Oleh: Fakih Fadilah Muttaqin
Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah dan Fungsionaris PB HMI

Di tengah konstelasi ekonomi dunia yang terus berubah dan semakin kompetitif, negara-negara Muslim menghadapi tantangan ganda: ketertinggalan struktural dan fragmentasi kelembagaan. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), meskipun menaungi 57 negara dengan populasi lebih dari 1,8 miliar jiwa, masih mencatatkan perdagangan intra-negara yang stagnan di angka 19 persen—tertinggal jauh dari Uni Eropa (65 persen) dan bahkan ASEAN (30 persen).

Baca Juga

Fakta ini mencerminkan bahwa ikatan historis, kultural, dan keagamaan tidak serta-merta menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang terintegrasi. Ketiadaan ekosistem hukum yang sinkron, perbedaan tajam dalam regulasi investasi, serta minimnya proyek kolektif lintas negara menjadikan potensi ekonomi dunia Islam berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling memperkuat.

Dalam konteks tersebut, kehadiran Organisasi Parlemen Negara-Negara Anggota OKI (PUIC) sebenarnya menyimpan peluang strategis yang belum dimaksimalkan. PUIC tidak boleh berhenti sebagai forum simbolik antarlegislatif, tetapi harus menjadi wahana kolektif untuk menyusun kerangka hukum bersama, membuka jalan harmonisasi kebijakan, dan menjembatani kepentingan legislatif dengan realitas ekonomi global.

Momentum kepemimpinan Indonesia di panggung ini patut dicatat. Pada Konferensi ke-19 PUIC di Jakarta, 14 Mei 2025, Ketua DPR RI Puan Maharani resmi ditetapkan sebagai Presiden PUIC periode 2025–2026. Posisi ini bukan hanya prestise diplomatik, tetapi juga mandat strategis: memimpin transformasi kerja sama legislatif dunia Islam dari tataran wacana ke ranah aksi konkret.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kapabilitas untuk memainkan peran sentral. Bukan sekadar menjadi tuan rumah, tetapi sebagai pengarah visi kolektif baru bagi PUIC—terutama dalam mendorong integrasi hukum dan kerja sama ekonomi lintas yurisdiksi yang selama ini belum berjalan optimal.

Tantangan Struktural

Salah satu penghambat utama perdagangan dan investasi intra-OKI adalah ketidakharmonisan regulasi antarnegara. Perbedaan signifikan dalam perlindungan investor, kebijakan fiskal, dan prosedur ekspor-impor menyebabkan biaya transaksi tinggi dan proses bisnis menjadi lambat. Selain itu, minimnya inisiatif proyek infrastruktur lintas negara yang transparan dan terkoordinasi menjadikan potensi besar dunia Islam tak kunjung menjadi kekuatan ekonomi kolektif.

Kelembagaan legislatif belum dilibatkan secara maksimal dalam menjawab tantangan ini. Padahal, parlemen adalah arsitek dari setiap regulasi dan kebijakan ekonomi. Regulasi investasi, insentif fiskal, kemudahan usaha, hingga perlindungan aset asing, semuanya ditentukan melalui legislasi. Oleh karena itu, saatnya PUIC didorong untuk mengambil peran nyata sebagai penyambung kepentingan legislatif dalam membangun tata kelola ekonomi dunia Islam yang lebih tangguh dan saling terintegrasi.

Lima Usulan Agenda Strategis Legislasi PUIC

Sebagai Ketua PUIC, Indonesia memiliki peluang dan tanggung jawab strategis untuk menginisiasi reformasi legislatif antarnegara Muslim. Setidaknya ada lima agenda utama yang bisa ditawarkan:

Pertama, harmonisasi regulasi investasi dan perdagangan. PUIC dapat membentuk task force untuk menyusun kerangka hukum bersama dalam perlindungan investor, perpajakan, serta prosedur ekspor-impor yang lebih seragam dan efisien.

Kedua, sinkronisasi agenda legislasi nasional. Dengan menyatukan fokus prioritas—seperti energi bersih, ekonomi digital, dan pertanian berkelanjutan—negara anggota dapat mempercepat transformasi ekonomi berbasis inovasi dan kebutuhan bersama.

Ketiga, pengawasan transparansi proyek strategis. Peran parlemen dalam mengawasi proyek infrastruktur publik-swasta (PPP) harus diperkuat. PUIC dapat membentuk komite audit independen lintas negara untuk mencegah korupsi dan memastikan proyek berdampak langsung pada rakyat.

Keempat, klasterisasi sektor unggulan untuk memperkuat rantai pasok kolektif. Dunia Islam memiliki sumber daya berlimpah, namun belum terkoneksi secara efektif. Legislasi nasional perlu mendorong integrasi sektor unggulan antarnegara, misalnya pertanian Pakistan, logistik UEA, dan fintech Indonesia.

Kelima, pengembangan paket investasi bersama. PUIC dapat menyusun skema insentif kolektif untuk menarik investor besar dari Asia Timur, Afrika, dan Eropa Timur. Harmonisasi regulasi dan perlindungan hukum lintas yurisdiksi menjadi syarat utama agar investor merasa aman dan tertarik.

Indonesia sebagai Policy Connector

Kelima agenda strategis tersebut hanya akan berdampak apabila didorong oleh kepemimpinan yang mampu menyambungkan visi dan kebijakan antarnegara. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki posisi ideal sebagai policy connector—yakni penghubung antara inisiatif legislatif nasional dan kebutuhan integrasi ekonomi kolektif dunia Islam.

Sebagai negara dengan sistem demokrasi parlementer yang matang, serta pengalaman dalam membangun regulasi ekonomi inklusif, Indonesia dapat memainkan peran katalitik: mempertemukan parlemen negara anggota, merumuskan prioritas legislatif lintas batas, dan menjembatani kepentingan lokal dengan kepentingan kolektif.

Peran ini bukan sekadar simbolik, tetapi strategis dan substansial. Dengan menjadi penggerak konektivitas kebijakan, Indonesia dapat membantu PUIC bertransformasi menjadi simpul kolaborasi yang memfasilitasi pembentukan ekosistem hukum yang selaras, progresif, dan berorientasi masa depan. Jika dimanfaatkan dengan tepat, posisi Indonesia ini dapat menciptakan warisan legislatif yang akan menopang integrasi ekonomi dunia Islam dalam jangka panjang.