Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA
(Mahasiswa Doktoral Ilmu Manajemen UPI &
Sekretaris Bidang Kajian Ekonomi dan Industri PP KBPII).
Menurut Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil (yang disebut-sebut sebagai inisiator konsep ini), dalam wawancaranya dengan Deddy Corbuzier, konsep Omnibus Law sebetulnya pernah diterapkan oleh Indonesia pada TAP MPR tahun 2000 yang “menyatukan” semua TAP MPR terdahulu sejak TAP MPRS. Namun, beliau mengakui bahwa konsep Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja kali ini adalah yang paling “kolosal”.
Namun, apakah Omnibus Law “terkolosal” kali ini bisa kita katakana sebagai konsep yang “radikal” sebagaimana persepsi banyak orang? Menurut saya belum – untuk tidak mengatakan tidak. Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja yang saat ini menjadi polemik, bagi saya belum cukup “radikal”. Melalui tulisan ini, saya akan coba urai satu per satu pandangan dan argumentasi saya.
TOUGHT EXPERIMENT
Sebelum lebih jauh, saya akan coba mengajak anda untuk melakukan “pengujian” terhadap asumsi-asumsi yang dibangun oleh pemerintah melalui Omnibus Law ini.
Pertama, seandainya semua orang menyetujui UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR (tanpa terkecuali termasuk halnya buruh, mahasiswa, intelektual, ormas, dll), apakah UU tersebut akan “works” (efektif dan solutif) untuk menyelesaikan persoalan pengangguran di negeri ini (yang konon berjumlah 7 juta orang angkatan kerja, plus mereka yang terdampak pandemi covid-19)?
Kedua, apakah hasil sinkronisasi dari 11 klaster (79 Undang-undang) sektoral existing tersebut diprediksi cukup powerful-impactful untuk mengatasi isu pengangguran di negeri ini?
Jika kedua pertanyaan ini ditujukan kepada pemerintah, dan meminta garansi outcome-nya, saya tidak yakin mereka akan menjawab mantap: Ya, kami siap menggaransi pengangguran akan berkurang sekian persen.
Pertanyaan “garansi” ini sebetulnya patut diajukan, karena KPI – Key Performance Indicators – pemerintah sudah seharusnya dinilai berdasarkan parameter outcome, bukan output apalagi ukuran proses. Harus ada ukuran yang jelas, misalnya berapa juta angka pengurangan pengangguran yang berhasil dilakukan di tahun pertama, di tahun kedua dst pasca penerapan UU tersebut.
Apakah pemerintah siap menjamin misalnya ada 1 juta pengangguran per tahun yang berhasil dientaskan? Kalau gagal, apa konsekuensinya? Ada yang mundur? Ah, bangsa ini tidak ada tradisi mengundurkan diri, kok! Lanjuuttt.
(Loh, pemerintah juga harus berani dinilai dong? Sebagai contoh, bukankah penilaian klasterisasi Perguruan Tinggi juga banyak diukur dari parameter “outcome”? – Jangan sampai hobi mengukur tapi tidak mau diukur oleh publik, hehe).
OMNIBUS LAW KURANG “RADIKAL”
Okelah, kita anggap saja UU ini tidak ada lagi kontroversi sama sekali, kemudian pemerintah bisa menjalankannya dengan bebas tanpa hambatan sebagaimana berjalan di jalan tol. Dengan asumsi situasi demikian, apakah akan betul-betul menyelesaikan persoalan pengangguran di negeri ini? Belum tentu.
Saya akan coba sebutkan beberapa alasannya.
PERTAMA
Jika fungsi Omnibus Law ini hanya menyinkronkan 79 UU sektoral existing, saya kok tidak melihat daya impact yang terlampau signifikan atas ikhtiar sinkronisasi tersebut ya. Mengapa? Karena sinkronisasi itu hanya ibarat meracik dan mengkombinasikan“obat” yang tersedia dengan “grade” (tingkat efektivitas) yang tidak jauh berbeda.
Padahal, stadium penyakit “pengangguran” saat ini sudah berada di level kronik, dan seharusnya diberikan “obat“” yang “grade” (tingkat efektivitasnya) jauh lebih besar. (Saya tidak mengatakan kualitas Omnibus Law seperti “obat warung” ya hehe). Artinya, jika instrumen yang ditawarkan hanya dalam format “sinkronisasi” tanpa “mendekonstruksi” regulasi yang ada kemudian memberikan framework baru yang lebih efektif (lebih topcer lah) untuk menyelesaikan persoalan dari sisi akarnya (the radix), boleh jadi persoalan pengangguran – termasuk halnya kemiskinan dll – tidak akan mengalami perubahan signifikan.
Kesimpulannya, instrument Omnibus Law hari ini belum berpotensi cukup impactful-powerful untuk mengatasi isu pengangguran yang telah kronis, karena framework dan obat yang ditawarkan tetap “itu-itu saja”. Isinya hanya sinkronisasi regulasi yang sebelumnya juga kurang berhasil mengatasi isu pengangguran – dan juga kemiskinan serta sejenisnya.
Apalagi, situasi dan tantangan hari ini sudah terlampau besar untuk diselesaikan hanya melalui Omnibus Law “semi-radikal” ini. Saat ini kita mengenal kondisi yang disebut dengan VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity) yang memaksa semua individu dan institusi yang ada (termasuk organisasi negara) untuk memiliki kapabilitas dalam menghadapinya.
Intermezo: Dalam terminologi korporasi – menurut Hitt & Ireland dalam “Strategic Management”), setiap organisasi harus memiliki 4 kekuatan internal: sumber daya (resources), kemampuan (capabilities), kompetensi inti (core competencies) dan manfaat kompetitif (competitive advantages). Nah, Omnibus Law sebagai instrument “manajerial” tidak akan bermakna apa-apa tanpa didukung oleh empat kekuatan internal tersebut.
KEDUA
Janganlah kita sekali-kali menganggap bahwa Omnibus Law itu merupakan obat “sapujagat”. Kesannya, kata “sapujagat” itu sangat sakti seperti sulap “Jin Aladin” yang bisa mengubah sesuatu dengan begitu mudah. Tidak!
Yang harus dipahami, Omnibus Law ini hanyalah “rule of the game”, yang boleh jadi mengubah “skema permainan”, namun tidak serta-merta berujung pada keadaan yang “kita kehendaki”. Mengapa? Karena Omnibus Law ini punya lapangan permainannya sendiri, dimana lapangan tersebut lebih banyak dijalankan oleh tangan-tangan yang tidak tampak (invisible hand). Itulah yang biasa kita sebut dengan istilah “market mechanism” – sebuah terminologi yang akrab dengan liberalisme.
Singkat kata, pemerintah yang membuat aturan permainannya, adapun implementasinya tetap diserahkan kepada kehendek, logika dan mekanisme pasar. Apakah investors akan datang dengan adanya UU ini atau tidak, semuanya tetap tergantung pada pilihan bebas mereka. Meskipun UU ini memberi kemudahan untuk membuka usaha baru, namun pilihan bebas tetap ada di tangan pengusaha.
Dengan kata lain, UU Cipta Kerja tersebut sejatinya tidak memiliki “daya paksa” (imperative), melainkan hanya memberikan “stimulus” kepada market/publik, dan menciptakan iklim yang “kondusif” untuk tumbuh-kembangnya aktivitas usaha. Loh, kok cuma sebatas itu kekuatannya? Lah iya kan kita negara demokrasi yang secara teori menganut mazhab “Ekonomi Pancasila” tapi dalam praktiknya sangat liberal – salah satu indikatornya adalah “deregulasi yang cukup masif”.
Kesimpulannya, UU Cipta Kerja ini hanya sebatas mengatur rule of the game-nya, yang secara intrinsik hanya menyediakan stimulus untuk menarik investasi dan kemudahan berusaha (ease of doing business) dalam rangka menggenjot pertumbuhan. Dari pertumbuhan tersebut (dengan harapan PDB kita naik dari angka “mentok” 5%), secara teoritis akan membuka lapangan kerja baru, sehingga pengangguran yang 7 juta tersebut bisa tertangani.
Namun, sekali lagi, itu hanya pendekatan “struktural” yang impact-nya belum tentu sesuai dengan harapan. Ya karena market mechanism tadi. Negara hanya menentukan aturan mainnya. Jadi, saya tidak setuju jika UU ini disebut dengan UU sapujagat.
KETIGA
UU Cipta Kerja ini, jika kita cermat melihatnya, sebetulnya masih tetap sektoral kok. Hanya saja, sebelumnya bersifat – dalam bahasa saya – “sektoral mikro”, saat ini hanya diubah menjadi “sektoral meso”. Apa indikatornya? Indikatornya adalah UU ini masih dalam kerangka “sektor ekonomi”; dan leading sectors-nya adalah Kemenko Perekonomian. Artinya, levelnya hanya meso, dan hakikatnya masih sektoral.
Jadi, UU Cipta Kerja ini hanya sebatas merangkum berbagai regulasi di bidang ekonomi (79 UU) yang berhubungan – baik langsung maupun tidak langsung – dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Sementara, saya pribadi memandang bahwa isu pengangguran bukanlah semata-mata isu ekonomi, melainkan juga isu sosial dan budaya. (Silahkan baca – googling – tulisan saya sebelumnya berjudul “Omnibus Law: Luka dan Harapan”).
Artinya, jika pendekatannya masih parsial, ada peluang bahwa tujuan akhir (the goal) untuk mengentaskan pengangguran tidak akan tercapai dengan maksimal. Boleh jadi, ada dampak, namun belum tentu signifikan. Sehingga jika kita kalkulasi cost and benefit-nya, dikhawatirkan cost-nya terlalu besar, namun tidak linear dengan benefit yang diperoleh. Ya, namanya saja berusaha, tidak ada salahnya kan? Iya sih.
OMNIBUS “RADIKAL”
Jadi, saya justru memandang bahwa Omnibus Law kali ini belumlah “radikal”. Ia hanya berperan menyinkronisasi, hanya bermain di tataran rule of the game dan memberikan stimulus, serta hakikatnya masih sektoral (sektor ekonomi). Apakah fungsi-fungsi ini bisa dijadikan “senjata” – geranat atau bom – yang mumpuni untuk memporak-porandakan lingkaran setan pengangguran?
Prediksi saya kok belum cukup memadai ya?
Tentu, saya yakin, pemerintah akan menjawab: Ya pasti pemerintah akan bekerja keras lah. Pertama, pemerintah akan memastikan bahwa aturan-aturan dalam Omnibus Law tersebut berjalan secara efektif. Kedua, pemerintah secara struktural-institusional tetap mendorong dan membantu masyarakat dalam menggeliatkan kegiatan usaha, misalnya dengan program-program pelatihan, pendidikan dan stimulus permodalan yang lebih konkrit. Jadi tentu pemerintah tidak hanya bermain di tataran regulasi. Pemerintah selain regulator, juga driver.
Barangkali demikian jawaban pemerintah.
Well, baiklah, jawaban tersebut bisa diterima. Meski normatif. Bagaimana realisasinya selama ini? Faktanya, program-program konkrit pemerintah pun belum berjalan efektif untuk mendorong tumbuh kembanya lapangan kerja. Sebutlah contohnya, Pertama, program stimulus permodalan bagi wirausaha pemula, baik bagi mahasiswa maupun umum, kurang berjalan efektif; Kedua, peran bank sebagai financial intermediation kurang berjalan dengan optimal, terbukti penyerapan kredit perbankan semakin mengalami penurunan (dengan alasan tingginya kredit macet). Akibatnya, banyak UMKM yang sulit memperoleh permodalan akibat bank terlalu prudent.
Ketiga, investasi yang masuk belum berorientasi padat karya, dan di waktu yang sama TKA semakin banyak masuk. Keempat, sebagian besar perusahaan hanya berorientasi profit tanpa memainkan peran “leverage” terhadap UMKM, misalnya dengan melibatkan mereka dalam supply chains bisnis perusahaan. Kelima, pemerintah gagal melakukan upscaling UMKM dan cenderung lebih memperhatikan kepentingan korporasi besar. Dan masih banyak lagi.
Jadi, yang terjadi adalah regulasinya parsial dan kurang “radikal” (baca: tidak menyelesaikan akar persoalan), dan di waktu yang sama program-program pengentasan pengangguran di lapangan tidak berjalan secara efektif.
Tentu, saya pribadi, berharap Omnibus Law – meski saya kritik masih berskala meso – bisa memberikan impact, barang sekian persen untuk mengurangi pengagguran. Namun, jika yang diharapkan adalah perbaikan secara menyeluruh, maka kita membutuhkan konsep Omnibus Law yang “lebih radikal” dari yang saat ini.
Omnibus Law, seharusnya, tidak hanya melakukan sinkronisasi regulasi existing, namun harus dimulai dari sebuah framework baru, yakni framework yang tidak lagi sektoral, melainkan integrated multisectoral, dengan menggunakan multi-disciplinary approach. Tidak hanya dengan pendekatan ekonomi makro.
Jika framework baru yang integrated multisectoral ini telah terumuskan dengan baik, barulah kita memakai instrument Omnibus Law untuk menjalankan solusi-solusi yang dihasilkan dari framework tersebut. Sehingga, Omnibus Law yang kita buat nantinya tidak hanya menyinkronisasi regulasi sektoral yang ada, namun lebih “advance” dari itu, yakni melakukan perombakan besar-besaran norma-norma dan prinsip-prinsip “lama” yang sudah ketinggalan zaman.
Jadi, untuk melakukan perubahan besar memang dibutuhkan paradigma baru. Paradigma baru ini akan berkonsekuensi terhadap framework baru. Framework baru ini akan menghasilkan alternatif-alternatif solusi baru. Solusi-solusi baru inilah yang kemudian bisa dijalankan melalui Omnibus Law.
Anyway, saya tetap berpendapat bahwa bangsa ini memang membutuhkan dan perlu mencoba menerapkan Omnibus Law. Kita beri kesempatan kepada pemerintah untuk menjalankan executive order ini. Hanya saja, kita semua tentu berharap, pemerintah tetap memiliki moral intent untuk melakukan affirmative action, terutama bagi kelompok-kelompok yang berada di piramida terbawah. Sehingga aturan apapun yang dibuat, tetapi berhati nurani. END.