perkembangan ekonomi jangka panjang di atas 6% bisa dicapai jika Indonesia mendorong investasi dan perbaikan neraca transaksi berjalan.

Kedua kebijakan ini terkait dengan kebijakan Bank Indonesia dalam stabilitas makro ekonomi, reformasi kebijakan fiskal, dan pendalaman sektor keuangan. Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Anggito Abimanyu dalam bukunya mengatakan, apa bila ingin pertumbuhan ekonomi tinggi bersifat jangka panjang, maka sumber utama yang jadi pemicu adalah investasi. China pernah mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 10% selama 10 tahun (2000-2010) yang bersumber dari investasi dengan jumlah mencapai 40% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, China juga mengalami surplus neraca transaksi berjalan.

Sementara ekonomi Indonesia mengalami penyakit struktural, yakni kenaikan investasi harus ditopang dengan impor barang modal sehingga menghambat ekspansi investasi. “Kalau mau investasi mendatangkan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka masalah defisit transaksi berjalan harus dibenahi terlebih dahulu,” ujar Anggito dalam peluncuran dan bedah buku “Menyimak Turbulensi Ekonomi: Pengalaman Empiris Indonesia” di kampus PPM Manajemen, Jakarta, kemarin. Anggito mengungkapkan, saat ini Indonesia masih bisa tumbuh sekitar 5% dari pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Baca Juga

“Pertambahan penduduk per tahun sebesar 2% secara otomatis menambah tingkat konsumsi rumah tangga,” kata dia.

Investasi jangka panjang terutama pada sektor infrastruktur meningkatkan rasio investasi ke tingkat di atas 30% dari PDB Indonesia. Menurut dia, angka itu sebetulnya sudah mendekati rasio investasi di India, tetapi efisiensi investasi infrastruktur Indonesia cenderung menurun. Anggito menuturkan, pertumbuhan ekonomi tinggi sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber kepercayaan pelaku ekonomi. Di sisi lain, APBN 2019 diperkirakan akan rawan pada perubahan menghadapi turbulensi ekonomi global dan domestik. Turbulensi itu saat ini sedang dan akan datang dari eksternal berupa faktor global serta dari internal berupa daya tahan ekonomi domestik.

“Tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia. Setelah melalui tahun 2016 dan 2017 dengan relatif mulus, ekonomi Indonesia mulai mengalami ujian lagi di pertengahan tahun 2018 dan diperkirakan lebih berat pada tahun 2019,” ungkap Anggito.Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003- 2008 Burhanuddin Abdullah menuturkan, pemerintah dan DPR perlu mengubah ketentuan defisit APBN yang saat ini dibatasi maksimal sebesar 3% setiap tahun fiskal berjalan. Pengelolaan defisit APBN seharusnya lebih fleksibel dengan memperhatikan kebutuhan ekspansi belanja pemerintah. Menurut dia, defisit maksimal APBN sebaiknya dihitung secara rata-rata dalam satu tahun pemerintahan, bukan setiap tahun fiskal berjalan.

“Jadi tidak dibikin dalam tahunan. Kalau tahun ini misalkan memerlukan, jadi stimulusnya dihidupkan. Misal tahun ini lagi lesu nih, jadi 5% tahun depan kita kurangi jadi 4% tahun depan lagi jadi 4%. Jadi secara keseluruhan 3%,” ungkap dia. Burhan pun memandang langkah seperti ini dirasa aman untuk investor global berinvestasi di Indonesia. Selain itu, pelonggaran ini juga dibutuhkan agar pemerintah leluasa memberikan stimulus ke perekonomian. “Ini aman, tapi asumsinya pemerintah Indonesia bisa hati-hati dan tetap disiplin fiskal,” tuturnya. sumber : economy.okezone.com