Oleh: Pierre Suteki
A. Pengantar
Miris membaca berita tentang masih adanya upaya “persekusi” terhadap tokoh dan ajaran Islam di negeri yang mayoritas muslim dan telah berusia ke-75 tahun ini. Boleh jadi peristiwa ini akibat kita kurang mengutamakan fitrah kita sebagai manusia untuk menggunakan pertimbangan akal sehat kita. Oleh karena itu, literasi perlu terus ditingkatkan melalu diskursus-diskursus ilmiah dalam rangka menemukan “kebenaran”. Melalui artikel “singkat” ini, saya hendak membuka diskursus tentang negara hukum, ideologi dan sistem pemerintahan. Mungkin bagi sebagian Anda akan merasa gerah, tetapi sebuah diskursus mesti dihadapi dengan diskursus pula. Berpikir jernih adalah kuncinya. Seandainya ada kritik, itu mesti dianggap sebagai cara seseorang atau kelompok orang untuk turut membangun, bukan ditempatkan sebagai “enemy”, bukan musuh yang harus disingkirkan dan diperangi melainkan mitra membangun bangsa dan negara.
Pembacaan secara benar tentang khilafah dan relasinya dengan Pancasila perlu terus ditngkatkan agar beberapa peristiwa “persekusi” terhadap tokoh dan penodaan terhadap ajaran suci Islam tidak dilakukan oleh pihak lain atau bahkan oleh umat Islam yang mengidap Islamophobia. Apa yang tersimak dalam peristiwa “persekusi” terhadap ustadz dan madrasah yang dinilai menyebarkan “ideologi HTI”, menyebarkan “ideologi khilafah” di Bangil Pasuruan Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus 2020 ini harus menjadi pelajaran bersama.
Apa sebenarnya yang menimpa umat ini? Mengapa sesama muslim tidak saling berlaku lembut? Saling menasihati dengan cara ma’ruf dan hikmah lebih baik dari pada hardikan. Jika ada dugaan kesalahan lebih baik tidak main hakim sendiri. Malu kita, sudah 75 tahun merdeka tetapi kedewasaan kita ternyata tidak beranjak juga. Mengapa kita tidak juga memahami dengan benar tentang positioning Pancasila dan Agama, khususnya agama Islam yang secara historis turut membidani lahirnya Pancasila. Lalu mengapa kita menghadap-hadapkan bahkan membenturkannya?
B. Apakah mungkin Pancasila perang melawan Khilafah?
Santer terdengar berita bahwa di kancah pemilu 2019 lalu yang terjadi adalah peperangan antara dua ideologi, yaitu Pancasila versus Khilafah. Demikian pernah ditegaskan oleh Mantan Kepala BIN Hendro Priyono. Bila berita itu benar, maka opini itu termasuk opini yang kurang tepat. Mana mungkin PANCASILA PERANG MELAWAN KHILAFAH? Itu tidak akan terjadi karena peperangan yg terjadi tidak secara APPLE TO APPLE.
Kedudukan dan Fungsi Pancasila bisa beragam tergantung dimanfaatkan dalam bidang kehidupan apa. Ada 4 Bidang Kehidupan (BK) yang diatur, yaitu:
1. BK Bermasyarakat, kedudukannya sebagai WAY OF LIFE, fungsinya untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan wujud normanya berupa norma MORAL SOSIAL.
2. BK Berbangsa, kedudukannya sebagai IDEOLOGI BANGSA, fungsinya menyatukan keragaman, wujud normanya berupa norma PERJUANGAN.
3. BK Bernegara, kedudukannya sebagai DASAR NEGARA, fungsinya mengatur tata kehidupan berpemerintahan, wujud normanya berupa norma HUKUM.
4. BK Mondial, kedudukannya sebagai The Margin of Appreciation, fungsinya untuk menyaring nilai mondial, wujud normanya berupa nilai universal dinamis.
Secara historis Pancasila dapat disebut sebagai The Great Anthropological Document of Indonesian Morality. Pancasila merupakan dokumen moral bangsa Indonesia yang disarikan (kristalisasi) dari nilai puncak-puncak peradaban penduduk Indonesia, baik dari sisi suku, agama, ras dan aliran-aliran yang telah tumbuh dan berkembang sepanjang masa. Sebagai dokumen moral, sila-sila Pancasila sebenarnya berkedudukan sebagai PRECEPT, yakni ajaran yang bersifat imperatif kategoris atau perintah moral yang tidak dapat ditawar-tawar.
Terkait dengan perbandingan antara khilafah dan Pancasila, bisa dinyatakan bahwa PANCASILA ITU ADA DI TATARAN IDEOLOGIS sedangkan KHILAFAH ITU ADA DI DATARAN TEKNIS”. Kalau mau apple to apple mestinya begini: “IDEOLOGI PANCASILA PERANG MELAWAN IDEOLOGI ISLAM atau SISTEM DEMOKRASI PERANG MELAWAN SISTEM KHILAFAH”.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945—ada juga yang menyebut UUD 2002—-, kita negara hukum, bila ada persoalan hukum sebaiknya ditempuh dengan CARA BERHUKUM yang baik. Tunjukkan bahwa NEGARA ini benar-benar mengimplementasi-kan NILAI-NILAI PANCASILA. Dialog penting untuk dilakukan, untuk saling bertabayun dan mengambil cara terbaik. Negara bertugas MERANGKUL bukan MEMUKUL. Kita hindari main hakim sendiri (eigenrichting) alias vandalisme.
Logika yang seharusnya diutamakan adalah penempatan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur. Bukan sebagai sosok (jizim) yang disembah laksana berhala. Coba diperinci satu per satu, mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan, apakah ada sifat nilai itu yang universal? Lalu kita uji apakah nilai-nilai Pancasila itu bertentangan dengan Islam? Jawabnya tentu tidak. Islam secara agama itu luas seperti sistem hidup dan kehidupan, baik di dunia maupun di akherat. Secara historis maka terbukti bahwa Pancasila itu sebagai HADIAH AGUNG umat Islam karena telah LEGOWO menerima PANCASILA sebagai ideologi berbangsa padahal semula umat Islam itu menghendaki dasar negara adalah AGAMA ISLAM.
Jadi berdasar logika ini mana mungkin umat Islam hendak membunuh “anak peradaban”-nya sendiri dalam kehidupan bermuamalah. Persoalan umat Islam meyakini dan oleh karenanya mendakwahkan khilafah ke tengah umat Islam sendiri adalah bukan perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dipersekusi apalagi ditindas. Yang penting dalam penyebaran pokok peradaban Islam itu tidak ada unsur PEMAKSAAN dan KEKERASAN. Tidak ada PAPARAN RADIKALISME. Hal ini dijamin oleh konstitusi kita khususnya dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 E. Lalu mengapa “pengusung” dan pengguna sistem pemerintahan khilafah dikejar dan distempeli anti NKRI dan PANCASILA? Ini negara demokrasi bukan? Keragaman atau pluralisme harus dijunjung tinggi bukan?
Apakah tidak mungkin justru kita perlu duduk bersama berwacana, berdialog dan membuat pemikiran baru untuk mengatasi berbagai persoalan rumit negara bangsa ini?
Adakah kita pernah berwacana dan berpikir bahwa: “Mungkinkah nilai-nilai Pancasila akan terwujud dalam Sistem Pemerintahan negara khilafah”? Saya ingatkan, hal itu cuma sebatas berwacana yang perlu diuji kebenaran.
C. Posisi Khilafah di Negara Hukum Indonesia
Perihal bagaimana posisi khilafah dalam negara hukum Indonesia terkait dengan situasi politik sekarang ini, dapat dipahami dengan menyimak Tausyiah negarawan berikut ini terkait dengan situasi yang memanas menjelang Pemilu 2019 dulu. Sesuai Taushiyah Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno Ke-37, 28 Maret 2019 disampaikan himbauan sebagai berikut:
1. Sebaiknya kedua kubu Paslon Presiden-Wapres menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah, karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif (menjelekkan).
2. Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Qur’an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh).
3. Mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan memperten-tangkan Negara Islam dengan Negara Pancasila, yang sesungguhnya sudah lama selesai dengan penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam.
4. Menisbatkan sesuatu yang dianggap Anti Pancasila terhadap suatu kelompok adalah labelisasi dan generalisasi (menggebyah-uyah) yang berbahaya dan dapat menciptakan suasana perpecahan di tubuh bangsa.
5. Mengimbau segenap keluarga bangsa agar jangan terpengaruh apalagi terprovokasi dengan pikiran-pikiran yang tidak relevan dan kondusif bagi penciptaan Pemilu/Pilpres damai, berkualitas, berkeadilan, dan berkeadaban.
(Jakarta, 29 Maret 2019, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI)
Jadi, berdasarkan tausyiah di atas alangkah baiknya kita tidak mempertentangkan antara Pancasila dengan khilafah. Upaya ini dapat dilakukan jika kita memahami apa hakikat Pancasila dan apa hakikat khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Kegagalan kita memahami keduanya hanya akan melahirkan kedunguan demi kedunguan yang merusak kesepakatan nasional kita. Satu hal yang penting dipahami, jangan kita merasa takut terhadap sesuatu yang benar yang dapat dipelajari dan diajarkan secara benar serta kebenaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Benar. Buang keraguan terhadap kebenaran itu.
D. Perlu orang berpikir benar, hindari orang yang berpikir keliru.
Beberapa waktu lalu ada acara seminar yang bertajuk: “MEWASPADAI KEBANGKITAN IDEOLOGI KHILAFAH DI TENGAH PANDEMI”. Kegiatan seperti inilah yang berpotensi membuka peluang memecah belah anak bangsa. Khilafah bukan ideologi. Khilafah adalah sistem pemerintahan sebagaimana sistem pemerintahan monarki, demokrasi, oligarki, aristokrasi dan okhlokrasi. Kitab-kitab fikih Islam membahas bab khilafah itu secara khusus. Jadi khilafah itu bagian dari ajaran Islam yang boleh dipelajari, dan boleh didakwahkan.
Menyatakan khilafah sebagai ajaran sesat, apalagi ajaran setan adalah salah satu bentuk PENISTAAN AGAMA yang memenuhi unsur delik sebagaimana diatur di dalam Pasal 156 a KUHP.
Forum apa pun yang membicarakan hukum kekhalifahan harusnya mau bersikap adil, undanglah MUI dan juga alim ulama lainnya yang memahami kedudukan hukum tentang khilafah sebagai ajaran Islam. Jika khilafah adalah ajaran Islam, dan Anda mengatakan bahwa khilafah bertentangan dengan Pancasila, lalu beranikah anda menyatakan bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila?
Soal khilafah ajaran Islam itu belum dianggap sesuai dengan kemauan bangsa Indonesia itu tidak lantas menjadikan khilafah itu sebagai sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan Pancasila dan harus diburu serta dinyatakan sebagai ajaran terlarang. Ini pemikiran yang absurd. Khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila karena memang tidak bisa dibandingkan secara berhadap-hadapan dan bukan perbandingan yang bersifat apple to apple. Berpikirlah yang jernih dalam hal ini.
Anda mungkin akan mengatakan soal khilafah sebagai ajaran Islam karena tidak ada dalam Al Quran sehingga tidak boleh ditegakkan, didakwahkan bahkan dipelajari. Pertanyaan saya, apakah semua ajaran Islam itu mesti harus secara detail disebut dan ada di Quran? Apakah sumber hukum Islam itu hanya Al Quran? Bukan! Ada hadist, ada hasil Ijtihad para ulama yang lebih detail tertuang di dalam kitab-kitab madzab dalam bentuk fikih. Itu juga sumber hukum yang harus diperhatikan oleh umat Islam. Hukumnya bagaimana, kita bisa temukan di kitab-kitab tersebut.
Analog dengan pemikiran serupa, jika ada yang bersikukuh atas bahwa ajaran itu mesti ada di kitab Quran dan sumber hukum lainnya, maka coba kita lihat DEMOKRASI itu ada di kitab mana? Adakah sistem pemerintahan demokrasi disebut dalam Al Quran? Adakah dalam kitab-kitab fikih 4 madzab Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i? Atau kitab-kitab hasil ijtihad para alim ulama? Tunjukkan kepada saya! Saya bisa pastikan yang akan anda temukan adalah kitabnya Aristoteles, John Lock dan Montesque. Mereka ini siapa? Nabi-kah? Ulama-kah? Mujtahid-kah? Lalu, mengapa Anda mati-matian membela agar demokrasi Barat itu dijalankan di negeri yang nota bene mayoritas penduduknya muslim (87.19%)? Sadarkah kita bahwa sebenarnya kita sudah dijajah sistem luar berupa demokrasi Barat itu yang sebenarnya sudah ditentang para founding fathers ketika bicara tentang DASAR NEGARA?
Kita berharap negara ini tidak kekurangan orang yang mampu berpikir jernih dan benar tapi terlalu berlebih orang yang berpikir dengan “kedunguan”. Hal ini disebabkan bernegara tidak cukup dengan ideologi indoktrinasi, tapi bernegara itu butuh berpikir dan bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat. Bagaimana, Anda masih mau mempertentang-kan Khilafah dan Pancasila? Atau malah mau tetap menghadap-hadapkan antara Agama Islam dengan Pancasila? Itu langkah mundur!
Tabik..!!!
Semarang, Setu Kliwon: 22 Agustus 2020
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip)