Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

74 tahun kita sudah Merdeka. Entah mengapa di kepala Jokowi tentang prioritas pemindahan ibukota isu utama pada pidato tahunannya di DPR/DPD RI, 16 Agustus lalu. Padahal persoalan pokok bangsa kita saat ini adalah remuknya rasa persatuan nasional.

Beberapa hari belakangan ini kita dihadapi dengan berbagai isu perpecahan yang sangat potensial menjadi perang saudara. Pertama, adanya kasus “Salib” yang mencuat dengan tuduhan bahwa Ustad Abdul Somad (UAS) menghina agama Kristen/Katolik. Kelompok pemuda dari kawasan NTT melaporkan UAS ke Polda NTT atas tuduhan penghinaan agama. Buzzer Jokowi, Denny Siregar, membuat tulisan mempropagandakan jahatnya UAS dan baiknya seorang Romo/Pastor Katolik dalam tulisannya itu. Ali Assegaf, tokoh utama Syiah di Indonesia, membuat status FB menghina UAS sebagai, gila, Setan dan HTI.

Baca Juga

Pada saat isu Salib ini mencuat, video seorang Pastor/Pendeta mengejek2 agama Islam di sebuah Gereja, menyebar juga dengan cepat. Pendeta itu mengatakan bahwa ajaran Islam adalah ajaran orang2 bodoh ketika di Masjid2 ulama mengutuk Jahudi (dan Nasrani), yang justru menurutnya Jahudilah sumber kemajuan jaman.

Isu kedua, menghampiri Surabaya. Sekelompok pemuda terdiri dari organ Pemuda Pancasila dan FPI mendatangi asrama Mahasiswa Papua. Video serangan pemuda ini dipenuhi yel yel rasis. Pasal awalnya para pemuda ini bereaksi atas isu orang2 Papua itu membuang Bendera Merah Putih ke got/parit.

Masih terkait isu Papua, viral video Sekda Papua terjadi massif. Sekda tersebut meminta masyarakat Papua berdoa tanggal 15 Agustus lalu. Doa tersebut untuk kemakmuran dan keselamatan Papua sebagai tanah Israel.

Isu ketiga adalah radikalisme Islam. Mahfud menuduh TNI kecolongan karena menerima Enzo jadi TNI. Mahfud sebagai petinggi Badan Pancasila, BPIP, mengatakan bahwa Enzo terpapar Radikalisme. Di sisi lain Mahfud menuduh ada pangeran Arab Saudi datang dengan uang jutaan dollar menggerakkan radikalisme di Indonesia.

Isu keempat dalam skala negara, Surya Paloh melakukan “self declaration” bahawa Indonesia bukanlah negara Pancasila. Ketika saat bersamaan, mantan narapidana Ahok menyatakan bahwa orang2 anti Pancasila harus hengkang dari negeri ini, malah Paloh mengatakan Indonesia adalah Negara Kapitalis Liberal. Dibagian lain di Yogyakarta, dua hari lalu, Jusuf Kalla mengatakan membicarakan Pancasila semakin banyak semakin membingungkan. Alias pusing tujuh keliling, Pancasila buat pusing.

Paloh tidak kalah hebat dari Mahfud soal siapa dia. Paloh adalah penyumbang utama kemenangan Jokowi. Baik karena media Metro TV yang terang2an melanggar kaidah netralitas media demi Jokowi, maupun pengaruhnya menggerakan pemerintahan daerah mendukung Jokowi via pengaruhnnya. Jika Jokowi tanpa Paloh, ibarat Jokowi mungkin sudah kalah sebelum bertarung. Jadi pengamatan Paloh, karena posisi kekuasaan dia, bahwa tidak ada Pancasila dalam bernegara, merupakan isu valid dan sentral.

Isu kelima, dalam skala bangsa, Megawati sudah menginisiasi front bersama Prabowo Subianto sebuah isu persatuan nasional. Namun, persatuan “nasi goreng” ini dipersepsikan bukan persatuan sesungguhnya pula, melainkan persatuan politik “kelanjutan perjanjian batu tulis”, yakni penguasaan kekuasaan ditangan Mega-Prabowo saat ini dan atau lanjut 2024 Prabowo – Puan. Dalam pidatonya di Kongres PDIP ke V di Bali, Megawati malah tidak berbicara persatuan nasional dalam perspektif negara, bangsa dan masyarakat. Megawati lebih mengumbar kemenagan Jokowi karena keberadaan dirinya dan hak-haknya mendapatkan menteri yang banyak dan terbanyak.

Mengapa ancaman perpecahan bangsa kita begitu potensial menjadi perang saudara?

Saudara saya Natalius Pigai mengirim satu tulisan “Jangan Memasuki Red Line” dan sebuah video pemuda2 Papua yang marah.

Dalam tulisannya Pigai menginginkan bahwa urusan Suku dan Agama adalah “Red Line”. Jangan gampang diumbar umbar alias digoreng. Melewati batas “red line” dapat membuat semua tidak terkendali alias perpecahan. Sedangkan dalam video orang2 Papua, sudah dikeluarkan ultimatum bahwa pemuda Papua akan siap memobilisasi kekuatan untuk mengusir semua suku non Papua, apabila kasus Surabaya tidak selesai dengan cepat. Selesai artinya cabut pernyataan rasialis dan keluarkan mahasiswa Papua yang ditangkap. Gerakan pemuda Papua ini sudah mulai direalisasikan di Papua Barat, di Monokwari pagi ini. Gedung DPRD diberitakan dibakar dan ancaman pengusiran orang2 non Papua sudah dilakukan.

Peringatan Pigai baru satu dimensi dari persoalan perpecahan kita.

Soal UAS tadi juga mempunyai potensi yang tidak kalah bahayanya. Istilah “Red Line” dari Bung Pigai harus dipahami dengan dalam. UAS sudah mengatakan bahwa soal “Salib” itu sangat tertutup dalam jamaah yang terbatas di pengajiannya 3 tahun yang lalu. Orang2 lalu mengatakan apa bedanya dengan Ahok dahulu?

Dalam semua agama, keyakinan itu tidak bisa ditawar. Banyak Ulama2 Syiah di Iran misalnya, menuduh istri Rasulullah, Siti Aisyah, adalah penjahat. (Semoga Allah melindungi Sayidah Siti Aisyah). Tapi, video2 tentang itu adalah video dalam majelis terbatas. Masalahnya menjadi kacau karena internet membuat segala sesuatu yang tidak terbatas menjadi menyebar.

Namun menuduh kesalahan internet tidak bisa diterima. Khususnya bagi pendukung Ahok, mereka juga mengatakan penyebab kekacauan kicauan Ahok tidak akan terjadi jika tidak ada disebarkan di internet. Benarkah?

Kembali soal keyakinan, apalagi agama yang menganut konsep Tuhan dan Iblis, maka secara dogma pembagian utama narasi agama pasti jalan Tuhan atau jalan setan. Dalam sebuah keyakinan sebuah agama, jalan Tuhan adalah jalan yang sesuai ajaran agamanya. Sedang di luar agamanya adalah jalan setan. Lalu bagaimana kalau hp dan internet menjadikan pembicaraan eksklusif sebuah kelompok pengajian tersebar menjadi konsumsi publik? Apalagi kalau propagandis-progandis dan buzzer bekerja untuk meningkatkan ekskalasi kekacauan?

Kontrak Sosial Baru

Kontrak sosial awal bangsa kita adalah persatuan nasional antara suku bangsa, khsusnya tercatat dalam Sumpah Pemuda. Masalah “individual rights” belum menjadi klausul penting. Pertanyaan saat itu apakah kita butuh persatuan atau “persatean”. Pertanyaan ini untuk mengukur tingkat peleburuan antar suku menjadi bangsa atau menjadi Indonesia.

Jika kita merasa bisa bersatu dalam tingkat yang tinggi, maka ke Indonesia an akan menjadi utama dan kesukuan menjadi kedua. Ini belum ternasuk suku Arab dan Cina, yang awalnya dipersepsikan sebagai bagian bangsa aisng (bangsa timur jauh dalam klasifikasi Belanda).

Lebih tinggi dari persatuan adalah kesatuan. Kesatuan tentu saja sebuah cita cita atau bisa juga utopia. Sebuah bangsa yang sama sebangun seperti Hongkong saja tidak bisa bersatu dengan China daratan, meski sama2 China.

Jika persatuan terganggu, maka otonomi masing2 daerah suku bangsa bisa diperluas, ini sebuah “persatean”. Papua, Aceh dan Jogya sudah mempunyai otonomi yang maha luas. Jika semua daerah lainnya diberikan, maka persatean alias federalism menjadi kenyataan. Takut?

Kontrak sosial bangsa kita sejak reformasi diperluas. Bukan saja soal suku bangsa, namun soal hak-hak personal alias konsep individual diutamakan. Plus lagi China dan Arab dimasukkan sebagai suku bangsa, alias bukan bagian bagsa induknya di timur jauh, dengan hak yang sama sebagai warganegara. Misalnya, Pasal 6 UUD45 yang asli sudah dirubah Anies dan Ahok mempunyai hak untuk menjadi Presiden. Padahal, dalam UUD45 yang dibuat Sukarno dkk, hanya orang Indonesia Asli yang berhak jadi presiden di Indonesia.

Setelah 21 tahun reformasi, masuknya demokrasi liberal, berkembangnya Indonesia menjadi negara kapitalis, masuknya faham2 Syiah, ISIS, LGBT, dll membuat benturan demi benturan dalam masyarakat terus berkembang. Berkembang ada yang secara natural berkembang, namun ada juga yang dipropagandakan untuk berkembang. Yang pertama lahir karena sifat interaksi masyarakat yang semakin intensif dan dinamis, yang kedua merupakan bagian infiltrasi dan subversif sebuah proxy war. Hak-hak kaum homosex misalnya, sebuah fenomena baru sebagai hak warganegara yang saat ini rebut dipersoalkan.

Lalu bagaimama kita ke depan?

Dalam masyarakat bicara ke depan selalu merujuk pada sejarah, yakni konstitusi kita. Namun, kita disinipun terbelah. Prabowo dan Megawati serta banyak kekuatan eks militer seolah2 meminta kembali ke UUD45 Asli dan GBHN. Sebagiannya lagi kembali artinya tetap merujuk pada Konstitusi UUD45 Amandemen 2002. Soal Konstitusi ini bisa sejalan dengan Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa, bisa juga terlepas. Padahal soal falsafah hidup inilah yang perlu diperbincangkan sebagai utama.

Benarkan Pancasila tidak membenarkan seorang Enzo mengibarkan bendera Tauhid?, misalnya?

Dalam pandangan mayoritas ummat Islam, nilai2 Pancasila itu pasti merupakan muara dari nilai2 Islam. Jika sebuah aksioma mengatakan bahwa nilai2 Pancasila adalah “living value” dalam jiwa bangsa kita dan aksioma lainnya mengatakan nilai2 Islam merupakan “living value” mayoritas bangsa kita, maka arsiran dari keduanya membenarkan nilai2 Islam sebagai nilai2 Pancasila. Di sinilah bedanya Tentara Nasional Indonesia melihat Enzo versus Mahfud MD Badan Pancasila BPIP melihatnya. Mungkin karena tentara karena punya badan pengkajian yang disiplin, sedangkan Mahfud tidak.

Salahkan hukum di Indonesia membuat produk hukum Bank Syariah seperti Bank Muammalat Asuransi Syariah, Bank Mandiri Syariah, dll? Kenapa urusan berbau istilah syariah dutakuti? Apakah Syariah bertentangan dengan Pancasila?

Bukankah Bank Konvensional adalah produk kapitalisme liberal? Bukankah Pancasila dan Bung Karno anti liberalism dan kapitalisme?

Apakah Ahok mempunyai hak mendefiniskan Pancasila?

Salahkan mahaiswa Papua belum tertarik mengibarkan Bendera Kebangsaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus? Bukankah mereka sedang mempertanyakan hak-hak kemerdekaan mereka sebagai bangsa Melenesia?

Penggalian “value” dan norma-norma kebangsaan kita harus dikerjakan tokoh2 politik, agama dan masyarakat kita secara sungguh-sungguh. Bisa jadi melanjutkan “Konstituante 55-58” sebagai bahan dasar, atau lebih jauh lagi semua naskah BPUPKI dilibatkan juga.

Pertanyaannya adalah apakah rakyat Indonesia masih percaya pada kalangan elit2nya? Bukankah elite nasional hanyalah pemburu kekuasaan dan kekayaan? Bagaiman mengukur kepercayaan pada elit kalau jumlah elit yang mengaku “saya Pancasila” semakin banyak ditangkap KPK?

Penutup

Sutuasi nasional kita berupa perpecahan bangsa sudah keniscayaan selama bertahun2 belakangan ini. Isu ini tidak bisa diselesaikan dengan isu pemindahan ibukota. Isu besar ini bahkan merupakan “lingkaran setan”. Kita menginginkan persatuan bangsa, di sisi lain kita tidak punya kepercayaan besar pada elit2 nasional untuk mempersatukan. Lalu bagaimana?

Pekerjaan utama adalah berpikir seperti dokter UGD/IGD. Bagaimana menghentikan “pendarahan”, bagaimana membuat pertolongan pertama. Menghindari “pendarahan” maksudnya menghilangkan unsur2 propaganda, proxy war dan pencari keuntungan dari perpecahan bangsa. Sehingga situasi bisa bersifat ketegangan natural dan terkendali.

Namun, siapa yang menjadi “dokternya”? TNI kah? Jokowi kah?

Meski masih membingungkan, namun harus ada inisiatif mencari kekuatan baru yang mampu bertindak darurat. Sebab, perpecahan bangsa kita sudah masalah darurat.

Kita butuh kepastian sebuah bangsa setelah merdeka 74 tahun. Kita perlu sebuah kontrak sosial baru. Sebuah bangsa yang satu, damai, bebas koruptor dan rakyatnya makmur sejahtera.