Oleh: Iman Handiman (Ketua Umum Forum Pemred Media Siber Indonesia)
TERSEBUTLAH sebuah negeri di jazirah Arab. Namanya Babusalam. Negeri dalam dongeng sufi ini cuma punya dua jenis rakyat: rakyat penipu dan rakyat jujur. Tapi, yang penipu maupun yang jujur dibedakan oleh tingkatan, talenta, dan reputasinya.
Syahdan ada seorang warga yang terkenal sangat jujur. Barangkali tingkatan jujurnya bukan lagi sangat jujur, namun sangat amat jujur sekali, atau kalau ukuran baju bisa digolongkan XXXL.
Lantaran sifatnya yang jujur itu, Munaf sering diundang raja ke istana. Awalnya dia selalu diminta raja yang tergolong jenis raja penipu itu untuk menceritakan segamblang-gamblangnya situasi rakyat dan negeri, terutama menyangkut berbagai hal yang dicurigai bisa mengancam kekuasaannya.
Munaf belakangan malah diangkat sebagai pembantu raja. Ia menduduki posisi istimewa sebagai mata dan telinga raja. Sang raja memang perlu orang yang setiap saat mampu memberinya laporan lengkap tentang situasi istana dan negeri dengan benar. Apalagi menyangkut seluruh pembantunya. Maklum raja sendiri jenis penipu ukuran XXL sehingga selalu berprasangka buruk kepada setiap orang.
Mendapat posisi terhormat yang mendongkrak tinggi statusnya dari rakyat jelata menjadi orang dekat raja, Munaf pun makin jujur saja. Mungkin ukuran jujurnya bukan XXL lagi, namun sudah XXXL. Setiap yang didengar dan dilihatnya, terlebih yang dianggap penting bagi raja karena terkait dengan keamanan singgasananya, akan segera dikabarkan.
Tentu saja raja pun makin memberinya kepercayaan dan banyak memanfaatkan laporan Munaf dalam mengambil berbagai keputusan penting.
Tetapi benarkah Munaf orang yang jujur? Pertanyaan ini akhirnya muncul sebagai wacana mengejutkan di kalangan kaum sufi di abad IX itu. Pasalnya, hikayat jujur Munaf diragukan dari asal-usulnya. Ia, semasa masih rakyat jelata, sesungguhnya adalah jenis penipu. Bahkan tak tanggung-tanggung, ukurannya penipu XXXL.
Lantas mengapa menjadi jujur? Justru di situ hebatnya Munaf sebagai penipu. Ia cerdik mengelabui orang lain, sehingga baginya perkara mudah saja membalik dirinya menjadi rakyat yang jujur.
Munaf sengaja memilih menjadi ‘orang jujur’ yang selalu berbicara dan memberi laporan dengan benar dan apa adanya, karena predikat seperti itu diyakini akan mengubah nasibnya. Buktinya benar, dia akhirnya menjadi pembantu istimewa raja.
Tipe penipu seperti Munaf di negeri dongeng sufi itu mungkin menyeberang alam dan zaman. Tetapi, keberadaannya tergantung sudut pandang moral dan kepentingan saja. Maklum, jangankan ditemukan, terpikirkan oleh orang pun mungkin tidak.
Artinya, sangat mungkin para penipu sekarang sudah semakin canggih dan piawai sehingga topeng dan boroknya sulit terungkap.
Harap tahu, penipu yang sudah naik pangkat dari semula sampah menjadi profesi yang sanggup mengalirkan kekayaan ini bukan hanya bercabul di dunia kerah kotor. Ya, penipu di zaman ini tak hanya mengincar dompet orang di jalanan, terminal, atau dari rumah ke rumah, namun marak pula di semua lapangan kehidupan: politik, pemerintahan, niaga, komisioner dan malah dalam urusan agama.
Ketika seorang kiai yang dalam keseharian senantiasa menyerukan jalan surga dan azab tuhan tampil di pentas politik untuk mengejar kekuasaan, dia sesungguhnya penipu. Ketika seorang pengusaha giat bersedekah dan menggelar acara dakwah di mana-mana sementara bisnis kotornya makin membesar, dia adalah penipu.
Para penipu yang lebih piawai dari si Munaf jujur di Negeri Babusalam juga ada di sekitar kita. Ketika banyak orang terkagum-kagum pada seorang tokoh yang tampak pintar berargumen dan pidato di tengah rakyat yang kelaparan, sesungguhnya tokoh itu adalah penipu yang canggih bersilat lidah. Ketika orang berhati busuk sukses merebut posisi puncak di kantor pemerintahan karena jurus ampuh KKN-nya, banyak orang tanpa sadar telah berada dalam cengkraman penipu.
Bahkan penipu marak dalam dunia penciptaan. Sebut karya lukis yang lahir dari tangan maestro yang sesungguhnya tak mampu melukis namun cerdik menyiasati produk seni yang laku di pasaran. Begitupun di dunia musik dan kesenian lainnya, sangat banyak penipu. Bahkan penipu yang jujur sekalipun.
Alhasil, bila ada regulasi tentang kejahatan penipu jenis ini, pastilah bakal banyak kaum pintar dan cendekia, termasuk kaum moralis yang menolak. Maklumlah, obyek hukum dari undang-undang itu kelak akan terlalu banyak dan bisa menyukarkan proses hukumnya sehingga hanya menambah kasus kebohongan yang tak terselesaikan di negeri ini. (*)