Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.

Gelombang “mudik dini” dari Jabodetabek ke daerah-daerah, terutama di Jawa, sudah “terlanjur” tak terbendung. Jumlahnya sudah puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu. Tadinya saya ikut tepuk jidat, nggak habis pikir. Apa mereka tidak tahu resikonya? Apa mereka tidak takut menularkan virus corona kepada keluarga dan tetangga di kampung?

Tadinya saya pikir, ilmu harus mengalahkan perasaan. Ilmu itu objektif, dan saklek, kadang tidak berperasaan. Tapi begitu diserang dengan pertanyaan “mosok kangen kambe anak-bojo gak oleh mudik?” (masak kangen sama anak-istri tidak boleh mudik)? Seketika itu luluh lantaklah ilmu. Kekuatan ilmu yang saklek itu keok terkapar, kalah dengan rasa rindu, rasa kasihan, rasa memelas. Tapi faktanya demikian. Tingkat peradaban kita, faktanya, masih di level perasaan, belum di level ilmu. Peradaban kita masih peradaban melankolis.

Baca Juga

Itulah realitasnya. Sehingga setelah saya renungkan kembali, gelombang mudik semacam ini memang tak mungkin terbendung. Pertama, literasi tentang mekanisme penularan covid-19 mayoritas dari mereka masih sangat lemah. Krisis literasi ini bukan barang baru, jadi sudahlah kita ikhlas saja dengan realitas ini.

Kedua, memilih untuk pulang ke rumah, kumpul bersama keluarga, tinggal di rumah sendiri, bagaimanapun masih jauh lebih nyaman dan aman dibanding membusuk karena kelaparan dan atau kebosanan akut di perantauan. Dengan pulang ke rumah, mereka lebih “secure” secara psikologis. Dan sebetulnya ini jauh lebih menguntungkan bagi imunitas tubuh dibandingkan dengan tetap stay di perantauan dalam lapar dan sepi.

Ketiga, toh pemerintah pusat sudah putuskan untuk tidak melakukan lockdown. Jadi, bedanya tidak akan signifikan antara menghimbau tetap tinggal di Jakarta dengan membiarkan mereka mudik.

Jadi menurut hemat saya, yang mau mudik, biarkan saja mudik. Bahkan kalau bisa, beri mereka pilihan merdeka, antara mudik atau tetap stay di Jakarta untuk 6 bulan ke depan. Beri mereka waktu 1-2 minggu, bagi yang mau mudik silahkan mudik. Tapi setelah 2 minggu, harus dipastikan tidak ada lagi yang mudik atau aktivitas keluar kota (kecuali bagi profesi yang dikecualikan) untuk 6 bulan ke depan, atau hingga wabah ini berahir.

Nah, setelah arus mudik ini selesai (dalam 1-2 minggu), pastikan bahwa arus mobilitas lintas kota dibatasi secara signifikan, bahkan kalau perlu dibatasi hingga 80%. Sehingga mobilitas luar kota hanya diperbolehkan bagi profesi-profesi tertentu, terutama yang berhubungan dengan distribusi logistik.

Dengan demikian, kita (pemerintah) akan jauh lebih mudah mengatur penanganan di masing-masing kota saat sudah tidak ada lagi (minim) mobilitas antar kota. Setelah itu pemerintah daerah tinggal fokus menangani warganya.

Strategi yang dapat diterapkan adalah: PULANGKAN – EDUKASI – AWASI.

Setelah semua pulang ke kampung masing-masing, program pemerintah adalah melakukan edukasi secara masif tentang isolasi/karantina mandiri di rumah. Semua mudikers (pemudik) langsung saja ditetapkan sebagai ODP, dan langsung di karantina di rumah masing-masing. Mereka harus diedukasi bagaimana caranya. Tidak hanya secara teori, tapi harus ada operator lapangan di masing-masing RT/RW untuk memberi tahu juklak dan juknis isolasi mandiri. Karena ini yang selama ini jadi problem: tidak ada operator lapangan yang efektif. Sebetulnya ini tugas tim gugus tugas, untuk membentuk tim operator lapangan di setiap RT/RW.

Setelah diedukasi, mereka harus diawasi secara ketat. Oleh siapa? Ya oleh tim operator di tingkat RT/RW itu. Selama sakitnya masih ringan-sedang, isolasi dan pengobatan mandiri di rumah cukup. Adapun rumah sakit hanya menangani kasus yang sudah sangat parah.

Tapi lalu bagaimana jika kemampuan rumah sakit membludak dan benar-benar tidak sanggup lagi menangani kasus yang ada? Harapan kita tentu tidak sampai terjadi demikian. Namun kalaupun ini benar-benar terjadi, maka pendapat saya, memang agak sedikit kejam, tapi sementara ini belum ada pilihan lain, selain tetap dilakukan pengobatan di rumah sendiri. Ya, di rumah sendiri. Meski hingga ajal menjemput. Jika betul polanya 97% sembuh dan 3% meninggal, agaknya kita harus mulai ikhlas dengan kemungkinan ini.

Meski demikian, kita, bangsa Indonesia, masih memiliki peluang. 3% versus 97% itu hanya pola. Angkanya sangat possible untuk berubah, tergantung bagaimana ikhtiar kita. Nah, tugas kita kan hanya bisa berikhtiar dengan penuh sungguh-sungguh (mujahadah). Hanya ini ranah kita. Seraya berdo’a kepada Allah SWT untuk memberikan yang terbaik buat bangsa ini.

Oya, ada teman yang komen, selain PEA: PULANGKAN – EDUKASI – AWASI, perlu juga ditambah satu lagi, yaitu PEA2: PULANGKAN – EDUKASI – AWASI – AMPLOPI.

END.