Oleh: Jen Zuldi
Direktur Eksekutif
Center for Analysis Research and Development (CARE) Indonesia
Kehidupan politik yang demokratis memang tidak mungkin terlepas dari pertarungan antar warna. Untuk konteks Indonesia, warna politik yang terepresentasikan oleh partai-partai peserta Pemilu sejatinya tidak ada satupun yang benar-benar dominan, bahkan sejak Pemilu pertama tahun 1955.
Pada Pemilu 2019, meskipun PDI-P menjadi partai pemenang, namun suaranya hanya 19,33%, yang artinya hanya seperlima dari suara populasi pemilih. Jadi seandainya semua partai non-PDIP bergabung menjadi satu, maka jika dilakukan pertarungan, perbandingannya masih jauh, yakni satu banding empat.
Meskipun demikian, sebagai partai pemenang di Pemilu 2019, PDI-P memiliki peluang yang cukup besar untuk mengambil sebanyak mungkin “kue” kekuasaan. Apalagi, Pilpres 2019 juga dimenangkan oleh kader internal partai tersebut. Konon, the winner takes all, pemenang berkesempatan mengambil penuh kekuasaan yang tersedia. Peluang tersebut sangat mungkin terjadi jika PDI-P berkolaborasi dengan partai lain untuk menjadi kekuatan yang paling dominan, dan itu sudah terjadi di tingkat pusat (nasional).
Namun, apa hasil dari kekuasaan partai yang terlampau gigantik tersebut? Hasilnya adalah kepincangan demokrasi dan merebaknya moral hazard para elit penguasa, akibat tidak adanya keseimbangan kontrol.
Maka menurut saya, kasus Pilkada di Sumatera Barat yang dijalani tanpa PDI-P dapat menjadi ice breaking atau antithesis terhadap gigantisme kekuasaan di tingkat pusat yang terlalu merajalela yang merupakan hasil dari Pemilu 2019. Dalam bahasa Rocky Gerung, saat ini sedang terjadi kemuakan terhadap paket kekuasaan.
Kemuakan siapa? Kemuakan masyarakat Sumatera Barat. Paket kekuasaan yang mana? Paket kekuasaan eksekutif sekaligus legislatif yang terlampau dominan tanpa penyeimbang. Menurut Rocky, pernyataan kontroversial Puan Maharani yang memicu kemarahan masyarakat Sumatera Barat baru-baru ini hanyalah seumpama pita yang mengikat paket kekuasaan tersebut.
Kemuakan yang tampak (the seen) adalah kemuakan terhadap pernyataan Puan, namun dibalik itu ada kemuakan yang tersembunyi (the unseen) yang dialamatkan kepada paket kekuasaan yang ada. Dengan kata lain, narasi buruk (bad narration) yang dilontarkan oleh Puan sejatinya hanyalah penyulut api kekecewaan masyarakat Sumatera Barat.
Namun, kemuakan tersebut sesungguhnya juga dialamatkan kepada subjek yang lebih besar, yakni PDI-P dan perilaku kekuasaannya di tingkat nasional. Dalam konteks ini, Puan dapat dimaknai sebagai personifikasi dari partai penguasa, yang di mata masyarakat Sumatera Barat, partai penguasa hari ini (PDI-P) dinilai sangat mengecewakan.
Apa bukti dari kekuasaan yang telah berkuasa sejak tahun 2014 tersebut tidak disukai oleh masyarakat Sumatera Barat? Pertama, suara Jokowi-Maruf di Pilpres 2019 hanya sekitar 14% di Sumatera Barat. Kedua, meski suara nasional PDI-P di Pileg 2019 nomor satu, namun di Sumatera Barat partai tersebut hanya menempati urutan ke-delapan dari seluruh partai yang ada.
Menurut saya, sangat wajar jika kasus “pengembalian mandat” PDI-P oleh Mulyadi – Ali Mukhni dalam Pilkada Sumatera Barat tahun ini terjadi. Selain akan berdampak kontraproduktif terhadap brand paslon tersebut, kontribusi suara dari konstituen PDI-P juga diprediksi tidak akan signifikan. Seorang wartawan senior, Hersubeno Arief, bahkan membuat anekdot: gara-gara Puan setitik, rusak suara Mulyadi se-Minang Raya.
Saya kira, masyarakat Sumatera Barat adalah tipikal masyarakat yang memiliki karakter kemandirian dan independensi sangat kuat. Hal ini membuat politik di Sumatera Barat tidak serta merta mudah dikooptasi dan diintervensi oleh kekuasaan dari luar. Mereka memiliki otoritas dan kedaulatan tersendiri dalam menentukan pilihan, dan lebih tahu mana yang terbaik untuk masa depan Sumatera Barat. Mereka juga tidak terlalu tertarik dengan janji-janji artifisial partai politik yang mengklaim sebagai partainya rakyat kecil (wong cilik). Masyarakat Sumatera Barat memiliki etos kerja yang kokoh dan gigih serta tidak suka “dininabobokan” oleh janji-janji manis kekuasaan.
Selain itu, masyarakat Sumatera Barat secara umum memiliki preferensi politik yang unik. Menurut Greenstein (1975), preferensi politik adalah pilihan tindakan yang berdasarkan nilai-nilai yang diyakini untuk memberikan respon politik yang ada pada diri seseorang. Dalam hal ini, preferensi politik di Sumatera Barat lebih bercorak nasionalis religius. Ini membuat partai yang terlalu dominan berwarna merah seperti PDI-P kurang bisa diterima. Barangkali ini merupakan jawaban atas keheranan Bu Mega dan Bu Puan.