Dalam waktu sepekan yang lalu situasi politik dalam negeri menghangat seiring terjadinya aksi-aksi mahasiswa, pelajar, dan rakyat dalam skala masif, dari ibukota negara sampai ke daerah-daerah. Aksi-kasi ini langsung menohok pada ketidakbecusan pemerintah maupun DPR dalam menangani persoalan-persoalan rakyat serta penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan. Kita seperti menyaksikan warna oposisi yang berbeda dibandingkan yang beberapa tahun terakhir muncul dalam nuansa konservatisme agama.

Bila mencermati tuntutan-tuntutan dalam rangkaian aksi massa tersebut maka akan menemukan sejumlah isu, di antaranya: pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, sejumlah pasal bermasalah dalam RKUHP, persoalan asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan, persoalan kekerasan di Papua, penolakan pada RUU Pertanahan, RUU Minerba, rencana revisi UU Ketenagakerjaan, kenaikan iuran BPJS, dan lain sebagainya.

Skala dan daya tahan (militansi) dari aksi-aksi ini cukup mengejutkan banyak pihak, terutama dari pihak pemerintah dan lapisan pendukung fanatiknya, yang segera melayangkan aneka tuduhan pada arus perlawanan ini. Namun tuduhan bahwa aksi massa ditunggangi oleh kepentingan elit atau kekuatan politik tertentu tidak dapat menjelaskan mengapa respon massa sedemikian antusias, dan relatif mendapat dukungan serta simpati yang luas (setidaknya di sampai tanggal 24 September). Untuk itu penting bagi kita memeriksa latar belakang ekonomi, politik, dan sosiologis dari rangkaian aksi tersebut.

Baca Juga

Perekonomian global

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) vs Tiongkok menjadi latar belakang yang mempengaruhi perekonomian global secara keseluruhan. Sejak naik ke kekuasaan, Donald Trump telah mengambil langkah-langkah proteksi terhadap perekonomian AS melalui berbagai cara. Dua langkah proteksi yang paling signifikan adalah keluarnya AS dari Trans Pasific Partnership (TPP) dan dimulainya perang dagang dengan Tiongkok.

Trump, yang memulai perang dagang ini pertengahan 2018, menuduh Tiongkok telah melakukan praktek perdagangan yang curang serta mencuri hak kekayaan intelektual dari AS. Memang dalam beberapa tahun terakhir AS mengalami defisit perdagangan dengan China. Sebagai gambaran, di tahun 2018 saja nilai impor AS dari China tercatat sejumlah 539,5 miliar USD. Sementara impor China dari AS tercatat hanya 120,3 miliar USD. Artinya terdapat defisit sebesar 419,2 miliar USD.

Tapi apakah benar persoalan ini yang menjadi dasar dari keputusan perang dagang? Seorang pejabat dinas perdagangan India, Ajay Srivastava, melihat dua alasan. Pertama, keinginan AS untuk memperbaiki status USD sebagai cadangan devisa yang digunakan dalam perdagangan dunia. Ketika negara lain harus mengekspor untuk mendapatkan dolar, AS cukup mencetak uang untuk membeli apa saja. Ia tidak perlu khawatir pada inflasi, karena uang yang dicetaknya terserap ke seluruh dunia. Srivastava mengatakan ini sebagai alasan utama dari perang dagang. Sedangkan alasan kedua adalah ambisi AS untuk mempertahankan dominasinya dalam bidang hi-tech.[i] Ambisi AS untuk mempertahankan dominasi di bidang hi-tech ini telah diulas juga oleh banyak pakar lain.
Pada intinya, AS melihat China sebagai ancaman yang diproyeksikan akan menggantikannya sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia di tahun 2035.[ii] Perang dagang dimaksudkan untuk melambatkan perkembangan China, dan menguatkan kembali dominasi AS di kancah global. Kurang lebih sesuai dengan slogan kampanye Trump: “Make America Great Again!”

Bersamaan dengan perang dagang tersebut, beberapa negara mulai menghadapi persoalan pelambatan ekonomi. Perang dagang secara pasti menyeret ekonomi negara-negara tersebut ke jurang resesi. Tercatat negara-negara Jerman, Inggris, Hongkong dan Singapura yang sudah bersiap menghadapi resesi. Sementara Italia sudah ‘terjun bebas’ ketika di akhir tahun 2018 pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi 0,2%.

Perekonomian Nasional

Indonesia tidak kebal terhadap situasi melambatnya ekonomi global.[1] Ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir tidak terjadi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi pun terus mengalami koreksi, dari ambisi Jokowi untuk mencapai di atas 7%[2] pada akhir 2019 menjadi hanya 5,1% dalam kenyataannya. Upaya pemerintah untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan daya beli rakyat melalui proyek-proyek infrastruktur bisa menjadi stimulus, tapi tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan dimaksud. Mennaker, Hanif Dakiri, mengatakan 230 ribu tenaga kerja terserap ke dalam 246 proyek infrastruktur.

Menghadapi situasi ini, pada tataran elit politik telah mencapai konsensus bahwa investasi asing merupakan satu-satunya solusi yang paling mujarab. Tapi solusi ini tampaknya belum menunjukkan hasil. Peluang bagi masuknya investasi asing bukan karena adanya pertumbuhan ekonomi dunia, melainkan karena perang dagang AS-China, yang telah memaksa sejumlah perusahaan China untuk merelokasi industrinya, atau perusahaan AS yang mencari produsen baru di luar China. Tapi dalam kasus ini Indonesia belum menjadi negara tujuan. Bank Dunia menyebutkan selama terjadinya perang dagang China telah merelokasi 33 industrinya, 23 ke Vietnam, 10 menyebar ke berbagai negara Asia Tenggara, sedangkan Indonesia tidak kebagian.

Pertumbuhan realisasi investasi asing (Foreign Direct Investment atau FDI) mencatat presentase minus sejak kuartal kedua 2018 yaitu -12,92%, pada kuartal ketiga -20,23%, dan kuartal keempat -11,61%. Pada tahun 2019 tercatat angka yang lebih baik yaitu -0,92% pada kuartal pertama dan 9,61% pada kuartal kedua. Namun pertumbuhan pada kuartal kedua ini pun disertai dengan catatan kritis karena adanya low-base-effect, yaitu pertumbuhan kuartal kedua tahun ini yang dibandingkan dengan kuartal kedua tahun 2018 yang sangat rendah. Selain itu, bila menggunakan ukuran USD maka sesungguhnya FDI mengalami kontraksi dari 7,14 miliar USD menjadi 6,99 miliar USD. Tampak ada peningkatan hanya karena nilai rupiah merosot dibandingkan USD dari Rp. 13,950/USD di kuartal kedua 2018 menjadi Rp. 14,247/USD di kuartal kedua 2019.[iii]
Pemerintah, IMF, Bank Dunia, maupun pendapat umum di kelas menengah, melihat persoalan ini sebagai kelemahan yang harus diatasi dengan melakukan liberalisasi yang lebih luas, seperti mempermudah ijin investasi, insentif pajak, menjamin ketersediaan lahan, stabilitas sosial dan politik, serta menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.

Padahal, dalam sudut pandang yang lain, upaya menarik investasi ini telah dibayar mahal oleh rakyat. Pertama, pemerintah dan DPR telah menggagas dan menerapkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, seperti: RUU Pertanahan, rencana revisi UU Ketenagakerjaan, RUU Minerba, dan pengesahan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Bahkan revisi UU KPK sendiri pun dihubungkan dengan kemudahan investasi sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pejabat istana kepresidenan. Kedua, ‘demokrasi iliberal’, atau demokrasi semu, yang diterapkan dengan indikasi pembatasan hak-hak sipil serta represifitas aparat yang meningkat baik dalam menghadapi konflik-konflik ekonomi politik rakyat maupun menghadapi aksi-aksi masa baru-baru ini. Dalam hal ini stabilitas politik dimaknai secara dangkal untuk kepentingan investasi semata, sehingga hukum (baik pada tataran konsep maupun pelaksanaannya) menjadi tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Bila dibandingkan dengan investasi asing, investasi dalam negeri justru mengalami peningkatan yang lebih signifikan selama tahun 2018. Demikian juga tahun 2019, ketika PMA mulai mencatatkan pertumbuhan plus, presentase realisasi PMDN masih lebih tinggi. Selama semester I (Januari-Juni) 2019 PMDN tercatat sebesar Rp 182,8 triliun (naik 16,4%), sedangkan realisasi PMA sebesar Rp 212,8 triliun (naik 4,0%). Penting untuk dicatat bahwa peningkatan investasi dalam negeri (PMDN) paling besar adalah di sektor infrastruktur dan konstruksi. Artinya di sini ada peran belanja modal negara melalui APBN dan BUMN untuk menalangi proyek-proyek infrastruktur, baik dengan pembiayaan yang bersumber dari utang maupun pajak.

Penting juga dicatat bahwa meskipun mengalami penurunan, jumlah realisasi PMA masih lebih besar dibandingkan PMDN. Hal ini berlangsung sudah sejak lama, sehingga menjadi semacam kepercayaan bahwa modal asing lah yang lebih dapat diandalkan ketimbang modal dalam negeri.

Sementara investasi yang diandalkan belum menghasilkan pertumbuhan yang menggembirakan, dalam jangka pendek pemerintah harus mengatasi persoalan defisit anggaran yang kian melebar. Tiga kebijakan yang langsung dirasakan oleh rakyat sebagai akibat dari defisit ini adalah rencana kenaikan iuran BPJS, kenaikan cukai tembakau, serta kenaikan tarif dasar listrik 900 watt.

Harapan Pada Masa Depan?

Mengapa gambaran tentang ekonomi kali ini lebih difokuskan pada persoalan investasi? Karena di sini lah sandaran utama pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang lain, seperti memacu pertumbuhan ekonomi, mengatasi defisit anggaran lewat penerimaan pajak, defisit neraca perdagangan, mengatasi kemiskinan serta pengangguran, dan lain-lain. Ketika investasi belum terjadi, atau terjadi dalam batas yang minimal, maka persoalan-persoalan ekonomi lain pun mengalami kemandegan.

Sementara, secara sosiologis, realisasi investasi bukanlah (semata-mata) bermakna penyelesaian persoalan sosial yang dihadapi. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya; investasi mendatangkan bencana, baik dalam bentuk perampasan lahan, perubahan lingkungan sosial, sampai dengan tekanan kehidupan yang lebih terkomersialisasi dan berbiaya tinggi. Penetrasi kapital dalam iklim liberal (persaingan bebas) juga memakan korban lapisan-lapisan sosial yang ‘dikalahkan’, baik dari kalangan borjuis kecil maupun pekerja. Dalam situasi ini keresahan sosial menjadi sesuatu yang terus hidup, terlebih ketika dibenturkan dengan realitas politik yang tidak menunjukkan perhatian serta empati elit pada persoalan rakyat, atau sibuk pada agenda-agenda mereka sendiri.

Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5% di negara berkembang tidak mampu mengeluarkan negara tersebut dari apa yang dinamakan middle income trap (jebakan negara penghasilan menengah). Artinya, negeri ini akan mengalami stagnasi dalam pembangunan dan pemajuan ekonomi serta bidang-bidang sosial lainnya. Dengan demikian angka pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi dalam tiga kuartal terakhir telah memperparah kekhawatiran. Benar, rakyat tidak melihat angka-angka yang disajikan BPS, tapi jelas melihat realitas sulitnya memperoleh pekerjaan, atau yang sudah mendapatkan pekerjaan tidak dapat menjamin kesejahteraan atau jaminan hidup di masa yang akan datang. Angkatan-angkatan kerja yang baru akan lulus dari pendidikan tinggi maupun menengah sudah melihat kesuraman itu. Sepanjang situasi ekonomi tidak mengalami resesi, tapi juga tidak mengalami pertumbuhan yang berarti, maka keadaan akan sama seperti yang kita lihat saat ini. Janji-janji perbaikan hanya menjadi omong kosong semata.

Persoalan-persoalan yang mencuat sebagai isu nasional seperti kebakaran hutan dan lahan, rasisme serta kekerasan di Papua, dan konflik-konflik struktural yang terjadi secara berkesinambungan telah berakumulasi sebagai gelembung kekecewaan yang kemudian pecah ketika dipicu oleh isu KPK, KUHP, serta sederet RUU bermasalah.

Konstelasi Politik

• Konstelasi Elit

Selain konsensus politik elit yang ditandai dengan pertemuan antara Joko Widodo dengan mantan pesaingnya Prabowo Subianto, politik elit juga ditandai dengan kontradiksi-kontradiksi terutama dalam mengamankan posisi mereka dalam kekuasaan.

Pertemuan antara Jokowi dengan Prabowo (yang dilanjutkan dengan pertemuan Megawati dan Prabowo) dipandang sebagai indikasi akan diakomodirnya kepentingan Prabowo dalam pemerintahan Jokowi – Ma’aruf Amin. Hal ini dilihat sebagai ancaman oleh beberapa kelompok. Di kubu Jokowi, kelompok Surya Paloh yang paling menampakkan rasa tidak senang dengan pertemuan tersebut dengan melakukan manuver mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden di 2024. Sementara di kubu Prabowo, PKS tampaknya mulai merasa akan ditinggal sendiri sebagai oposisi.

Konstelasi ‘final’ dari pergesekan-pergesekan yang terjadi saat ini akan tampak setelah pembentukan kabinet pasca pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2019 yang akan datang. Tentu saja belum bisa dikatakan benar-benar final karena masih akan ada dinamika dan saling memasang posisi tawar di antara partai-partai yang ada.

Di luar konstelasi elit partai, kalangan tentara (khususnya Angkatan Darat) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap dianak-emaskannya institusi kepolisian dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.

• Konstelasi Gerakan

Gerakan massa terjadi sejak terjadinya revisi UU KPK ditandatangani oleh Presiden dan kemudian berakumulasi menjadi semakin membesar seiring dengan masuknya isu RKUHP. Beberapa isu ekonomi terkait perundang-undangan (Pertanahan, Ketenagakerjaan, dan Minerba) baru muncul belakangan dengan kemampuan menggerakkan atau skala mobilisasi yang relatif kecil. Meski demikian keresahan umum yang terjadi adalah keresahan sosial-ekonomi yang berakumulasi dengan kekecewaan politik pada pemerintah dan DPR.

Dengan sejumlah keterbatasan data, kita dapat memetakan dan menganalisa keterlibatan spektrum politik yang terlibat dalam aksi-aksi kemarin, sebagai berikut:

Bila mengamati dua isu utama yang menggerakkan massa (korupsi dan kebebasan sipil) maka tampak bahwa spektrum ideologi-politik yang menggerakkannya adalah kelompok liberal atau liberal progresif. Unsur-unsur politik peninggalan PSI (Partai Sosialis Indonesia) memainkan peran yang signifikan sejak awal, baik dengan memobilisasi media maupun dengan melakukan pendekatan terhadap akademisi atau dunia kampus.

Selain spektrum liberal, mobilisasi atas dasar isu RKUHP juga digerakkan oleh unsur-unsur anarko-sindikalis dan libertarian (SJW) dengan memanfaatkan media sosial sebagai instrumen dominannya. Pengorganisiran underground yang dilakukan anarko-sindikalis meliputi pelajar, sebagian mahasiswa, serta individu-individu ‘bebas’ yang tidak berafiliasi ke organisasi tertentu. Persoalan Papua yang juga muncul dalam tuntutan mahasiswa juga berasal dari unsur-unsur ini yang didukung oleh unsur liberal-progresif yang bergiat di LSM-LSM.
Dari pengamatan atas media massa, kita bisa melihat intensitas dari dua media yang relatif berpengaruh yang mencerminkan ideologi-politik dari kedua spektrum di atas yaitu: Tempo sebagai representasi kelompok liberal, dan Tirto sebagai representasi anarko-sindikalis serta libertarian. Kedua media ini yang paling getol membela aksi-aksi mahasiswa dan rakyat selama satu minggu ke belakang. Beberapa media yang kritis terhadap persoalan KPK seperti Kompas, seperti biasa, lebih berhati-hati mengambil posisi.

Spektrum ideologi-politik lain yang bergerak adalah konservatif, terutama yang berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun masih meng-influence beberapa BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang cukup berpengaruh, namun dalam hal muatan isu mereka tidak memaksakan tuntutan-tuntutan konservatif atau sektarian untuk diakomodasi dalam aksi-aksi. Sebaliknya, mereka hanya turut andil dalam meningkatkan ekskalasi perlawanan sembari mengintip kesempatan untuk menaikkan posisi tawar mereka.

Baru di hari-hari akhir, ketika gerakan semakin masif, unsur kerakyatan dari buruh, tani dan kaum miskin kota melakukan intervensi dengan memasukkan beberapa isu tuntutan ekonomis. Kehadiran unsur ini berhasil memberi nuansa ideologis yang lebih kerakyatan. Meskipun kemudian muncul isu gugatan terhadap kekuasaan oligarki yang sebenarnya kurang tepat diklasifikasikan sebagai musuh utama ketika kita masih berada dalam garis politik persatuan nasional melawan imperialisme. Karena di dalam oligarki itu sendiri terdapat unsur borjuis nasional yang berpotensi diajak bekerjasama.

Beberapa hari terakhir gerakan massa telah menurun. Keberhasilan penguasa untuk memecah belah gerakan mahasiswa merupakan salah satu faktor penyebab. Penggembosan juga dilakukan oleh para pendukung fanatik dari pemerintah yang menggunakan segala cara untuk memfitnah maupun mendiskreditkan aksi-aksi mahasiswa dan pelajar. Selain itu, ada beberapa faktor lain, seperti janji pemerintah untuk menunda pembahasan beberapa RUU, janji untuk kemungkinan mengeluarkan Perpu KPK, serta bergantinya anggota DPR yang dianggap tidak turut bertanggungjawab juga turut menyurutkan eskalasi.

Arah Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo
Seperti disebutkan di atas, arah kebijakan pemerintah masih akan mengabdi pada investasi (terutama asing) sebagai andalannya. Pemerintah akan melakukan segala cara untuk memuluskan investasi. Seandainya ia memiliki slogan, maka rejim ini akan berseru: “Investasi adalah Panglima!”

Untuk mengamankan kepentingan investasi tersebut, selain melakukan deregulasi di bidang ekonomi, pemerintah juga akan menjamin stabilitas sosial dan politik. Dalam hal ini, telah muncul gejala bahwa institusi kepolisian masih akan kebagian peran yang besar. Perilaku represif serta praktek rekayasa untuk memastikan stabilitas akan menjadi pola sebagaimana ditunjukkan dalam respon mereka terhadap aksi-aksi massa terakhir.

Posisi Politik
1. Kader-kader Partai melalui ormas-ormas sekawan telah terlibat mendukung atau melakukan intervensi dalam rangkaian aksi massa baik di Jakarta maupun di sejumlah daerah. Sikap ini tepat dalam pengertian sebagai berikut: 1) aksi-aksi ini merupakan respon demokratik terhadap upaya pengekangan hak-hak sipil dan telah merepresentasikan keresahan sosial yang meluas seiring penetrasi kapitalisme neoliberal. Ini merupakan perkembangan yang positif mengingat narasi kanan konservatif selama beberapa terakhir tahun telah mendominasi aksi massa-aksi massa; 2) keterlibatan kader-kader Partai dan unsur-unsur kerakyatan telah memberikan imbuhan isu tuntutan yang lebih menyentuh persoalan-persoalan mendasar rakyat.

2. Meski mengapresiasi dan mendukung gerakan massa yang sempat mendelegitimasi institusi-institusi politik eksekutif maupun legislatiftersebut, sikap politik Partai terhadap pemerintahan Joko Widodo belum berubah dari sebelumnya. Partai tidak mengekang diri untuk melakukan kritik ataupun perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat, tapi juga akan secara obyektif mendorong pemerintah untuk menjalankan program-program pro-kemandirian nasional dan pro-rakyat

.
3. Dalam konteks tersebut slogan “Bangun persatuan nasional, wujudkan kesejahteraan sosial, dan Menangkan Pancasila” masih relevan untuk digunakan.

Isu Tuntutan
Dalam menghadapi situasi nasional terbaru ini, kita dapat berpegang pada prinsip socio-nasionalisme dan socio-demokrasi sebagai dasar dalam menjabarkan tuntutan-tuntutan politik.

Socio-nasionalisme bermakna kita mengedepankan prinsip kedaulatan nasional terhadap persoalan ekonomi politik nasional, serta prinsip nasionalisme yang berperi-kemanusiaan terhadap persoalan Papua. Sedangkan socio-demokrasi bermakna bahwa kita tidak hanya menuntut adanya demokrasi politik sebagaimana disuarakan oleh spektrum liberal dan anarko + libertarian, tapi juga menuntut adanya demokrasi ekonomi.

Dalam prinsip socio-demokrasi itu juga kita tidak sekedar menyuarakan kebebasan sipil, melainkan juga menuntut partisipasi yang lebih luas dan lebih intens dari rakyat dalam merumuskan persoalan dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Di bawah ini adalah sejumlah isu tuntutan kita:
1. Terhadap tuntutan mahasiswa dan pelajar, perlu ditambahkan tuntutan-tuntutan ekonomis, terutama persoalan kenaikan iuran BPJS, reforma agraria, serta persoalan ketenagakerjaan.

2. Mengatasi persoalan investasi, agar pemerintah tidak bergantung pada modal asing melainkan harus mengkonsolidasikan modal nasional (BUMN, swasta nasional, dan koperasi) untuk melakukan investasi produksi terutama di sektor-sektor yang paling potensial dan paling dibutuhkan oleh rakyat.

3. Sehubungan dengan poin di atas, maka industrialisasi nasional harus menjadi prioritas perhatian pemerintah. Peta jalan untuk industrialisasi nasional ini harus berhulu pada sektor pertanian, kelautan, serta industri ekstraktif.
4. Mengatasi defisit anggaran, pemerintah harus berani melakukan renegosiasi pembayaran utang luar negeri, serta memberlakukan pajak progresif (PPh), terutama untuk setiap individu berpenghasilan di atas 1 miliar rupiah dengan besaran pajak lebih dari 50%.

5. Menghadapi situasi melambatnya perekonomian, pemerintah agar tidak mengambil langkah-langkah yang merugikan rakyat demi mengundang investor. Sebaliknya, harus ada formula untuk melibatkan rakyat (partisipasi/gotong royong) dalam membicarakan persoalan dan merumuskan berbagai jalan keluar dari persoalan nasional yang dihadapi.

Catatan redaksi: artikel ini merupakan materi Situasi Nasional per Oktober 2019 yang dikeluarkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)