Jakarta – Indonesia memiliki sekitar 5,31 juta hektar perkebunan sawit swadaya, yang mampu memproduksi hingga 14,87 juta MT CPO per tahun atau setara dengan 13,91 juta kiloliter biodiesel. Potensi terbesar ini berasal dari perkebunan di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Berdasarkan data tersebut DPP Perisai Prabowo gandeng Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melakukan diskusi lintas sektor dengan tema “Mewujudkan Kemitraan Petani dan Industri Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit” di Bakoel Koffie Cikini, Kamis (24/10).

Kegiatan tersebut menghadirkan Ahmad Kailani (Ketua Umum DPP Perisai Prabowo), Sabarudin (Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit), Prisa Sambo Dato (Moderator), Edi Wibowo (Direktur Bioenergi Kementerian ESDM), Mula Putra (Koordinator Kelembagaan Dirktorat Tanaman Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian), Wiko Saputra (Peneliti Tatakelola sawit dan Biodiesel), dan Mansuetus Darto (Dewan Nasional SPKS).

Ketua Umum DPP Perisai Prabowo, Ahmad Kailani mengatakan diskusi tersebut difokuskan sepenuhnya untuk kesejahteraan petani sawit yang selama ini dianggap kurang dilibatkan dalam program strategis.

Baca Juga

“Alasan utama DPP Perisai Prabowo menggandeng SPKS untuk mengangkat isu kesejahteraan petani sesuai konsen dari Presiden Prabowo Subianto yang sangat memperhatikan kesejahteraan petani dan berkomitmen untuk memastikan peran mereka tidak diabaikan,” tuturnya.

Kailani juga menambahkan kebutuhan petani sawit tidak hanya sebatas penyediaan bibit atau dalam proses peremajaan lahan, tetapi juga harus terlibat dalam setiap kebijakan terkait industri sawit. BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang selama ini dikelola untuk mendukung peremajaan tanaman sawit juga harus diperhatikan dengan baik, mengingat banyak tanaman sawit yang telah berusia di atas 25 tahun membutuhkan peremajaan.

“BPDPKS itu dana dari petani yang disimpan untuk peremajaan tanaman sawit. Namun, masa peremajaan ini harus tepat waktu dan merata bagi petani yang membutuhkan. Banyak lahan sawit yang sudah di atas 25 tahun dan harus segera ditanam ulang agar kualitas dan produktivitas tetap terjaga,” tambah pria yang akrab disapa Kai yang juga merupakan salah satu penyidik di KPPU.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin menjelaskan pemerintah telah membuat program mandatori biodiesel yang diluncurkan pada 2008 (B2,5) dan terus disempurnakan menjadi B35 di tahun 2023 hingga saat ini masih belum memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit. Meski demikian program tersebut harus terus dikawal mengingat tujuan utamanya untuk kesejahteraan petani. Hal tersebut dapat ditempuh melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel yang sampai detik ini belum terealisasi secara merata.

“Kami melakukan riset kecil di lima kabupaten di Riau yang merupakan daerah industri biodiesel, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel,” terangnya.

Sebagai representasi SPKS ia juga menekankan pentingnya peraturan yang mewajibkan perusahaan biodiesel untuk bermitra dengan petani, terutama di wilayah konsesi perusahaan. SPKS akan terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas, dimana saat ini produktivitas petani sawit masih rendah, hanya sekitar 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar/tahun, jauh di bawah produktivitas perusahaan yang mencapai 25 ton TBS per hektar/tahun.

“Ke depan, pengembangan biodiesel harus melibatkan petani secara lebih intensif agar dampaknya benar-benar dirasakan. Selain itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan akses terhadap pupuk serta bibit unggul harus menjadi fokus pemerintah baru untuk meningkatkan produktivitas petani,” pungkasnya (El-Riyauwi).