkan hak azazi dan hak konstitusinalnya atas informasi setelah warga negara tersebut menempuh proses Permohonan dan proses Keberatan dalam jangka waktu yang ditentukan peraturan perundang undangan.
Uapaya warga negara untuk mendapatkan hak azazi dan hak konstitusiolnya atas informasi setelah melalui proses Permohonan dan proses Keberatan disebut sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Informasi. Hal itu berarti bahwa ketika warga negara mengajukan persoalan hak atas azazi dan hak konstitusionalnya atas informasi kepada Komisi Informasi dan permohonannya tersebut dicatatkan dalam buku register di Kepaniteraan Komisi Informasui maka saat itu bisa dimaknai sudah terjadi sengketa informasi antara warga negara dengan Badan Publik. Yaitu dimana warga negara dan Badan Publik memiliki pendapat berbeda tentang status suatu informasi. Badan Publik berpendapat bahwa demi kepentingan publik dan hukum maka informasi dimaksud dikecualikan atau tidak bisa diakses, dimiliki, dan digunakan publik. Sementara warga negara berpendapat sebaliknya, yaitu informasi dimaksud demi kepentingan publik dan hukum harusnya bisa diakses, dimiliki, dan digunakan publik.
Informasi yang sudah Dikecualikan boleh dan tidak tertututup kemungkinan untuk diajukan Penyelesaian Sengketa Informasinya ke Komisi Informasi oleh warga negara. Hal ini dikarenakan penetapan status Dikecualikan yang dilekatkan pada sebuah informasi oleh Badan Publik melalui Surat Keputusan yang berbasis Berita Acara Uji Konsekuensi walaupun bersifat berlaku dan mengikat seketika namun belum bersifat final (biding). Sebuah informasi baru berstatus Dikecualikan secara mengikat dan final setelah ada putusan berkuatan hukum tetap sebagai produk Sengketa Informasi. Putusan Mediasipun tidak memiliki implikasi final dan mengikat kecuali bagi para pihak saja, tidak pada warga negara lain.
Catatan penting yang harus dipahami dengan baik disini adalah Warga negara punya kedudukan hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Penyelesaian Sengketa Informasi setelah menempuh proses Permohonan dan proses Keberatan sesuai dengan ketentuan batas waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Penetapan status suatu informasi oleh Badan Publik sejauh dilaksanakan mengikuti proses Uji Konsekuensi dan tanpa melanggar hukum, tidak bisa dikategorikan pelanggaran walaupun nantinya dibatalkan oleh proses Ajudikasi Nonlitigasi di Komisi Informasi maupun oleh proses Litigasi di pengadilan. Catatan penting lain yang harus dipahami warga negara disini adalah kapan mulai muncul kedudukan hukum untuk mengajukan Penyelesaian Sengketa Informasi dan kapan daluarsanya.
Dimana dan bagaimana penyelesaian sengketa informasi Penyesaian Sengketa Informas tersebut diselesaikan? Kapan Mediasi dilaksanakan? Kapan Ajudikasi Nonlitigasi dilaksanakan? Apa yang harus dibuktikan oleh para pihak? Kepada siapa Beban Pembuktian dibebankan?
Penyelesaian sengketa informasi dilaksanakan di dan oleh Komisi Infornasi melalui mekanisme Mediasi dan atau mekanisme Ajudikasi Nonlitigasi, baik di Komisi Informasi Pusat maupun di Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota, tergantung status Badan Publik Termohonnya. Komisi Infornasi Pusat melaksanakan proses penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik Pusat/Nasional dan Termohon Badan Publik Provinsi/Kabupaten/Kota jika belum terbentuk Komisi Infornasi Provinsi/Kabupaten/Kota dimana sengketa tersebut terjadi; Komisi Informasi Provinsi melaksanakan proses penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik tingkat Provinsi dan Termohon Badan Publik Kabupaten/Kota jika tidak ada Komisi Infornasi Kabupaten/Kota dimana sengketa tersebut terjadi; Komisi Informasi Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik Kabupaten/Kota dan Badan Publik dibawah Kabupaten/Kota dimana sengketa tersebut terjadi.
Tentang bagaimana Penyelesaian Sengketa Informasi dilaksanakan, akan dibahas dalam tulisan tersendiri.
Gugatan Sengketa Informasi Melalui Pengadilan (Litigasi)
Ada beberapa bentuk Putusan yang dikeluarkan oleh Komisi Incormasi Pusat (Majelis Komisioner yang Menerima, Memeriksa, dan Memutus) terkait penyelesaian Sengketa Informasi. Putusan karena regusternya dicabut oleh Pemohon, Putusan Gugur karena ketidakhadiran Pemohon, Putusan karena tidak terpenuhinya Kedudukan Hukum (legal standing), Putusan karena tercapainya Perdamaian atau Kesepakatan para pihak dalam proses Mediasi, dan Putusan hasil proses Ajudikasi Nonlitigasi.
Atas Putusan Komisi Informasi (baca : Majelis Komisioner yang Memeriksa dan Memutus sengketa a quo) yang dihasilkan melalui proses Ajudikasi Nonlitigasi merupakan Putusan yang dapat diajukan Gugatan kepada pengadilan agar diperiksa dan diputus melalui proses Litigasi. Walaupun para pihak (Pemohon dan Termohon) diberikan Kedudukan Hukum (legal standing) sebagai Penggugat namun filosofi dasarnya haruslah sama yaitu demi kepentingan publik.
Pemohon yang bestatus Penggugat tetaplah harus mendalilkan bahwa Pemohon memiliki Hak Azazi, Hak Konstitusional, dan hak legal atas informasi dimaksud demi kepentingan publik. Sementara Temohon yang berstatus Penggugat juga tetaplah harus mendalilkan bahwa Pengecualian atas informasi yang disengketakan adalah demi kepentingan publik dan hukum. Tidak boleh keluar dari itu.
Para pihak juga tidak boleh keliru ke pengadilan mana Gugatan akan dilayangkan atau dengan kata lain Pengadilan mana yang berwenang menerima, memeriksa, dan memeriksa Gugatan dimaksud.
Undang Undang Nomer 14 Tahun 2008 dan aturan turunannya maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Di Pengadilan menggariskan bahwa ada 2 (dua) Pengadilan yang berwenang untuk menerima, Memeriksa, dan Memutus atas adanya Gugatan atas adanya Putusan Komisi Infornasi atas suatu sengketa informasi, yaitu Pengadikan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pemgadilan Negeri (PN). PTUN berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus Gugatan Sengketa Informasi jika Badan Publik yang menjadi Termohon saat Penyelesaian Sengketa Informasi di Komisi Informasi adalah Badan Publik Negara di wilayah kerja PTUN tersebut. Sementara PN berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus Gugatan Sengketa Informasi jika Badan Publik yang menjadi Termohon saat Penyelesaian Sengketa Informasi di Komisi Informasi adalah Badan Publik No Negara di wilayah kerja PN tersebut.
Para pihak dalam gugat menggugat di pengadilan tetaplah para pihak dalam proses penyelesaian sengketa informasi Ajudikasi Nonlitigasi di Komisi Informasi. Komisi informasi bukanlah pihak maupun pihak terkait. Kewajiban Komisi Informasi hanya sebatas mengirimkan Putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan atas permintaan dari Panitera Pengadilan dimana Gugatan tersebut didaftarkan.
Namun jika diperlukan keterangan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus Gugatan dimaksud, Majelis Hakim dapat meminta keterangan dari Komisi Informasi, namunMajis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa a quo tetap tidak dibenarkan memberikan keterangan dimaksud. Komisi informasi akan mengirim diluar Majelis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa informasi a quo
Proses pemeriksaan dan pembuktian di PTUN maupun di PN sepenuhnya mengikuti Hukum Acara di PTUN dan PN dimaksud sebagaimana telah diatur oleh aturan yang mengatur proses beracara di PTUN dan PN dimaksud, semisal dan tidak terbatas pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer….. Tahun …. tentang ….sengketa infornasi.
Kasasi Sengketa Informasi ke Mahkamah Agung
Atas Putusan PTUN atau PN yang memeriksa dan memutus atas Gugatan Sengketa Informasi para pihak dapat menerima mapun tidak menerima. Demi melindungi hak azazi dan hak konstitusinal pencari keadilan maka pihak yang berkedudukan sebagai Pemohon pada saat Penyelesaian Sengketa Informasi di Komisi Informasi (bisa saja berkedudukan Tergugat maupun Penggugat pada saat Penyelesaian Sengketa Informasi di PTUN atau PN) maupun demi melindungi kepentingan publik yang lebih besar maka pihak yang berkedudukan sebagai Termohon pada saat Penyelesaian Sengketa Informasi di Komisi Informasi (bisa saja berkedudukan Tergugat maupun Penggugat pada saat Penyelesaian Sengketa Informasi di PTUN atau PN) Undang Undang Nomer 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan aturan turunannya memberikan peluang kepada para pihak untuk menempuh upaya hukum lebih tinggi atas Putusan PTUN atau PN atas Sengketa Informasi a quo, yaitu uapaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Bagaimana upaya hukum Kasasi ini diksanakan, sepenuhnya sesuai dengan hukum acara upaya Kasasi yang berlaku umum di PTUN atau PN. Hal ini tidak akan dibahas disini.
Berkekuatan Hukum Final dan Mengikat dan Ekseskusi
Sebuah pertanyaan yang selalu muncul saat sebuah sengketa masuk ke proses penyelesaian sengketa melalui Ajudikasi Litigasi maupun Nonlitigasi adalah kapan Putusannya Berkekuatan Hukum Tetap (mengikat dan final) dan bagaimana eksekusi atas Putusan a quo. Pertanyaan inipun selalu muncul saat penyelesaian sengketa informasi. Hal ini sangat terkait dengan kepastian hukum dan juga keadilan bagi para pihak. Termasuk kepastian tegaknya hak azazi dan hak konstitusional warga negara atau kepastian terlindunginya hak azazi dan hak konstitusional publik umum yang tidak sedang bersengketa. Harus diingat, dibuka atau dikecualikan sebuah informasi semata-mata demi melindungi kepentingan publik, demi melindungi hak azazi dan hak konstitusional publik, tidak karena alasan yang lainnya.
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa Sengketa Informasi yang diajukan kepada Komisi Informasi memiliki 2 (dua) kemungkinan, yaitu Sengketa Informasi atas informasi yang sudah Dikecualikan dan Sengketa Informasi atas informasi yang belum Dikecualikan. Terhadap Sengketa Informasi atas informasi yang sudah Dikecualikan oleh Badan Publik maka status Dikecualikan atas informasi tersebut bersifat mengikat dan berlaku serta merta dan Berkekuatan Hukum semenjak Surat Keputusan penetapan informasi a quo sebagai Informasi yang Dikecualikan ditandatangani pejabat yang berwenang, namun belum bersifat final dan belum Berkekuatan Hukum Tetap. Status Berkekuatan Hukum namun belum Berkekuatan Hukum Tetap inilah yang memungkinkan warga negara dapat mengajukan Sengketa Informasi kepada Komisi Informasi maupun Gugatan Sengketa Informasi kepada PTUN atau PN agar didapatkan status Berkekuatan Hukum Tetap. Baik Berkuatan Hukum Tetap dengan dikukuhkannya status Dikecualikan atau dibatalkannya status Dikecualikan. Manapun yang Berkekuatan Hukum Tetap wajib ditaati dan dilaksanakan oleh Para Pihak dan mengikat bagi seluruh orang atau Badan yang memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) sebagai Pemohon Informasi maupun bagi Badan Publik, sepanjang bukan Putusan atas dasar hasil Mediasi.
Ada 2 (dua) makna Berkekuatan Hukum Tetap dalam penyelesaian sengketa informasi.
Makna Pertama, Berkekuatan Hukum Tetap bagi Para Pihak yang bersengketa saja.
Putusan Majelis Komisioner yang didasarkan pada hasil kesepakatan Para Pihak dalam proses Mediasi penyelesaian sengketa informasi adalah contoh Putusan yang tidak saja Berkekuatan Hukum namun juga bersifat final (Berkekuatan Hukum Tetal) bagi Para Pihak namun tidak bagi pihak lain diluar Para Pihak yang bersengketa. Artinya disini adalah Para Pihak tidak dapat mengajukan Gugatan Sengketa Informasi ke PTUN atau PN atas Putusan ini. Dan juga bermakna Pemohon tidak bisa lagi di kemudian hari mengajukan Sengketa Informasi atas informasi a quo kepada Badan Publik yang menjadi Pihak dalam sengketa informasi a quo.
Makna Kedua, Berkekuatan Hukum Tetap disamping bagi Para Pihak yang bersengketa juga bagi bagi status informasi yang mengikat setiap orang atau badan yang memeiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Informasi dikemudian hari dan Badan Publik.
Pada setiap tahapan Penyelesaian Sengketa Informasi dapat melahirkan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap.
Tidak adanya Para Pihak yang mengajukan Gugatan Sengketa Informasi ke PTUN atau PN dalam batas waktu 14 (empat belas hari) sebagimana yang ditentukan peraturan perundang undangan maka Putusan Majelis Komisioner Komisi Informasi atas Sengketa Informasi memiliki Kekuatan Hukum Tetap (mengikat dan final). Sehingga bisa diproses pelaksanaan eksekusi.
Demikian juga dalam hal ada Para Pihak yang mengajukan Gugatan Sengketa Informasi ke PTUN atau PN maka Putusan PTUN atau PN akan memiliki status Berkekuata Hukum Tetap (mengikat dan final) sehingga dapat diproses pelaksanaan eksekusi ketika tidak adanya Para Pihak yang mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung atas sebuah sengketa informasi bersifat final dan mengikat artinya Berkuatan Hukum Mengikat semenjak dibacakan oleh Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung. Apapun Putusan Kasasi Mahkmah Agung wajib dilaksanakan Para Pihak, baik Putusan Kasasi tersebut mengukuhkan informasi a quo sebagai informasi yang Dikecualikan ataupun membatalkan informasi a quo sebagai informasi yang Dikecualikan sehingga menjadi informasi terbuka, ataupun Putusan lain dari Majelis Kasasi Mahkamah Agung, misal terbuka sebagian. Tidak ada upaya hukum lagi dalam Sengketa Informasi setelah Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung.
Atas Putusan yang telah bersifat mengikat dan final, Berkekuatan Hukum Tetap, dapat diajukan permohonan Penetapan Eksekusi kepada Ketua PTUN atau Ketua PN diwilayah kewenangan PTUN atau PN dimana sengketa informasi terjadi. Untuk selanjutnya dilaksanakan proses eksekusi berdasarkan Penetapan Eksekusi oleh PTUN atau PN.
Pidana dan Perdata Atas Sengketa Informasi
Pidana atas Sengketa Informasi dapat timbul jika Para Pihak melakukan pelanggaran atas Putusan sengketa informasi yang sudah memiliki Kekuatan Hukum Mengikat. Badan Publik yang tidak melaksanakan Putusan atau warga negara
yang mengunakan informasi publik tidak sebagaimana Putusan dapat diproses pidana mapun perdata.
Proses Pidana diproses oleh penegak hukum namun merupakan delik aduan, sehingga proses pidana baru bisa dilaksanakan oleh penegak hukum bila ada aduan atau laporan kepada penegak hukum atas adanya dugaan pelanggaran pidana. Putusan yang sudah Berkekuatan Hukum merupakan bukti dalam pembuatan Laporan Polisi. Sementara proses perdata dengan memgajukan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri.
Dibukanya peluang proses pidana dan perdata ini semata-mata agar tidak ada orang atau lembaga yang menganggap remeh hak atas informasi ini. Agar setiap orang atau lembaga bersungguh-sungguh menegakan hak azazi dan hak konstitusinal warga negara atas informasi. Agar ada jaminan terlindunginya dengan baik hak azazi dan hak konstitusional warga negara mengakses, mendapatkan, mengolah, menyimpan, menggunakan, menyebarluaskan informasi untuk pengembangan diri dan lingkungannya sebagai bentuk pelibatan dan partisipasi warga negara dalam mengelola dan membangun bangsa dan negara tercinta, Indonesia.
Penutup
Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan penjelasan bagaimana hak atas informasi sebagai hak azazi dan hak konstitusinal. Hak yang tidak saja demi kepentingan warga negara itu sendiri namun jauh lebih dari itu, demi kepentingan membangun Indonesia yang besar, Indonesia yang jaya, Indonesia yang kuat, Indoneaia yang maju sebagai warisan terbaik untuk generasi mendatang, anak cucu kita, insya Allah.