Oleh Zulnadi, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumatera Barat
WAKTU begitu cepat berlalu. Rasanya baru seminggu kemarin kita melaksanakan puasa di bulan yang penuh hikmah dan banyak sebutan ini.
Jumat, 21 April 2023 bagi umat yang mengikuti perhitungan Muhammadiyah, sudah boleh berlebaran. Sedangkan pemerintah juga telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023 berdasarkan sidang isbat yang langsung diumumkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa antara pemerintah dan Muhammadiyah terjadi perbedaan meskipun pada awal Ramadhan mereka sepakat bahwa 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 23 Maret 2023.
Soal perbedaan kapan mulai puasa dan kapan berakhirnya dan menetapkan 1 Syawal bukanlah hal yang baru di Indonesia.
Yang sering menonjol dan berbeda itu adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) lantaran metode yang dipakai juga berbeda.
Muhammadiyah memakai hisab/menghitung berdasarkan penanggalan, sedangkan NU berdasarkan ru’yah/melihat bulan dengan memakai peralatan yang canggih. Keduanya memiliki argumen yang kuat. Tinggal mana yang kita yakini dari dua perbedaan tersebut.
Sayang dengan adanya perbedaan dua organisasi besar islam (Muhammadiyah dan NU) terkadang pemerintah tidak memposisikan dirinya sebagai penengah.
Cenderung berat sebelah yang dapat dilihat dari pernyataan dan pelarangan terhadap pemakaian fasilitas umum/ lapangan terbuka.
Sejatinya negara/pemerintah melindungi semua golongan tanpa kecuali. Biarkan mereka berbeda sikap. Bukankah perbedaan itu rahmat. Tak harus ada tindakan melarang pemakaian lapangan terbuka.
Biarkan umat manfaatkan untuk sholat Id. Besok mau dipakai lagi ya tidak ada masalah. Mereka sama sama penganut agama islam yang dilindungi negara.
Bukankah motto kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu seperti yang diamanatkan pendiri bangsa ini.
Jangan ada yang mengatakan umat yang lebaran tanggal 21 April adalah haram karena masih suasana puasa dan sebaliknya yang lebaran tanggal 22, apakah juga haram. Tak perlu hal itu dibesarkan.
Tapi besarkan lah syiar Islam di negeri yang mayoritas islam ini. Umat biasa-biasa saja. Bahkan terjadi saling tolong menolong. Pemerintah jangan suka merepotkan diri sendiri.**
Kembali ke pokok persoalan. Tanpa terasa kita sudah melaksanakan puasa yang ke 29 dan sekitar pukul 11.00 Kamis siang terjadi gerhana matahari. Ini menandakan sudah terjadi pergantian bulan.
Maka sudah tepat 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari jumat 21 April 2023 berdasarkan hisab Muhammadiyah yang telah diumumkan.
Bagi umat yang sholat Id ,Jumat 21 April. Maka Magrib Kamis sudah boleh mengumandangkan takbir Allahu Akbar di masjid-masjid dan mushalla atau di rumah dan juga di tengah dalam perjalanan.
Takbir ba’da magrib menandakan kita akan berpisah dengan tamu agung Ramadhan. Suka atau tidak, sedih atau gembira, Ramadhan akan pergi. Ia akan muncul lagi 12 bulan berikutnya.
Lalu apa yang telah kita perbuat selama hampir sebulan bersama Ramadhan. Adakah moment Ramadhan dimanfaatkan secara maksimal dan optimal.
Bagi yang begitu akrab dengan Ramadhan, pasti muncul perasaan sedih. Sedih, karena belum tentu akan bertemu lagi dengan bulan yang penuh ampunan.
Selama dan bersama Ramadhan kita dianjurkan beribadah sebanyak banyaknya. Apakah ini sudah dilakukan. Apakah hanya sekedar puasa menahan haus dan lapar.
Tidak!, Ramadhan menemani kita untuk beribadah tidak sekedar menahan.
Ibadah lain juga. Seperti perbanyak sholat, baca al-Quran, sedekah dan berbuat baik sesama makhluk tak sebatas pada manusia. Makhluk lain, binatang, tumbuh- tumbuhan harus kita berbuat baik pula kepadanya. *