Oleh : Asyari Usman
Bisa dipahami tujuan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ketika dia mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah akan melakukan afirmasi (pembelaan) untuk orang Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Tujuannya ialah untuk menyenangkan mereka. Agar mereka bisa leluasa mendakwahkan ajaran sesat, dan agar mereka terlindungi dalam memperkuat kegiatan untuk mencelakan umat.
Itu tujuan Yaqut. Mungkin tujuan ini dianggap “mulia” oleh Pak Menteri. Tetapi, Pak Yaqut lupa bahwa pernyataan terbuka seperti itu malah akan membuat orang Syiah dan Ahmadiyah menjadi susah.
Mengapa menyusahkan? Karena dengan pernyataan tentang afirmasi itu, Pak Yaqut membangunkan umat Islam. Umat tersentak melihat bahaya penyesatan aqidah yang bakal dilakukan orang Syiah dan Ahmadiyah. Umat Islam akan teringat lagi dengan ancaman kesesatan Syiah dan Ahmadiyah.
Pastilah umat yang sudah sarat dengan berbagai tekanan dan ancaman itu akan melakukan upaya untuk menghadapi keleluasaan baru yang diberikan oleh Pak Menteri kepada Syiah dan Ahmadiyah. Untuk itu, kaum muslimin malah akan berterima kasih kepada Pak Yaqut. Karena beliau telah mengingatkan kembali umat mengenai kegiatan ajaran sesat yang akan semakin leluasa.
Lantas, apakah Pak Yaqut tidak tahu bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) plus NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya sudah menegaskan bahwa kedua sekte itu sesat? Rasanya tidak mungkin. Beliau harusnya tahu. Kalau tidak tahu, tak mungkin soal Syiah dan Ahmadiyah menjadi prioritas kerjanya.
Nah, bagaimana kira-kira reaksi kaum muslimin yang bakal “dipaksa” memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk mendakwahkan ajaran sesat kedua sekte itu? Tampaknya, di tengah situasi yang “pressurizing” (menekan) hari-hari ini, umat akan mencerna dulu tindakan afirmasi versi Yaqut itu. Bisa dibayangkan bahwa umat merasa Pak Yaqut melakukan ‘fait accompli’ agar kaum muslimin menerima ajaran sesat.
Pak Menteri tentu ingin menunjukkan kepada boss beliau bahwa sekte Syiah dan Ahmadiyah bisa “diterima” kaum muslimin. Yaqut berjanji akan memfasilitasi dialog intensif agar kedua sekte itu “dipahami” umat. Tetapi, Pak Menag mestinya ingat bahwa kesesatan Syiah dan Ahmadiyah bukan isu perbedaan (khilafiyah) di internal ahlussunah wal jamaah.
Perbedaan itu sangat fundamental. Yaitu soal rukun iman. Yang tidak akan pernah bisa diharmonisasikan di satu ruangan. Tidak mungkin bisa paralel karena persoalannya senantiasa frontal. Tetapi, kalau sekadar mempertemukan kedua pihak dalam bingkai kemanusiaan, masih mungkin dilakukan.
Pak Menag bisa memprakarsai dialog yang bersisi kemanusiaan. Sebagaimana dialog umat Islam dengan umat-umat agama lainnya. Tidak ada masalah.
Namun, untuk mendapatkan pengakuan dari umat bahwa Syiah dan Ahmadiyah adalah bagian dari Islam yang berpedoman pada al-Quran dan Hadith, boleh dikatakan mustahil. Sebab, kedua pihak sebenarnya sudah paham tentang perbedaan yang mendasar itu. Sudah berlangsung ratusan tahun.
Jadi, lebih baik Pak Menteri tidak usah mengutak-atik isu ini agar kaum muslimin menerima kesesatan kedua ajaran tsb. Upaya beliau malah akan merepotkan semua pihak.
25 Desember 2020
(Penulis wartawan senior)