Oleh: Jen Zuldi
Konsultan Politik, tinggal di Padang
Pro-kontra apakah Pilkada serentak 2020 perlu ditunda ataukah dilanjutkan beberapa waktu yang lalu menjadi trending topic. Menurut saya, kedua kelompok yang berselisih pendapat sama-sama memiliki argumentasi yang cukup rasional, dan sejatinya sama-sama memiliki itikad baik. Diantara kelompok-kelompok civil society yang meminta penundaan Pilkada tahun 2020 ini antara lain berasal dari tenaga kesehatan, Komnas HAM, PB NU, PP Muhammadiyah, hingga Mantan Wapres Jusuf Kalla. Bahkan menurut survey Polmatrix Indonesia, ada 72,4% masyarakat yang meminta Pilkada tahun 2020 ini ditunda (Antara, 17/9/2020).
Meski amplitudo suara yang menuntut penundaan Pilkada terbilang cukup tinggi, namun keputusan finalnya tetap berada di tangan institusi-institusi yang memiliki otoritas, yakni Menteri Dalam Negeri RI mewakili pemerintah, Komisi II DPR RI mewakili legislatif dan penyelenggara pemilu (KPU). Menurut saya, para pemegang kebijakan tersebut memang berkewajiban untuk menampung semua pendapat yang muncul, kemudian melakukan kajian objektif menggunakan instrumen science-based policy sebelum mengambil keputusan. Dalam hal ini, tools analisis seperti game theory, analisis resiko atau analisis urgensi dapat dilakukan agar keputusan yang diambil benar-benar berkualitas.
Pro-kontra tersebut berakhir Senin, 21 September 2020 setelah Komisi II DPR RI melakukan rapat kerja/dengar pendapat dengan Menteri Dalam Negeri RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) RI menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tetap dilangsungkan pada tanggal 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Tidak ada contoh baku
Jika kita berkaca dari negara lain, sesungguhnya tidak ada cermin yang bersifat tunggal. Jumlah negara yang menunda Pemilu/Pilkada maupun yang melanjutkan ajang suksesi tersebut sama-sama banyak. Kita dapat dengan mudah menemukan data negara-negara (atau kota-kota) mana saja yang menunda atau melanjutkan pemilihan, misalnya dari situs International IDEA. Baik negara-negara berkembang, yang dianggap tidak mampu menanggulangi pandemi maupun negara-negara maju, yang dianggap mampu menangani pandemi sama-sama ada yang menunda maupun yang melanjutkan pemilihan. Artinya, tidak ada pedoman bakunya negara mana yang harus dicontoh oleh Indonesia.
Sebagian kalangan yang meminta Pilkada ditunda berargumentasi bahwa negara-negara yang sukses menyelenggarakan pemilihan di masa pandemi – seperti Korea Selatan, Jerman, Prancis, Singapura – adalah negara-negara maju yang memiliki kemampuan manajemen kesehatan jauh di atas Indonesia. Menurut hemat saya, dari sisi penanganan kesehatan barangkali dapat disepakati bahwa negara kita masih sangat lemah. Namun, bukan berarti bahwa menunda Pilkada menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil secara nasional.
Ada baiknya kita tidak hanya melihat persoalan ini dari kacamata makro (zoom out), tapi perlu juga melakukan zoom in terhadap existing condition yang terjadi di masing-masing daerah (provinsi, kota, kabupaten). Hal ini karena situasi dan tantangan dari setiap daerah tidak sama, dan tidak bisa digeneralisasi – misalnya semua Pilkada harus ditunda. Dari sisi tingkat keparahan maupun kemampuan pengendaliannya juga berbeda. Untuk daerah-daerah yang berzona hijau atau kuning, tampaknya masih cukup feasible diselenggarakan Pilkada dengan protokol yang ketat, serta dengan pembuatan aturan-aturan baru dalam kampanye (offline-online).
Urgensi Suksesi
Saya fikir, 270 daerah yang akan melangsungkan Pilkada pada tahun 2020 ini merupakan jumlah yang sangat banyak. Ada sekian puluh juta rakyat yang nasibnya ditentukan oleh kualitas kepemimpinan (leadership) kepala daerah saat ini. Mungkin saja, ada daerah-daerah yang sudah “beruntung” memiliki gubernur, walikota atau bupati yang mempunyai kapasitas kepemimpinan yang kuat dan efektif dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 di daerah mereka. Untuk kasus demikian, bolehlah rakyat merasa bahwa suksesi kepemimpinan melalui Pilkada bukan agenda yang mendesak.
Namun, dengan logika sederhana dapat pula dikatakan bahwa tingkat keparahan penyebaran dan juga mortality rate Covid-19 yang terus meningkat di berbagai daerah juga menunjukkan adanya kepemimpinan dari sebagian kepala daerah yang patut dipertanyakan. Jika tidak segera diganti, bagaimana nasib daerah tersebut? Memang, tentu ada pula orang yang mengatakan bahwa suksesi kepala daerah selama ini nyatanya tidak begitu signifikan menghasilkan perubahan. Dari periode ke periode sama saja.
Meski tidak ada jaminan penuh, namun pemilihan dalam sistem demokrasi sekurang-kurangnya memberikan harapan baru kepada rakyat. Bahkan menurut saya, Pilkada yang dilakukan di tengah masa pandemi dapat menghasilkan keterpilihan figur-figur yang lebih berkualitas. Di masa krisis seperti hari ini, akan lebih tampak mana sosok-sosok pemimpin yang kompeten dan mana yang inkompeten. Mana yang benar-benar berkorban dan cinta rakyat, mana yang oportunis. Misalnya untuk figur-figur petahana, rakyat bisa menentukan apakah mereka layak dipilih kembali atau harus diganti.
Menurut saya, Pilkada tahun ini justru sangat krusial. Di saat sebagian orang merasa gregetan terhadap sebagian pejabat publik di tingkat nasional yang tidak kunjung diganti (karena rakyat tidak punya wewenang), jangan sampai rakyat juga tidak berdaya untuk “mengganti” pemimpin di daerahnya – dengan menunda Pilkada. Padahal, peran dan fungsi kepemimpinan dalam mengatasi pandemi ini merupakan kunci yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Memang, Pilkada mungkin saja dapat memberi ruang terciptanya kluster penyebaran baru. Namun, tanpa pemimpin yang cakap, penderitaan akibat pandemi berpotensi semakin panjang.