Oleh : Irma Susanti Irsyadi
Pemerhati bahasa dan budaya, penggiat literasi
Baca Juga

“Mi, taraje itu apa artinya?”
Pertanyaan ini pernah dilontarkan salah satu anak saya saat mengerjakan tugas dari sekolahnya. Taraje yang berarti ‘tangga’ adalah kosa kata bahasa Sunda yang sederhana tapi sudah jarang diketahui oleh anak-anak di era moderen ini. Saya menikah dengan lelaki dari suku Minangkabau, sehingga kami bersepakat untuk memakai bahasa Indonesia di rumah.

Alhasil, setiap kali ada tugas bahasa Sunda dari sekolah, saya harus siap menjawab pertanyaan anak-anak. Saat berbincang dengan ibu-ibu lainnya, kami tertawa karena hampir semua mengalami kasus serupa, menjadi kamus berjalan saat ada pelajaran bahasa Sunda.

Dulu saat masih bersekolah, saya juga terbiasa bertanya pada Nenek setiap kali mendapat tugas mengenai tata bahasa Sunda. Tata bahasa Sunda atau yang dikenal dengan undak usuk basa memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dari bahasa Indonesia, sebab bahasa Sunda memakai patokan kesopanan.

Beruntung saat itu kami juga berlangganan majalah Sunda Manglé, yang menjadi penolong saya untuk bisa memahami dan mempraktikkan bahasa Sunda secara lebih akurat. Beberapa teman di sekolah tidak mengalami hal yang sama, sebab mereka mempraktikkan bahasa Sunda dengan konsisten di rumah. Berbeda dengan keluarga kami, yang meskipun berbahasa Sunda, tapi kami menggunakan ragam bahasa yang lebih santai dan tidak patuh pada aturan kesopanan.

Perkawinan antar suku bangsa yang berbeda adalah salah satu penyebab semakin jarangnya bahasa daerah dipakai di zaman sekarang. Alih-alih memilih satu bahasa daerah dari salah satu pihak, banyak pasangan suami istri yang memutuskan mengajari anak-anak mereka bahasa Indonesia. Ini menyebabkan anak-anak yang lahir setelah tahun 2000-an hanya berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris (dipengaruhi oleh media sosial, tayangan film, musik dan sebagainya). Bahasa daerah semakin lama semakin tergerus. Ia hanya ditemukan pada acara-acara budaya, digunakan di daerah pinggiran dan pedesaan, atau di kalangan usia tertentu.

Penyebab lainnya adalah karena keengganan untuk mempraktikannya, seperti yang terjadi pada keluarga saya di masa kecil. Sebuah keluarga yang berasal dari suku yang sama, tapi para anggotanya lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Biasanya ini lebih karena alasan kepraktisan. Bahasa Indonesia digunakan di sekolah dan lingkungan kerja, sehingga lama kelamaan lingkungan rumah pun menyesuaikan.

Menurut data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, sampai tahun 2019 tercatat ada 11 bahasa daerah yang punah di Indonesia. Kesebelas bahasa tersebut adalah Bahasa Tandia (Papua Barat), Bahasa Mawes (Papua), Bahasa Kajeli/ Kayeli (Maluku), Bahasa Piru (Maluku), Bahasa Moksela (Maluku), Bahasa Palumata (Maluku), Bahasa Ternateno (Maluku Utara), Bahasa Hukumina (Maluku), Bahasa Hoti (Maluku), Bahasa Serua (Maluku), dan Bahasa Nila (Maluku).

Bahasa daerah juga semakin terpinggirkan karena di zaman sekarang, media sosial banyak mengadopsi bahasa Inggris. Hampir semua unggahan di media sosial menggunakannya. Tentu kita semua sangat familiar dengan kata-kata download, upload, timeline, screenshot, dan seterusnya.

Bahasa daerah sudah tidak lagi menjadi bahasa ibu, sebab ia tidak lagi diajarkan sebagai bahasa pertama pada anak. Padahal sepuluh atau dua puluh tahun lalu, bangsa Indonesia dikenal sebagai pengguna bahasa daerah Dengan lebih dari 1300 suku bangsa di Indonesia, masing-masing daerah memiliki bahasanya masing-masing. Akulturasi budaya yang terjadi, juga migrasi antar daerah membuat kedudukan bahasa daerah semakin terlupakan.

PBB mencanangkan 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Ini dilatarbelakangi oleh permintaan salah seorang warga Bengali yang menulis surat pada Kofi Annan (Sekjen PBB pada saat itu) di tahun 1998. Rafiqul Islam, nama orang Bengali tersebut, membuat permohonan pada PBB untuk mengambil langkah demi menyelamatkan bahasa-bahasa dunia dari kepunahan. Bahasa Bengali pernah terancam punah akibat konflik Pakistan Barat dan Timur di tahun 1952.

Tercatat sampai 2019 terdapat 573 bahasa di dunia yang punah. Rata-rata bahasa yang punah adalah bahasa yang hanya digunakan segelintir masyarakat di suatu tempat, hingga tak ada lagi penutur yang menggunakannya. Contohnya, bahasa Bo di pulau Andaman, India. Orang terakhir yang menggunakan bahasa ini adalah Boa Sr, yang meninggal di tahun 2010.

Sepeninggalnya, bahasa Bo juga lenyap.
Bukan tidak mungkin kondisi yang sama akan menimpa salah satu atau banyak bahasa daerah yang kita miliki. Bahasa daerah semakin terpinggirkan dan dianggap bahasa ketiga (setelah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris). Kita membutuhkan banyak penggiat bahasa daerah sebagai motor penggerak sehingga penggunaannya tak sebatas hanya di festival budaya. Kita juga butuh guru-guru kreatif yang bisa mengenalkan bahasa daerah kepada anak dengan cara yang menyenangkan dan tidak membuat bosan.

Di atas segalanya, keluarga-keluarga Indonesia juga perlu mengenalkan bahasa daerah masing-masing kepada anak-anak di rumah. Sebab bahasa bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan menyumbang rasa dan penyokong budaya. Jika kita tidak mulai melestarikan bahasa yang kita miliki, maka siapa lagi?

Selamatkan bahasa daerah, selamat Hari Bahasa Ibu Sedunia.